Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jalan Berliku Menuju Ketiadaan Angkutan ODOL di Jalanan Indonesia

Truk ODOL terjaring razia di ruas tol Ngawi - Kertosono. (IDN Times/ Riyanto)
Intinya sih...
  • Penanganan angkutan ODOL rencananya mau diberlakukan usai Lebaran 2025
  • Jembatan timbang tidak lagi bisa jadi solusi
  • Sopir truk minim pendidikan menjadi penyebab maraknya angkutan ODOL

Jakarta, IDN Times - Persoalan angkutan Over Dimension Over Load (ODOL) alias kelebihan muatan semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Menteri Perhubungan (Menhub), Dudy Purwagandhi dengan tegas mengungkapkan, penanganan angkutan ODOL di Indonesia mesti segera dilaksanakan dan tidak bisa lagi ditunda-tunda.

Hal itu lantaran selama ini masalah angkutan ODOL telah menyebabkan dampak mengerikan di berbagai aspek, seperti kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban luka hingga korban jiwa, kemacetan di sejumlah ruas jalan, kerusakan infrastruktur jalan, bahkan peningkatan polusi udara di daerah terdampak.

“Data Korlantas Polri menyebutkan, terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang pada tahun 2024. Sementara data Jasa Raharja menunjukkan bahwa kendaraan ODOL jadi penyebab kecelakaan nomor dua, di mana pada tahun 2024 tercatat ada 6.390 korban meninggal dunia yang diberikan santunan," ujar Dudy kepada media di Jakarta, dikutip Jumat (27/6/2025).

"Adapun terkait kerusakan infrastruktur, diperkirakan butuh anggaran sekitar Rp43,47 triliun per tahun untuk melakukan perbaikan jalan rusak yang salah satunya disebabkan oleh kendaraan ODOL,” sambung dia.

Faktor-faktor itu yang kemudian jadi alasan kuat pemerintah ingin menerapkan Zero ODOL mulai sisa tahun ini hingga tahun-tahun mendatang.

1. Penanganan angkutan ODOL rencananya mau diberlakukan usai Lebaran 2025

IMG-20250627-WA0006.jpg
Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi (Chris/BKIP Kemenhub)

Meski begitu, pada awalnya Dudy mengatakan, penerapan angkutan ODOL untuk melintas di jalanan berlaku usai Lebaran 2025 atau pada April lalu.

Pernyataan itu disampaikan awal Maret 2025 bertepatan dengan momen Ramadan. Rencana larangan angkutan ODOL usai Lebaran tidak lepas dari momen Ramadan dan masih banyak proses distribusi barang terjadi.

"Sebenarnya kita belum masif karena memang suasananya kan sekarang masih suasana bulan Ramadan ya. Kita juga tahu bahwa pada saat Ramadan ini distribusi barang masih cukup tinggi, tapi pesan yang ingin kami sampaikan bahwa pada penyelenggara angkutan darat khususnya, kita sudah mulai serius lagi terhadap penanganan masalah ODOL," tuturnya.

Adapun Dudy dan Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita sepakat untuk segara melaksanakan penerapan Zero ODOL di lapangan tanpa tahapan tambahan.

“Kami dari Kementerian Perhubungan mengucapkan banyak terima kasih dan mengapresiasi Kementerian Perindustrian. Setelah sekian lama kami melakukan rapat intensif, akhirnya kami sepakati bahwa penerapan Zero ODOL harus segera dilaksanakan di lapangan,” ujar Dudy saat bertemu dengan Agus pada Februari 2025.

Sementara itu, Agus menegaskan dukungan penuh terhadap kebijakan ini sebagai bagian dari tanggung jawab sektor industri dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan berkelanjutan.

“Kami selalu mendukung penerapan Peraturan Zero ODOL. Ini kesadaran kami dalam menciptakan Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) di lapangan dan juga termasuk di sektor industri,” kata Agus.

