Profil Haji Masagung, Pendiri Toko Buku Gunung Agung yang Mualaf

Toko buku Gunung Agung memutuskan gulung tikar pada 2023, setelah sebelumnya dikabarkan melakukan PHK terhadap para karyawannya. PT Gunung Agung Tiga Belas menyebut tidak bisa menutup biaya operasional, sehingga terus mengalami kerugian bertahun-tahun.
Toko buku ini sudah buka sejak zaman kemerdekaan Indonesia, tepatnya sejak 1953. Sang pendiri merupakan seorang pengusaha bernama Tjio Wie Tay atau juga dikenal Haji Masagung yang kini sudah diwariskan ke anaknya.
Seperti apa profil Haji Masagung dan bagaimana kisahnya mendirikan perusahaan buku ini? Simak selengkapnya di bawah ini, ya.
1. Profil Haji Masagung

Tjio Wie Tay atau yang dikenal Haji Masagung merupakan pengusaha kelahiran Jatinegara, Jakarta pada 8 September 1927. Ia merupakan keturunan Tionghoa yang memiliki leluhur sebanyak 5-6 generasi di Bogor.
Haji Masagung merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Tjio Koan An, seorang teknisi listrik perusahaan gas Belanda dan ibunya, Poppy Nio.
Mulanya, keluarga mereka hidup mapan. Namun, setelah ayahnya meninggal saat Haji Masagung berusia empat tahun, kehidupan mereka menurun drastis.
Tumbuh jadi anak nakal
Tjio Wie Tay tumbuh tanpa perhatian utuh dari ibunya, sehingga ia tumbuh menjadi anak yang nakal. Ia sering bolos sekolah dan pernah dua kali dikeluarkan karena berkelahi dengan temannya. Bahkan, Wie Tay hanya bersekolah sampai bangku SD kelas 5.
Namun, ia menjadi seseorang yang mudah bergaul dengan siapa pun dan tumbuh menjadi sosok pemberani. Ia pernah mendapat sepeda dari tentara Jepang yang kemudian digunakan untuk menjual buah keliling, rokok, hingga buku.
Tjio Wie Tay mulanya menjadi penjual rokok asongan di Glodok dan Senen. Modal usahanya tersebut berasal dari buku pelajaran kakaknya yang dijual ke tukang loak.
Dari menjajakan rokok tersebut, ia kenal dengan Lie Thay San dan The Kia Hoat, dua orang yang nantinya membantu dalam mendirikan Gunung Agung.
2. Berjualan rokok dan bir di toko kecil

Pada 1948, Tjio Wie Tay dan dua orang tersebut mendirikan toko kecil bernama Tay San Kongsie di daerah Kramat Bunder, Jakarta Pusat. Toko tersebut menjual rokok dan minuman bir dari berbagai merek. Toko kecil tersebut juga menjadi agen bir cap Burung Kenari yang populer kala itu.
Beralih menjual buku
Tjio Wie Tay beralih menjadi penjual buku, majalah, dan alat tulis impor karena melihat peluang bahwa permintaan buku-buku di Indonesia meningkat drastis pasca kemerdekaan.
Pada 1951, Masagung menikahi Hian Nio. Tak lama setelah itu, ia membeli rumah hasil sitaan kejaksaan yang terletak di Jalan Kwitang nomor 13 dengan harga Rp110.
3. Pendiri toko buku Gunung Agung

Bisnis Tjio Wie Tay terus mengalami perkembangan. Namun, perusahaan ini pecah kongsi setelah lima tahun berdiri. Wie Tay ingin membangun toko yang lebih besar dalam bentuk firma, sedangkan Lie Thay Shan tidak sepakat dan memilih memisahkan diri.
Akhirnya pada 1953, Wie Tay mengubah nama usahanya menjadi Firma Gunung Agung. Toko tersebut menggelar sebuah pameran buku pada 8 September 1953 dengan memajang sekitar 10 ribu buku.
Saat itu, sudah ada beberapa penulis dan pengusaha terkenal di Indonesia yang menjadi mitra. Mulai dari HB Jassin, Usman Effendi, Adam Malik, Adinegoro, dan Sumanang.
Pada 1975, Tjio Wie Tay memutuskan memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Masagung.
Menerbitkan biografi tokoh-tokoh nasional
Nama Gunung Agung melejit setelah menerbitkan otobiografi Soekarno berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Selain itu, Gunung Agung juga menerbitkan beberapa biografi tokoh nasional, seperti Bung Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, dan Sjafrudin Prawiranegara.
Terus berkembang
Gunung Agung terus berkembang dengan membuka sejumlah outlet di beberapa kota. Pada 6 Januari 1992, perusahaan ini memutuskan go public di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya dengan kode emiten TKGA.
Pada Maret 2013, PT Toko Gunung Agung Tbk. diakuisisi oleh PT Permata Prima Energi dalam rights issue senilai Rp480 miliar.
Buka cabang di luar negeri
Pada 1965, toko buku Gunung Agung berhasil membuka cabang di Tokyo, Jepang. Selain itu, pameran buku juga sukses digelar di Malaysia dan Singapura.
Sejak 1970-an, perusahaan ini juga melebarkan sayap dengan membuka bisnis ritel, jasa pariwisata, dan perhotelan.
4. Mewariskan bisnis ke anaknya

Pada 1986, Haji Masagung mewariskan perusahaan yang dibangunnya kepada ketiga anaknya, yaitu Putra Masagung, Oka Masagung, dan Ketut Masagung. Saat itu, mereka masih berusia masing-masing 30, 24, dan 16 tahun.
Fokus dakwah
Pada era tersebut, Haji Masagung memutuskan mundur dari dunia usaha dan fokus melakukan aktivitas dakwah, pengembangan Islam, dan kegiatan sosial yang bermanfaat.
Haji Masagung pun meninggal dunia pada 24 September 1990.
Diteruskan Ketut Masagung
Terakhir, bisnis Gunung Agung diteruskan oleh anak bungsu Masagung, Ketut Masagung. Ketut tidak terlalu membawa banyak perubahan drastis.
Sayangnya pada 16 November 2017, saham TKGA resmi keluar dari Bursa Efek Indonesia karena terjadi peristiwa yang memengaruhi kelangsungan bisnis.
Ketut Masagung meninggal dunia pada 4 Januari 2020 di Rumah Sakit VU NC Amsterdam karena sakit jantung.
Demikianlah tadi profil Haji Masagung, pendiri toko buku Gunung Agung yang kini seluruh outletnya akan tutup. Apakah kamu punya kenangan di toko buku Gunung Agung?