Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RI Menang Sengketa Sawit di WTO, Uni Eropa Terbukti Diskriminatif

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)
Intinya sih...
  • WTO menyatakan Uni Eropa diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia, berdasarkan kasus DS593.
  • UE memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia.
  • Indonesia akan memonitor perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan DSB WTO dan membuka akses pasar produk sawit di UE.

Jakarta, IDN Times - Setelah lima tahun berjuang membuktikan Uni Eropa (UE) lakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia, akhirnya hal itu membuahkan hasil.

Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO) menyatakan, Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia.

“Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim,” kata Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso.

Adapun gugatan yang dimenangkan Indonesia terdaftar di pengadilan WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan mencakup kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II, dan Delegated Regulation UE.

 

1. Uni Eropa beri perlakuan berbeda pada produk rapeseed dan bunga matahari

pexels.com/Viktorya Sergeeva

Secara umum, Panel WTO menyatakan, UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia, dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.

UE juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

Diskriminasi itu dilakukan dengan pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7 persen, kriteria (high ILUC- risk), dan ketentuan penghentian penggunaan biofuel berbahan baku kelapa sawit secara bertahap (phase out).

2. Uni Eropa gagal membuktikan produk kelapa sawit berisiko tinggi rusak lingkungan

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Selama ini, Uni Eropa membatasi produk kelapa sawit masuk ke Benua Biru dengan kampanye hitam. Kampanye itu menggaungkan bahwa produk kelapa sawit Indonesia berasal dari proses yang berisiko tinggi merusak lingkungan.

Risiko tinggi itu mengacu pada pengalihfungsian hutan ke perkebunan kelapa sawit alias deforestasi.

Namun, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk), serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam RED II.

Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” ucap Budi Santoso.

3. Pemerintah geber ekspor produk sawit ke Uni Eropa

ilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Berdasarkan peraturan WTO, jika tidak ada keberatan dari para pihak yang bersengketa, panel report akan diadopsi dalam kurun waktu 20-60 hari setelah disirkulasikan kepada Anggota WTO. Sehingga, laporan tersebut bersifat mengikat kepada Indonesia dan UE. Mereka kemudian akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mematuhi kewajibannya sesuai putusan Panel WTO.

Budi mengatakan, Pemerintah Indonesia akan memonitor secara ketat perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan dan rekomendasi DSB WTO, khususnya terkait unsur diskriminasi yang dimenangkan Indonesia.

Jika diperlukan, Pemerintah Indonesia juga akan menilai kepatuhan (compliance panel) terhadap hal tersebut. Secara paralel, Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk membuka akses pasar produk sawit Indonesia di pasar UE melalui berbagai forum perundingan.

“Keberhasilan Indonesia dalam memenangkan sengketa dagang di WTO merupakan hasil dari langkah proaktif dan koordinasi yang intensif para pemangku kepentingan di dalam negeri seperti kementerian dan lembaga terkait, pelaku industri, asosiasi kelapa sawit Indonesia, tim ahli, dan tim kuasa hukum Pemerintah Indonesia,” tutur Budi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us