Dengan adanya kesepakatan ini, pemerintah berharap kebijakan Zero ODOL dapat segera diterapkan secara efektif. Hal itu agar bisa meningkatkan keselamatan jalan, mengurangi dampak buruk terhadap infrastruktur, dan meningkatkan efisiensi distribusi logistik di Indonesia.

2. Jembatan timbang tidak lagi bisa jadi solusi

Jembatan timbang berbasis teknologi IoT. (Dok. Istimewa)
Jembatan timbang berbasis teknologi IoT. (Dok. Istimewa)

Keberadaan angkutan obesitas sejatinya bisa terhindarkan apabila jembatan timbang di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan dapat bekerja maksimal.

Jembatan timbang yang dijalankan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) merupakan salah satu alat untuk pengawasan kendaraan angkutan agar tidak membawa muatan berlebih. Namun, UPPKB yang dibentuk oleh Kemenhub sampai saat ini belum bisa menjadi solusi atas banyaknya angkutan ODOL di jalanan.

Pada awalnya, UPPKB berada dalam naungan Dinas Perhubungan Provinsi, tetapi saat ini diambil alih operasinya oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub sesuai dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pemerintah Daerah.

Perpindahan itu tadinya dilakukan lantaran UPPKB belum memberikan perubahan yang baik bagi pengguna jalan. Namun, setelah berada di bawah koordinasi pusat, UPPKB juga belum menunjukkan kinerja apik dalam mengatasi angkutan ODOL.

Menhub Dudy pun mengatakan, jembatan timbang saat ini sudah tidak efektif digunakan untuk menjaring truk ODOL di jalan tol. Dia lalu mengaku bakal menggabungkan teknologi Weight in Motion (WIM) dan jembatan timbang portable, untuk menjaring angkutan ODOL.

"(Jembatan timbang) bukan ditiadakan, tapi kita akan menggabungkan motodenya. Jadi jembatan timbang, kemudian ada Weight in Motion itu juga di jalan tol, kita akan lihat seberapa efektifnya," ucapnya.

Dudy pun mengungkapkan alasan mengapa jembatan timbang tidak lagi efektif digunakan untuk mencegah truk-truk ODOL berkeliaran di jalan raya.

"Jembatan Timbang itu kan kebanyakan ada di jalan arteri. Sekarang truk-truk (ODOL) ini masuk tol soalnya. Kemudian juga kita tidak bisa mengoperasikan 24 jam. Jadi mereka kalau kita operasikan jam 8 pagi terus istirahat truk itu bisa lewat kemudian kalau sampai jam 5 sore gak ada lagi, ya sudah mereka seperti berpesta jadinya," tutur dia.

Oleh karena itu, Dudy mengatakan, pihaknya akan mengubah cara dalam menjaring truk-truk ODOL ini dengan metode 'jemput bola'. 

"Kemarin saran dari Gubernur Jabar saran cukup bagus kami datangi misalnya wilayah-wilayah, kawasan-kawasan yang banyak angkutannya. Kami cegat disitu sehingga mereka tidak terlalu jauh ke jalan untuk mengangkut barang-barang kelebihan muatan," ujar Dudy.

"Ini yang akan kami lakukan kita akan jemput bola di mana banyak kendaraan-kendaraan ODOL tersebut," sambungnya.

3. Sopir truk minim pendidikan menjadi penyebab maraknya angkutan ODOL

ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Selain tidak berfungsinya jembatan timbang dengan baik, maraknya angkutan ODOL juga disebabkan oleh para pengemudi truk yang tidak terdidik dengan baik dan benar.

Menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), hal itu berbanding terbalik dengan kondisi di angkutan lainnya seperti pesawat yang membutuhkan mekanisme sertifikasi seorang pilot, mulai dari proses belajar untuk memperoleh Student License Pilot. Kemudian saat diizinkan membawa pesawat pribadi melalui Private License Pilot dan setelah terbang 1.500 jam, baru boleh ikut sertifikasi untuk dapat Commercial License Pilot.

Setelah dapat sertifikat license, pilot tidak serta merta bisa menerbangkan semua pesawat. Mereka mesti memperoleh sertifikat untuk setiap jenis pesawat yang akan diterbangkan karena setiap pesawat beda merk, beda tipe, dan teknologinya bisa berbeda. 

