Korupsi Emas Antam, Budi Said Rekayasa Permintaan Kekurangan Emas

Intinya sih...
- Kesaksian Eksi Anggraeni membongkar bahwa klaim kekurangan emas Budi Said dalam kasus jual beli emas Antam merupakan hasil rekayasa yang diminta dan didesain oleh Budi sendiri.
- Eksi dihubungi oleh Budi untuk mendokumentasikan semua transaksi pembelian emas di Antam, termasuk tanggal pembelian, jumlah dana yang disetor ke rekening Antam, nomor faktur, dan waktu penyerahan barang.
Jakarta, IDN Times - Klaim kekurangan emas yang diajukan crazy rich Surabaya, Budi Said dalam dugaan korupsi jual beli emas PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam merupakan hasil rekayasa. Hal itu terungkap dalam fakta persidangan atas kasus tersebut.
Kesaksian Eksi Anggraeni yang bertindak sebagai broker dalam transaksi pembelian emas Budi Said di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 Antam mengungkap surat keterangan kekurangan emas tersebut diminta dan didesain oleh Budi sendiri. Surat itu kemudian menjadi dasar bagi Budi untuk menggugat perdata Antam di pengadilan.
Eksi mengungkapkan, surat keterangan kekurangan serah emas sebanyak 1.136 kilogram (kg) dari BELM Surabaya 01 Antam dibuat atas permintaan Budi Said melalui telepon.
"Semua konsep surat itu berasal dari arahan Budi Said," ujar Eksi di depan Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, dikutip Rabu (30/10/2024).
1. Telepon dari Budi Said datang akhir 2018
Eksi mengungkapkan, sekitar Oktober atau November 2018, dia dihubungi oleh Budi untuk mendokumentasikan semua transaksi pembelian emas di Antam. Hal itu termasuk tanggal pembelian, jumlah dana yang disetor ke rekening Antam, nomor faktur, dan waktu penyerahan barang.
"Semua perhitungan itu, arahannya dari Pak Budi," ujar Eksi.
2. Eksi bertemu dengan para tersangka lainnya
Setelah konsep surat disusun, Eksi mendatangi BELM Surabaya 01 untuk meminta surat keterangan tersebut kepada Kepala Butik, Endang Kumoro. Namun, Endang sedang menunaikan ibadah umrah saat itu.
Eksi kemudian menemui Ahmad Purwanto, seorang pejabat di butik dan Misdianto, pegawai administrasi. Permintaan surat keterangan dari Budi Said disampaikan kepada Purwanto dengan Eksi mengonfirmasi bahwa surat tersebut memang permintaan Budi.
Setelah surat rampung dibuat, Eksi menyerahkannya ke rumah Budi Said di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Surabaya. Namun, Budi menolak karena surat tersebut tidak ditandatangani oleh Endang.
Setelah Endang kembali dari umrah, Eksi kembali ke butik untuk meminta surat yang sama dengan tanda tangan Endang.
"Setelah saya serahkan, Pak Budi bilang, 'Ini benar, Bu'," kata Eksi.
Kemudian dalam sidang, jaksa menunjukkan surat bertanggal 16 November 2018 yang menyebutkan harga emas Rp505 juta per kilogram. Eksi menyatakan, harga tersebut sesuai dengan informasi dari dirinya kepada Budi, tetapi harga resmi Antam pada 2018 berkisar Rp590 juta per kilogram.
Saat jaksa menanyakan keabsahan surat itu, Eksi mengaku harga di surat itu memang tidak sesuai dengan harga resmi Antam yang tertera di faktur. Eksi menambahkan, catatan pembayaran itu pun tidak sesuai dengan tanggal di faktur karena dia menuliskannya berdasarkan instruksi Budi Said.
3. Surat keterangan dipakai Budi Said gugat Antam
Dalam persidangan juga terungkap, surat keterangan itu digunakan Budi Said sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Antam, dengan dalih kekurangan serah emas sebanyak 1.136 kg.
Budi Said mengklaim telah melakukan pembayaran sebesar Rp3,59 triliun untuk pembelian emas seberat 7.071 kg, tetapi hanya menerima 5.935 kg. Padahal berdasarkan faktur resmi yang diterbitkan Antam, tidak ada kekurangan serah emas seperti yang dituduhkan oleh Budi Said.
Hal itu diketahui Eksi dari penasihat hukumnya saat dia masih di dalam rumah tahanan atas perkara dugaan korupsinya di BELM Surabaya 01 Antam.
"Tiba-tiba ada gugatan dari Pak Budi Said, tahun 2019 berlanjut sampai 2020. Saya dapat kabar dari PH (penasihat hukum) bahwa Pak Budi Said menuntut Antam 1.136 kilogram emas," kata dia.
4. Dakwaan terhadap Budi Said
Adapun dalam perkara ini, JPU Kejaksaan Agung mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi terkait pembelian emas Antam dan tindak pidana pencucian uang.
Dalam dakwaan yang dibacakan pada persidangan perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Budi Said diduga terlibat dalam transaksi pembelian 5,9 ton emas yang direkayasa agar seolah-olah terlihat terdapat pembelian 7 ton emas dari BELM Surabaya 01.
Jaksa mengungkapkan, Budi Said juga melakukan transaksi pembelian emas dengan harga sebesar Rp505 juta per kg itu jauh di bawah standar dan tidak sesuai prosedur Antam.
Dia bekerja sama dengan broker Eksi Anggraeni serta beberapa terpidana yang merupakan mantan pegawai Antam termasuk Endang Kumoro, Ahmad Purwanto, dan Misdianto.
Dalam dua transaksi utama, Budi Said pertama kali membeli 100 kg emas dengan harga Rp25.251.979.000, yang seharusnya hanya berlaku untuk 41.865 kg. Hal tersebut mengakibatkan selisih emas sebesar 58.135 kg yang belum dibayar.
Sementara pada transaksi kedua, Budi Said membeli 5,9 ton emas seharga Rp3.593.672.055.000 dan secara melawan hukum mengklaim adanya kurang serah sebanyak 1.136 kg.
Dalam kasus ini, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp1,16 triliun yang terdiri dari Rp92.257.257.820 dari pembelian pertama dan Rp1.073.786.839.584 dari pembelian kedua. Angka tersebut dihitung berdasarkan kekurangan fisik emas Antam di BELM Surabaya 01 dan kewajiban Antam untuk menyerahkan 1.136 kg emas kepada Budi Said sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1666K/Pdt/2022 tertanggal 29 Juni 2022.
Atas perbuatannya, Budi Said dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, Budi Said juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.