Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Harga Konsumen di China Turun Lagi, Tekanan Deflasi Makin Dalam

ilustrasi pasar tradisional di China (pexels.com/Harry Ho)
ilustrasi pasar tradisional di China (pexels.com/Harry Ho)
Intinya sih...
  • Harga konsumen di China kembali terperosok ke zona deflasi pada Maret 2025, menandakan lemahnya daya beli masyarakat dan tekanan terhadap pemulihan ekonomi.
  • Indeks harga konsumen turun 0,1% secara tahunan, sementara harga produsen turun 2,5% secara tahunan, menandai kontraksi ke-30 secara beruntun.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Harga konsumen di China kembali terperosok ke zona deflasi pada Maret 2025, memperpanjang tren negatif selama dua bulan berturut-turut. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya daya beli masyarakat di tengah memanasnya tensi dagang dengan Amerika Serikat (AS). Dampaknya, tekanan terhadap pemulihan ekonomi kian membesar di tengah pasar global yang tidak ramah.

Data Biro Statistik Nasional menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) turun 0,1 persen secara tahunan pada Maret. Angka ini mengikuti kontraksi 0,7 persen pada Februari, mengindikasikan permintaan domestik yang belum menggeliat. Penurunan ini meleset dari proyeksi analis yang memperkirakan pembacaan CPI akan stagnan.

Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) turun 2,5 persen secara tahunan, menandai kontraksi ke-30 secara beruntun. Angka ini juga menjadi pelemahan terdalam sejak November 2024, melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan 2,3 persen. Kondisi ini mempertegas tekanan deflasi belum akan mereda dalam waktu dekat.

1. Harga produsen China terus tergerus oleh ketidakpastian ekspor

ilustrasi ekspor (pexels.com/Mark Stebnicki)
ilustrasi ekspor (pexels.com/Mark Stebnicki)

Penurunan harga produsen di China mencerminkan lemahnya aktivitas industri di tengah hantaman eksternal yang berlarut-larut. Para pelaku ekspor kini harus menghadapi pasar global yang semakin menyusut dan risiko tarif impor yang melonjak tajam. Kondisi ini turut menyeret harga pabrik ke titik terendah dalam lima bulan terakhir.

Presiden AS Donald Trump resmi menaikkan tarif impor produk China menjadi 125 persen pada Rabu lalu. Kebijakan ini langsung dibalas oleh China dengan menetapkan tarif balasan sebesar 84 persen terhadap seluruh impor dari Amerika Serikat. Perang tarif ini diprediksi makin mengganggu rantai pasok dan memperburuk outlook ekspor.

“Eksportir China pada dasarnya sedang bersaing dalam pasar global yang semakin mengecil,” kata Tianchen Xu, ekonom senior di Economist Intelligence Unit, dikutip dari CNBC Internasional, Jumat (11/4/2025).

Ia memperkirakan harga produsen akan terus mengalami tekanan, seiring hambatan dagang dan lemahnya permintaan luar negeri. Di tengah ketidakpastian global, perusahaan manufaktur menghadapi tantangan yang semakin kompleks.

2. Harga konsumen melemah, namun inflasi inti tunjukkan tanda pemulihan

ilustrasi inflasi (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi inflasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Meski berada di wilayah negatif, penurunan CPI tahunan sebesar 0,1 persen dinilai lebih ringan dari Februari. Namun penurunan secara bulanan sebesar 0,4 persen menunjukkan tekanan harga di tingkat konsumen masih mengakar. Hal ini memperlihatkan pemulihan permintaan belum terjadi secara menyeluruh.

Sisi positif datang dari inflasi inti, yang mengecualikan harga pangan dan energi yang volatil. Inflasi inti naik menjadi 0,5 persen secara tahunan, berbalik arah dari penurunan 0,1 persen pada Februari. Meskipun demikian, capaian ini masih tertinggal dibanding pertumbuhan 0,6 persen pada Januari.

“Kami lebih mungkin melihat perbedaan arah antara harga konsumen dan harga produsen,” kata Xu.

Menurutnya, harga konsumen inti menunjukkan tanda-tanda pemulihan, sedangkan harga produsen justru akan semakin memburuk akibat gangguan perdagangan. Hal ini menambah lapisan kerumitan dalam pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal.

3. Pemerintah siapkan stimulus baru untuk dorong konsumsi domestik

ilustrasi anggaran (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi anggaran (IDN Times/Aditya Pratama)

Pemerintah China kini menggencarkan strategi fiskal untuk menghidupkan kembali konsumsi rumah tangga. Fokus kebijakan bergeser dari sisi produksi ke sisi permintaan, mencerminkan urgensi menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan eksternal. Langkah ini dipandang krusial untuk mencegah perlambatan yang lebih dalam.

Dalam laporan kerja tahunan yang disampaikan Maret lalu, Premier Li Qiang menyebut peningkatan konsumsi sebagai prioritas utama tahun ini. Pemerintah menargetkan pertumbuhan sekitar 5 persen, angka yang dinilai ambisius di tengah tantangan global.

“Kata ‘konsumsi’ disebut 27 kali dalam laporan itu, jumlah tertinggi dalam satu dekade,” kata Laura Wang dari Morgan Stanley.

Stimulus terbaru datang dalam bentuk perluasan program subsidi trade-in, dengan anggaran melonjak dua kali lipat menjadi 300 miliar yuan (sekitar Rp689,4 triliun). Subsidi ini akan menanggung 15 hingga 20 persen harga pembelian untuk produk-produk tertentu seperti ponsel kelas menengah dan peralatan rumah tangga. Skema ini merupakan perluasan dari program tahun lalu yang hanya mengalokasikan 150 miliar yuan (sekitar Rp344,7 triliun) untuk produk terbatas.

Profesor ekonomi dari Universitas Tsinghua, Li Daokui mengisyaratkan stimulus tambahan segera diumumkan dalam waktu dekat.

“Dalam 10 hari ke depan, kita akan melihat pengumuman dari Dewan Negara,” ujarnya.

Ia menambahkan, China akan melipatgandakan atau bahkan menguatkan lagi upaya untuk meningkatkan konsumsi domestik. Meski begitu, beberapa ekonom tetap skeptis terhadap efektivitas kebijakan ini.

“Sepertinya dukungan konsumsi tidak akan cukup untuk sepenuhnya mengimbangi lemahnya ekspor,” kata Julian Evans-Pritchard dari Capital Economics.

Ia juga menyebut, kelebihan kapasitas akan makin memburuk, yang dapat memperkuat tekanan penurunan harga ke depan. Tekanan deflasi yang berkepanjangan menunjukkan pemulihan ekonomi China masih rapuh dan belum merata.

Di tengah eskalasi perang dagang dan lesunya ekspor, keberhasilan stimulus domestik akan menjadi kunci. Arah kebijakan dalam beberapa bulan ke depan akan sangat menentukan nasib pertumbuhan tahun ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us