Demikian juga di kapal, bagaimana seorang nakhoda harus memperoleh sertifikasi melalui ANT 5 sampai dengan ANT 1. Hal sama berlaku untuk masinis kereta. Mereka semua yang mengendalikan alat transportasi benar benar dipersiapkan untuk dapat memahami alat transportasinya, lintasan serta bahaya bahaya yang akan dihadapinya. 

"Selama 20 tahun lebih, di Indonesia belum pernah ada sekolah mengemudi bagi pengemudi bus dan truk. Sementara kendaraan kendaraan itu memiliki merek, tipe dan teknologi yang berbeda beda," tutur Plt Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, Ahmad Wildan.

"Sistem rem saja ada yang hidrolik, pneumatic maupun kombinasi keduanya. Belum lagi teknologinya sekarang bukan lagi otomotif, melainkan sudah bridging ke ototronik dan mekatronik dan sebentar lagi electrical vehicle," imbuhnya.

Pengemudi bus dan truk di Indonesia selama ini belajar secara otodidak, dari teman- temannya dan lain-lain. Tidak ada yang belajar secara terstruktur sebagaimana di moda transportasi lainnya.

Oleh sebab itu KNKT membuat rekomendasi ke pemerintah agar segera membuat sekolah pengemudi bagi pengemudi bus dan truk.

KNKT mencontohkan, kasus truk trailer di Bekasi yang membawa muatan 50 ton dengan jumlah berat keseluruhan mencapai 70 ton lebih.

"Pengemudi berani membawa dengan kendaraan 260 PS yang hanya memiliki kemampuan mesin dan sistem pengereman yang pada kondisi barunya saja didesain untuk berat total maksimal di 35 ton," kata Wildan.

Menurut Wildan, pengemudi menaruh muatan berlebih di truknya bukan karena seorang pemberani, melainkan dia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang power weight to ratio. 

Selain itu, pengemudi juga tidak mengetahui risiko apa saja yang akan dihadapi ketika dia melakukan itu.

"Itulah sebabnya, KNKT menyarankan agar dalam pemberantasan truk ODOL, selain upaya penegakkan hukum, pemerintah juga melakukan edukasi kepada pengemudi yang diawali dengan membuat sekolah mengemudi bagi pengemudi bus dan truk," ujar Wildan.

Dudy pun berpendapat bahwa para pengemudi truk sejatinya perlu mendapatkan pelatihan layaknya pilot, masinis, atau nahkoda.

“Kemenhub melalui Ditjen Perhubungan Darat akan memberikan pelatihan kepada para pengemudi truk, baik yang menyangkut hal-hal teknis hingga edukasi terkait ketentuan-ketentuan yang berlaku di jalan raya,” kata dia.

Dudy menegaskan pemerintah harus berani maju selangkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada semua pengguna jalan.

”Kalau kita ingin menata sektor transportasi, perlu ada satu langkah yang harus kita mulai, daripada tidak sama sekali,” ujarnya.

4. Penetapan gaji standar bagi sopir truk

Potret Jaya menerima uang dari pengemudi truk yang melintas di Sitinjau Lauik (IDN Times/Athif Aiman)
Potret Jaya menerima uang dari pengemudi truk yang melintas di Sitinjau Lauik (IDN Times/Athif Aiman)

Pendidikan atau sertifikasi bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan oleh sopir truk, melainkan upah atau gaji yang memadai. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai penetapan standar upah bagi sopir truk perlu dilakukan pemerintah. Menurut MTI, selama ini upah bagi sopir truk masih di bawah standar padahal perannya tidak bisa dikucilkan bagi industri logistik tanah air.

"Upah pengemudi, harus ada standar. Sudah masuk di Kemnaker, gak diberesin karena tidak politis. Saya bilang gak ada sopir itu, jangankan kita, presiden itu gak bisa makan nasi. Beras itu yang bawa sopir, tapi malah sering diabaikan," tutur Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno kepada IDN Times.

