Hubungan Investasi Indonesia-Australia Belum Maksimal

Jakarta, IDN Times - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebutkan kerja sama investasi antara Indonesia dan Australia saat ini masih belum maksimal meskipun secara diplomatik hubungan kedua negara tersebut sudah sangat baik.
"Saya yakin hubungan Indonesia dan Australia bisa dipererat lagi. Dalam konteks investasi, jujur kami katakan belum maksimal. Ini tugas kita bersama," kata Bahlil dalam pidato kuncinya pada Indonesia-Australia Business Summit (IABS) di Melbourne, Australia, dikutip Selasa (14/5/2024).
1. Realisasi investasi Australia di Indonesia dalam lima tahun terakhir

Sebagai negara terdekat, realisasi investasi Australia di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir sejak 2019 hingga 2024 baru sebesar 1,96 miliar dolar AS. Selama 2023, Australia menempati peringkat 10 sebagai sumber penanaman modal asing (PMA) terbesar bagi Indonesia dengan realisasi investasi mencapai 0,5 miliar dolar AS.
Demikian pula pada kuartal-I 2024, Australia masih berada di peringkat 10 dengan realisasi investasi sebesar 172,3 juta dolar AS.
Adapun tiga sektor utama penyumbang realisasi investasi terbesar asal Australia adalah pertambangan (65,4 persen), hotel dan restoran (7,6 persen) serta jasa lainnya (6,4 persen).
2. Indonesia-Australia bisa jadi kekuatan baru industri EV battery

Menurut Bahlil, Indonesia dan Australia bisa berkolaborasi dalam pengembangan industri baterai mobil listrik. Kedua negara sama-sama memiliki komoditas nikel. Selain itu, Indonesia juga memiliki kobalt dan mangan. Tapi, Indonesia tidak punya litium yang justru dipunyai Australia.
"Jika kedua negara bisa berkolaborasi, ini akan menjadi kekuatan baru dalam industri baterai mobil listrik," ujar Bahlil.
3. Fokus pemerintah pada hilirisasi
Bahlil kembali menekankan fokus pemerintah saat ini pada sektor hilirisasi. Indonesia tidak lagi mengekspor komoditas mentahnya untuk diproses di luar negeri, melainkan harus dalam negeri.
Program ini telah dilakukan pemerintah secara bertahap sejak pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Komoditas pertama yang dilarang ekspornya adalah nikel pada 2020 dan hasilnya telah dirasakan saat ini.
Pada 2017, ekspor produk turunan nikel hanya sebesar 3,3 miliar, sedangkan 2022 meningkat 10 kali lipat hingga 33,8 miliar. Bahlil mengatakan, hal itu tidak mudah karena mendapat tentangan dari negara lain yang merasa dirugikan.
"Kami sudah memulai (hilirisasi), ibarat pesawat kami sudah take-off. Tidak ada satu negara pun yang dapat memerintahkan kita untuk mundur. Kami akan jalan terus seiring berjalan waktu dan dinamika global," kata dia.