Jepang Ogah Beri Kompromi Besar dalam Negosiasi Tarif AS

- PM Jepang menolak kompromi besar dalam negosiasi tarif dengan AS
- Tarif universal 10 persen dan tambahan 25 persen untuk mobil berdampak serius pada ekonomi Jepang
Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengatakan, negaranya tidak akan membuat kompromi besar dalam negosiasi tarif mendatang dengan pemerintahan Presiden Donald Trump. Ia menyebut Jepang tidak terburu-buru mencapai kesepakatan hanya demi mempercepat proses perundingan.
“Saya tidak berpandangan bahwa kita harus memberikan kompromi besar demi menyelesaikan negosiasi secara cepat,” kata Ishiba dalam sidang parlemen, dikutip dari The Straits Times, (14/4/2025).
Ia juga menolak opsi menerapkan tarif balasan terhadap barang-barang asal AS sebagai respons.
Ishiba menilai penting bagi Jepang untuk memahami logika serta sisi emosional dari kebijakan tarif Trump. Ia mewaspadai bahwa pendekatan semacam itu bisa mengguncang stabilitas ekonomi global.
1. Tarif mobil AS jadi tekanan utama bagi Jepang

Tarif universal sebesar 10 persen masih berlaku untuk seluruh produk ekspor Jepang, di samping beban tambahan 25 persen khusus untuk mobil. Sektor otomotif menjadi perhatian utama karena menyumbang sekitar 28 persen dari total ekspor Jepang ke AS.
Penerapan tarif mobil yang tinggi dinilai sebagai ancaman serius bagi ekonomi Jepang. Meskipun statusnya sekutu lama AS, Jepang tetap menjadi sasaran kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan pemerintahan Trump.
Negosiasi dijadwalkan dimulai pada Kamis di Washington dan akan mencakup tarif, hambatan nontarif, serta isu nilai tukar. Posisi Jepang dalam perundingan ini akan dipimpin oleh Menteri Ekonomi Ryosei Akazawa.
2. Isu yen dan suku bunga berpotensi jadi titik panas baru

Tuduhan Jepang sengaja melemahkan yen untuk keuntungan perdagangan kembali mencuat jelang negosiasi. Nilai tukar diperkirakan menjadi bahan perdebatan antara Menteri Keuangan Jepang Katsunobu Kato dan Menteri Keuangan AS Scott Bessent.
“Kedua negara memiliki pandangan yang sama bahwa volatilitas pasar yang berlebihan akan berdampak buruk bagi perekonomian,” kata Kato.
Namun pembahasan soal yen bisa meluas ke kebijakan moneter, dan berisiko mengganggu keputusan Bank of Japan (BOJ) dalam menentukan arah suku bunga.
Dilansir dari Bloomberg, eks ekonom bank sentral yang kini menjabat Direktur Pelaksana Goldman Sachs Jepang, Akira Otani menyebut, BOJ mungkin akan menghentikan kenaikan suku bunga jika yen menyentuh angka 130 per dolar AS. Sebaliknya, jika yen jatuh di bawah 160, langkah kenaikan suku bunga bisa dipercepat untuk menjaga kestabilan.
3. Pemerintah Jepang siapkan respons atas dampak ekonomi

Pada Senin ini, nilai tukar dolar turun 0,62 persen menjadi 142,62 yen. Melemahnya yen yang terus berlanjut menambah beban impor dan menekan konsumsi masyarakat.
Sejumlah anggota parlemen dari kubu pemerintah dan oposisi mendesak pemerintah memberi stimulus ekonomi untuk meredam dampak kenaikan biaya hidup akibat tarif Trump. Usulan yang mengemuka mencakup pemotongan pajak hingga pemberian bantuan tunai.
Ishiba mengatakan, pemerintah belum berencana mengajukan anggaran tambahan saat ini. Namun ia memastikan siap mengambil langkah tepat waktu jika kondisi ekonomi memburuk.