Kehidupan sopir truk saat ini masih jauh dari kondisi sejahtera. Salah satu penyebabnya adalah upah atau gaji yang mereka terima masih di bawah standar upah minimum regional (UMR).

Djoko menyebutkan, minimnya kesejahteraan sopir membuat banyak truk mengalami kecelakaan akibat membawa muatan terlalu banyak alias ODOL.

"Penghasilan pengemudi sebulan rata-rata Rp1 juta sampai dengan Rp4 juta, masih di bawah upah minimal di daerah," kata Djoko.

Menurut Djoko, kondisi kesejahteraan sopir truk saat ini sudah tidak seperti dulu. Hal itu diakibatkan persaingan tarif mengangkut barang.

Semenjak Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disahkan, telah terjadi perang tarif yang tidak sehat di bisnis transportasi barang. Imbasnya, para pengusaha truk berupaya menekan biaya sedalam-dalamnya agar mendapatkan tender dari perusahaan milik barang.

"Kemudian dikorbankan pengemudi dikasih gaji atau upah yang rendah," kata Djoko.

Djoko menambahkan, pemerintah mesti merevisi UU Nomor 22/2009 khususnya pada Pasal 184 yang mengatur tentang penerapan tarif angkutan barang.

Pasal tersebut menyatakan, tarif angkutan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Tarif angkutan barang tidak ditetapkan secara rigid oleh pemerintah, melainkan melalui kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum.

Ketentuan ini berbeda dengan angkutan umum yang memiliki tarif dasar ditetapkan oleh pemerintah, dengan batas bawah dan atas. Hal ini dapat menyebabkan variasi tarif signifikan antara perusahaan angkutan, yang disebut sebagai perang tarif.

"Perang tarif angkutan barang adalah persaingan harga yang tidak sehat antara pengusaha angkutan barang. Perang tarif ini berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan dan daya saing pengusaha. Kerusakan jalan disebabkan kendaraan barang berdimensi dan muatan berlebih," tutur Djoko.

5. Kemenhub mau buat aturan pemberian gaji sopir truk

Ilustrasi Gaji UMR (Pexels.com/Defrino Maasy)
Ilustrasi Gaji UMR (Pexels.com/Defrino Maasy)

Gaji sopir truk saat ini belum memiliki aturan hukum yang jelas sehingga hal tersebut membuat sopir truk menjadi pekerjaan penuh risiko dan jauh dari kata sejahtera.

Upah atau bayaran bagi sopir truk selama ini disepakati antara pemilik barang dengan perusahaan jasa angkutan. Oleh karena itu, Kemenhub berencana membuat aturan tersebut agar sopir truk punya standar gaji yang layak.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan menyatakan, dengan gaji yang layak dan sesuai standar maka sopir truk tidak perlu lagi kejar setoran. Adapun kejar setoran terjadi lantaran tarif angkutan barang selama ini terbentuk lewat mekanisme pasar.

Aan menjelaskan, terdapat tiga aspek yang jadi patokan tarif angkutan barang saat ini. Pertama, tarif dihitung per perjalanan. Kedua, dihitung per berat barang yang diangkut, dan ketiga, berdasarkan volume barang yang diangkut.

Jika mengikuti penghitungan berdasarkan berat barang yang diangkut, maka kendaraan atau angkutan tak bisa lepas dari aspek kelebihan muatan. Kasus ini sering terjadi pada angkutan yang dipakai untuk mengangkut barang dengan volume besar.

Sementara jika dihitung per dimensi, semakin banyak barang yang diangkut maka ongkos angkut bakal semakin meningkat. Ini otomatis membuat perusahaan kerap membesarkan truknya. Namun, jika tarif dihitung berdasarkan jarak perjalanan, perusahaan pemilik barang menginginkan barang yang diangkut sekaligus banyak.

"Kemudian kalau kita lihat rencana aksi juga, aspirasi pengemudi terkait upah, ini akan melibatkan kementerian lain, menyusun upah pengemudi ini," ujar Aan.

