Nvidia Ikuti Jejak Trump, Suntik Rp82,9 Triliun ke Intel

- Kemitraan dengan Nvidia memungkinkan Intel memproduksi cip khusus untuk platform AI di pusat data serta cip PC dengan teknologi Nvidia.
- Langkah ini dirancang untuk memperkuat ekosistem kedua perusahaan dan memperluas basis teknologi masa depan.
- Intel mendapat sokongan dari SoftBank asal Jepang yang menanamkan 2 miliar dolar AS untuk membeli 2 persen saham pada Agustus 2025.
Jakarta, IDN Times – Nvidia mengumumkan investasi 5 miliar dolar AS (sekitar Rp82,9 triliun) untuk membeli sekitar 4 persen saham Intel pada Kamis (18/9/2025). Aksi ini menjadikan Nvidia salah satu pemegang saham terbesar Intel, menyusul langkah pemerintahan Donald Trump yang lebih dulu mengambil 10 persen saham pada Agustus 2025. Kesepakatan itu masih menunggu persetujuan regulator, namun sudah memicu sorotan pasar global.
CEO Nvidia, Jensen Huang, menyebut kerja sama dengan Intel sebagai momen penting dalam sejarah teknologi.
“Kolaborasi bersejarah ini menggabungkan erat tumpukan AI dan komputasi akselerasi NVIDIA dengan CPU Intel dan ekosistem x86 yang luas – perpaduan dua platform kelas dunia,” kata Huang, dikutip dari The Guardian.
Ia menilai integrasi ini akan mendorong inovasi besar dalam bidang komputasi dan kecerdasan buatan (AI).
1. Intel hadapi krisis keuangan dan upaya bangkit

Kemitraan dengan Nvidia memungkinkan Intel memproduksi cip khusus untuk platform AI di pusat data serta cip PC dengan teknologi Nvidia. Langkah ini dirancang untuk memperkuat ekosistem kedua perusahaan dan memperluas basis teknologi masa depan. Kolaborasi itu menyatukan keunggulan Nvidia di AI dengan posisi Intel di CPU dan arsitektur x86.
Intel sendiri sedang mengalami masa sulit setelah gagal mengimbangi era komputasi mobile pasca-2007 dan tertinggal dalam perlombaan AI. Pada 2024, perusahaan mencatat kerugian hampir 19 miliar dolar AS (setara Rp315 triliun), ditambah 3,7 miliar dolar AS (setara Rp61,3 triliun) pada paruh pertama 2025, serta berencana memangkas seperempat tenaga kerja tahun ini.
Kapitalisasi pasar Intel kini hanya sekitar 100 miliar dolar AS, jauh di bawah Nvidia yang sudah menembus 4 triliun dolar AS berkat dominasi cip AI. Dengan masuknya Nvidia sebagai investor, Intel dipandang punya peluang untuk kembali relevan di industri semikonduktor. Kepercayaan pasar meningkat bahwa perusahaan ini mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan infrastruktur AI yang terus tumbuh.
2. Dukungan pemerintah AS dan investasi global

Intel juga mendapat sokongan dari pihak lain, termasuk SoftBank asal Jepang yang menanamkan 2 miliar dolar AS (setara Rp33,1 triliun) untuk membeli 2 persen saham pada Agustus 2025. Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyebut langkah pemerintah mengambil 10 persen saham Intel sebagai kesepakatan bersejarah yang memperkuat posisi AS di semikonduktor. Langkah tersebut menandakan kepercayaan global terhadap peran Intel di industri cip.
Pemerintahan Trump sendiri semakin agresif dalam menopang manufaktur cip domestik. Washington mengancam tarif 100 persen pada impor cip dan menegosiasikan ekspor cip AI berdaya rendah dari Nvidia serta AMD ke China dengan diskon penjualan 15 persen.
Dilansir dari BBC, seorang analis bernama Gil Luria menilai investasi Nvidia di Intel adalah strategi untuk mengurangi ketergantungan pada Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) sekaligus mendiversifikasi produksi cip di dalam negeri.
3. Dampak terhadap pesaing dan batasan kesepakatan

Meski nilainya besar, investasi Nvidia tidak mencakup unit manufaktur kontrak Intel yang melayani produksi cip bagi perusahaan lain. Analis Ray Wang dari Futurum Group menyebut keterbatasan itu membuat dampak kesepakatan pada bisnis foundry Intel masih terbatas. Fokus utama kerja sama ini tetap pada integrasi teknologi untuk produk AI dan PC.
Namun, langkah Nvidia dan Intel tetap memberi tekanan tambahan kepada para pesaing. Perusahaan seperti AMD dan TSMC diperkirakan menghadapi kompetisi lebih ketat di sektor AI dan semikonduktor global. Kesepakatan ini meneguhkan posisi Nvidia sebagai pemimpin ekosistem AI, sekaligus menunjukkan celah yang masih harus ditutup Intel dalam strategi pemulihannya.