Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RI Menang Sengketa Sawit di WTO, Airlangga Buka Suara

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Dok/Istimewa).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Dok/Istimewa).
Intinya sih...
  • Indonesia memenangkan gugatan sengketa sawit melawan Uni Eropa di WTO
  • Keputusan WTO memberikan optimisme bahwa Uni Eropa tidak akan lagi mempersulit akses sawit ke pasar mereka
  • Kemenangan Indonesia di WTO berdampak pada perundingan IEU-CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa

Jakarta, IDN Times - Indonesia memenangkan gugatan sengketa sawit melawan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Putusan WTO ini menunjukkan bahwa diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa kepada kelapa sawit Indonesia tidak benar. 

“Jadi ini membuktikan bahwa dalam kasus kelapa sawit dan biodiesel telah diakui, Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia. Kemenangan ini merupakan bukti bahwa negara Indonesia bisa fight dan menang,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada awak media di Kantor Kementerian Koordiantor Bidang Perekonomian, Jumat (17/1/2025).

1. Pelakuan diskriminasi Uni Eropa tak menguntungkan produk dengan bahan baku sawit

Ilustrasi hutan (pexels.com/@ihsanaditya)
Ilustrasi hutan (pexels.com/@ihsanaditya)

Dengan keputusan WTO yang memenangkan Indonesia dalam sengketa ini, Airlangga optimistis Uni Eropa tak lagi memiliki alasan mempersulit akses sawit ke pasar mereka.

"Sehingga biodiesel yang sekarang kita ambil sebagai sebuah kebijakan itu mau ngak mau dunia harus menerima bahwa tidak hanya biodiesel berbasis rapeseed, soyabean dan yang lain," katanya.

Di sisi lain, kemenangan di WTO juga berdampak kepada kebijakan Uni Eropa lainnya, seperti kebijakan produk bebas deforestasi atau European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR).

Dengan ditundanya EUDR selama satu tahun, dari awalnya 2025 menjadi 2026, menunjukkan bahwa Uni Eropa mulai mengakui kelapa sawit Indonesia. Alhasil, ini akan memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia memperkuat strategi agar sawit tidak mengalami disktriminasi.

2. Pemerintah tengah menyelesaikan IEU-CEPA

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)
ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Saat ini, pemerintah tengah menyelesaikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

"Dengan kemenangan ini, hambatan yang selama ini menghantui perundingan IEU CEPA ini bisa hilang dan kita dapat segera selesaikan IEU CEPA," ujarnya. 

Perundingan IEU-CEPA mencakup berbagai aspek, antara lain seperti tarif bea cukai, menghilangkan hambatan non-tarif, dan menyederhanakan prosedur kepabeanan untuk memudahkan aliran barang antara kedua wilayah dan lain sebagainya.

3. Mendag apresiasi atas putusan panel WTO

ilustrasi brondolan dari tandan buah segar (TBS) atau buah sawit. (IDN Times/Trio Hamdani)
ilustrasi brondolan dari tandan buah segar (TBS) atau buah sawit. (IDN Times/Trio Hamdani)

Menteri Perdagangan RI Budi Santoso mengatakan, Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang terkait kelapa sawit ini dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif.

“Kami harap, di masa depan, negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” tutur Budi.

Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” kata Budi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us