"Mudah-mudahan dengan yang lebih terencana ini bisa lebih tuntas, jadi kita tidak bisa Kemenhub saja yang melaksanakan ini, perlu kementerian lain dan seluruh stakeholder yang terlibat terkait ODOL," sambung dia.

6, Pemerintah perlu berikan insentif dalam pemberantasan angkutan ODOL

Ilustrasi insentif (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi insentif (IDN Times/Arief Rahmat)

Persoalan angkutan ODOL sejatinya telah berlangsung sejak lama, tetapi pemerintah tidak pernah menyelesaikannya secara menyeluruh.

Pemerhati transportasi sekaligus Mantan Kadishubtrans DKI Jakarta, Muhammad Akbar menilai lantaran pemerintah melakukan pendekatan yang cenderung represif, tanpa diimbangi kebijakan insentif bagi pelaku usaha taat regulasi.

Adapun selama ini pemerintah melaksanakan berbagai upaya penertiban angkutan ODOL seperti razia gabungan, pembangunan jembatan timbang modern, hingga penindakan administratif dan pidana.

“Namun, efektivitas penegakan hukum di lapangan masih menghadapi sejumlah kendala seperti keterbatasan sumber daya pengawasan dan resistensi dari sebagian pelaku usaha angkutan. Akibatnya, kepatuhan tidak berkembang secara berkelanjutan karena kurangnya dorongan positif bagi pelaku usaha untuk tetap taat aturan,” ujar Akbar.

Meski begitu, Akbar menilai penindakan tegas terhadap angkutan ODOL tetap harus menjadi prioritas guna menegakkan wibawa aturan dan memberikan efek jera bagi pelanggar.

Akbar mengatakan, tidak boleh ada kompromi dalam hal keselamatan lalu lintas dan perlindungan terhadap infrastruktur jalan. Namun, kebijakan yang semata-mata mengedepankan sanksi berisiko timpang dan sulit diterima oleh pelaku industri, khususnya di sektor angkutan barang yang selama ini beroperasi dengan margin keuntungan yang relatif tipis.

Akbar menilai, pemerintah perlu menerapkan pendekatan adil, yakni pemberian sanksi bagi pelanggar dan pemberian insentif bagi mereka yang patuh terhadap regulasi.

Saat ini banyak pengusaha angkutan telah bersusah payah menyesuaikan armada mereka, mulai dari mengganti karoseri, mengurangi muatan, hingga membeli unit baru yang tentu membutuhkan biaya besar dan pengorbanan tidak sedikit. Namun sayangnya, kepatuhan seperti ini belum sepenuhnya dihargai secara nyata dan layak.

Akbar mengungkapkan, sejauh ini apresiasi yang diberikan masih bersifat verbal dan belum disertai bentuk insentif konkret untuk meringankan beban atau mendukung kelangsungan usaha mereka.

Menurutnya. insentif nyata bisa menjadi motor penggerak kepatuhan yang berkelanjutan. Bentuknya bisa berupa kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang memberi nilai tambah bagi pelaku usaha yang mematuhi aturan. 

“Beberapa bentuk insentif yang layak dipertimbangkan antara lain, pertama  adalah diskon tarif tol bagi kendaraan non-ODOL pada ruas-ruas tertentu. Kedua, subsidi atau potongan harga BBM bersubsidi untuk armada yang sesuai standar dimensi dan muatan," ujarnya.

Ketiga, diskon biaya servis di bengkel resmi yang bekerja sama dengan pemerintah, untuk mendorong pemeliharaan kendaraan secara rutin dan berkala. Keempat , kemudahan pembiayaan berbunga rendah, agar pengusaha bisa mengganti armada ODOL dengan kendaraan yang sesuai regulasi tanpa tekanan modal yang besar.

“Insentif semacam ini akan menciptakan keseimbangan. Kepatuhan tidak lagi terasa sebagai beban berat yang tidak sebanding, melainkan sebagai investasi yang masuk akal. Selama pelanggaran lebih menguntungkan secara ekonomi, kendaraan ODOL akan tetap menjadi pilihan pragmatis,” tutur dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us