Aturan Kemasan Rokok Polos Dinilai Sudutkan Industri Tembakau

Jakarta, IDN Times - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang memandatkan kemasan rokok polos tanpa merek sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dinilai tidak tepat untuk dijalankan.
Selain itu, beleid tersebut juga berpotensi merugikan masyarakat lantaran minimnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses perumusannya.
Pembuatan aturan turunan dengan model omnibus tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi sektor tembakau yang mencakup lingkup besar dari hulu hingga ke hilir. Dengan begitu, pendalaman materi menjadi terbatas dan kurang mempertimbangkan imbas ke depannya.
Praktisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hari Prasetiyo menilai Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berwenang di bagian kesehatan perlu memastikan kebijakannya fokus pada bidangnya terlebih dulu sebelum mengatur komoditas lain, terlebih yang memiliki dampak ekonomi masif dan sistemik.
“Dari aturan turunan yang dikeluarkan saat ini pun, aturan zat adiktif terlalu menyudutkan tembakau dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan yang sebelumnya telah disahkan,” ujar dia, dikutip Rabu (2/10/2024).
1. Aturan kemasan rokok polos tanpa merek dipaksakan

Hari menyoroti kemunculan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes merupakan aturan yang dipaksakan dan tidak sesuai dengan UU Kesehatan dan PP 28/2024. Kemenkes menyatakan kebijakan tersebut mengadopsi ketentuan dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal, pemerintah tidak meratifikasi FCTC.
Oleh karena itu, Hari mengingatkan Kemenkes untuk tidak menjalankan aturan ini sebab Indonesia memiliki kompleksitas ekosistem pertembakauan yang berbeda. Aturan ini dapat mengancam sektor tembakau di Indonesia selaku produsen dengan budidaya tembakau yang besar.
“Kalau tembakau mau diatur, pemerintah perlu duduk bareng dengan pelaku usaha dan tanyakan apa yang mau diatur. Sepakati itu dulu. Kalau dibuatnya buru-buru mengejar waktu, terlihat sekali Kemenkes punya target pelaksanaan Rancangan Permenkesnya. Harus sesuai dengan statement Presiden agar jangan sampai kebijakan memberikan dampak buruk ke masyarakat,” tutur Hari.
2. Sektor tembakau berkontribusi besar terhadap pendapatan ritel

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey mengatakan bahwa sebagai sektor hilir, sektor tembakau telah berkontribusi besar bagi pendapatan usaha ritel sampai PDB.
Maka dari itu, imbas hilangnya pendapatan pelaku usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes perlu dimitigasi baik-baik oleh pemerintah.
Roy pun menyayangkan pelaku usaha sebagai ujung pelaksana aturan pemerintah justru tidak diajak bicara dan seringkali mendapatkan misinformasi akibat pengambilan keputusan tidak transparan.
“Peran Kemenkes jangan sampai tumpang tindih. Ada pasal yang ambigu dan tidak bisa dilaksanakan, lalu apakah pasal itu hanya menjadi pajangan? Sementara di lapangan terjadi ‘perdamaian’ dengan oknum. Ini antara input, proses, dan outputnya saja sudah tidak benar,” keluh dia.
Di sisi lain, Roy mengatakan adanya kekhawatiran dari pelaku usaha yang telah mematuhi aturan menjual produk legal, terkait potensi peningkatan rokok ilegal akibat aturan ini.
Roy menyebutkan, pemerintah bukannya fokus pada penekanan rokok ilegal, tetapi malah menekan penjualan rokok legal yang selama ini telah berkontribusi besar terhadap negara.
“(Penyusunan aturan ini) perlu ada keterlibatan pelaku usaha. Silakan jika ingin fokus ke kesehatan, tapi jangan mengatur penjualan dan ikut sertakan kami pelaku usaha. Itulah suara hati kami dari warung-warung, toko tradisional, semua menyuarakan hal yang sama,” ujar dia.
3. Pelaku usaha hanya dinilai sebagai cadangan

Keluhan juga datang dari Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita. Dia menyayangkan proses perumusan peraturan pemerintah secara omnibus yang menitikberatkan justifikasi di Kemenkes.
Garindra mengatakan, pelaku usaha dinilai hanya sebagai ‘cadangan’ yang tidak dilibatkan dalam penyusunannya padahal sektor tembakau memiliki banyak stakeholder dengan berbagai kepentingan yang tidak boleh disimplifikasi.
“Dengan aturan yang diomnibuskan ini, kita jadi terlihat kecil dan terpinggirkan. Setelah PP-nya keluar, Kemenkes percepat semua prosesnya. Ini kan memang gejala yang cukup aneh, tidak tahu apa ini pernah terjadi di negeri ini sebelumnya atau tidak,” ujar dia.
Hasil studi Indef terkait dampak dari Rancangan Permenkes dan PP 28/2024 dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan menunjukkan bahawa kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi yang signifikan.
Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun.