Prabowo Diprediksi Akan Batalkan Aturan yang Rugikan Sektor Tembakau

Jakarta, IDN Times - Ahli hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho menilai Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP 28/2024) yang didorong pada masa Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin perlu dikaji ulang guna memastikan keberlangsungan sektor tembakau pada pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
Ali menyoroti latar belakang presiden terpilih Prabowo Subianto yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode tahun 2004-2009. Menurut dia, hal itu membuat Prabowo mempunyai self-belonging yang cukup besar terhadap petani tembakau.
“Pemerintah baru sudah membuat prioritas, maka produk hukum yang akan menghambat program-programnya itu kemungkinan akan dibatalkan atau dibahas ulang,” kata Ali dalam pernyataan tertulisnya, dikutip Senin (7/10/2024).
1. Prabowo diharapkan berpihak ke sektor tembakau

Ali pun menyinggung kajian dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyimpulkan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak dalam jumlah yang besar.
Hal itu akan semakin besar jika ditambah beban Rancangan Permenkes terkait standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang akan semakin menyuburkan rokok ilegal pada masa mendatang.
Jika aturan terkait industri rokok ini diterapkan, maka dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp308 triliun dan penerimaan pajak dapat menurun hingga Rp160,6 triliun.
“Setiap presiden punya kepentingan ketatanegaraannya sendiri-sendiri, sesuai dengan program prioritasnya. Jadi saya berharap pemerintahan baru dapat mengakomodir dan berpihak ke sektor tembakau,” kata Ali.
2. Haram mengadopsi FCTC

Selain itu, Ali menilai PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes kental mengadopsi aturan yang tercantum di Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia sendiri tidak meratifikasi aturan ini karena pertimbangan ekonomi nasional, mengingat kompleknsya eksosistem pertembakauan di Indonesia dan banyaknya tenaga kerja yang terserap di industri ini.
“Ambil contoh Australia memang menerapkan kemasan polos, tapi apakah berhasil? Prevalensi rokok (dari rokok yang legal) memang turun, tapi perlu dicatat konsumen rokok ilegal juga semakin naik. Jadi kesimpulannya adalah, haram hukumnya untuk mengadopsi FCTC,” ujar Ali.
3. Latar belakang Prabowo dianggap sejalan industri tembakau

Senada, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman sepakat dengan latar belakang Presiden terpilih yang sejalan dengan industri tembakau. Dengan begitu keberpihakan pemerintahan baru terhadap petani tembakau akan semakin besar.
Melihat potensi kehilangan pendapatan hingga ratusan triliun dari kemasan rokok polos tanpa merek dan aturan lainnya di PP 28/2024, Budhyman menegaskan sudah semestinya aturan tersebut dibatalkan karena dampaknya buruk bagi negara.
“Kami berharap PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes ini ditinjau kembali. Kami juga menolak secara tegas terhadap aturan yang benar-benar akan merugikan bagi ekosistem pertembakauan, apalagi untuk kemasan rokok polos tanpa merek,” ujar Budhyman.