Kebijakan Gas Murah Tak Optimal, Daya Saing Industri RI Loyo

Jakarta, IDN Times - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan program harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk sektor industri tidak berjalan dengan baik. Kondisi itu semakin menekan industri yang sedang dihantam oleh faktor global.
Melalui program HGBT, seharusnya sektor industri yang masuk ke dalam daftar penerima dapat membeli gas bumi di harga enam dolar AS per MMBTU.
"Beberapa industri justru membeli harga di atas enam dolar AS per MMBTU, sehingga menurunkan daya saing produk mereka," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, dalam keterangannya, Kamis (2/11/2023).
1. Kemenperin minta kebijakan HGBT dilaksanakan sesuai aturan

Dia menyebut, HGBT untuk sektor industri harus bisa diimplementasikan sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Menurutnya, adanya isu kenaikan harga gas bumi tertentu bakal mempengaruhi daya saing industri.
Selain itu, Kemenperin juga mendorong perluasan program HGBT. Itu diyakini bakal berdampak terhadap peningkatan investasi sektor industri di Indonesia, sejalan dengan ketersediaan energi yang kompetitif.
"Apalagi, pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Febri.
2. Ada beberapa kendala dalam menerapkan kebijakan HGBT

Ada beberapa kendala dalam penerapan HGBT, menurut Febri, yakni sektor industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi di bawah volume kontrak.
Dia mencontohkan, di Jawa Timur terjadi pembatasan kuota antara 27-80 persen kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan.
Kemudian, masih ada industri penerima HGBT yang memperoleh harga di atas enam dolar AS per MMBTU. Bahkan, kata dia, ada sektor industri pengguna yang belum menerima HGBT. Sektor industri tersebut sudah direkomendasikan oleh Menperin sejak April 2021 Agustus 2022.
"Kami mendorong agar kebijakan HGBT bagi sektor manufaktur dapat dijalankan dengan menegakkan aturan-aturannya," ujar Febri.
3. Industri manufaktur sejauh ini masih mampu bertahan

Industri manufaktur di Indonesia sedang mengalami tekanan cukup berat akibat kondisi di global maupun dalam negeri, karena perekonomian dunia masih tak menentu dan mengalami perlambatan karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel.
Kondisi itu, dijelaskan Febri, berdampak signifikan terhadap permintaan bagi sektor industri manufaktur di Indonesia. Meskipun Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Oktober 2023 yang dirilis Kemenperin menunjukkan ekspansi dengan capaian 50,70, namun itu mengalami perlambatan dari angka 52,51 di September 2023.
Begitupun dengan hasil Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan yang sama, turun dari di posisi 52,3 di September, menjadi 51,5 di Oktober.
"Untuk PMI manufaktur Indonesia, kita telah berada di posisi ekspansi selama 26 bulan berturut-turut. Meskipun industri manufaktur kita tengah mengalami gempuran yang bertubi-tubi, namun dari tingkat kepercayaan diri atau optimismenya masih cukup tinggi," kata Febri.