Rupiah Labil Hambat Laju Ekspansi Bisnis

- Ekosistem usaha harus kondusif untuk ekspansi
- Pelemahan rupiah berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap arah kebijakan ekonomi
- Seluruh instrumen moneter dikerahkan untuk dukung penguatan rupiah
Jakarta, IDN Times – Volatilitas nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha nasional. Ketidakpastian pergerakan kurs terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat banyak pelaku bisnis memilih bersikap lebih selektif dalam mengambil keputusan, terutama terkait rencana ekspansi usaha.
Bagi sektor-sektor yang bergantung pada impor bahan baku, barang modal, atau pembiayaan luar negeri, pelemahan rupiah tak ubahnya seperti tantangan yang tak mudah dilalui. Biaya produksi melonjak, tekanan terhadap arus kas pun kian terasa, meninggalkan ruang gerak yang semakin sempit bagi dunia usaha.
Peneliti Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, tekanan nilai tukar memberikan dampak yang cukup signifikan bagi struktur biaya di berbagai sektor usaha. Menurutnya, pelemahan rupiah membuat biaya operasional meningkat, terutama bagi perusahaan yang harus membayar impor dalam denominasi dolar AS.
"Dengan kurs yang masih volatile dan arah kebijakan yang belum konsisten, ekspansi besar-besaran di tahun ini kecil kemungkinannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah langkah ekspansi terbatas di sektor yang sudah memiliki pasar kuat dan bisa mengonversi pelemahan rupiah menjadi peluang, sembari menunggu stabilitas makro yang lebih terjamin," ujar Yusuf saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/9/2025).
1. Wajib ciptakan ekosistem usaha yang kondusif

Meski peluang penguatan tetap ada, pelaku usaha umumnya masih bersikap hati-hati. Yusuf menyebut, stabilitas makroekonomi menjadi faktor penentu dalam keputusan ekspansi. Ketidakpastian arah kebijakan fiskal dan moneter, ditambah tekanan global, membuat dunia usaha memilih menunggu hingga situasi lebih kondusif.
“Selama kondisi makro belum stabil, pelaku usaha cenderung akan menahan ekspansi dalam skala besar. Mereka lebih fokus pada efisiensi internal dan menjaga kestabilan operasional,” ujarnya.
Yusuf menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem usaha yang lebih kondusif. Kepastian kebijakan, dukungan fiskal, serta langkah-langkah stabilisasi dari Bank Indonesia (BI) diperlukan agar dunia usaha kembali percaya diri dalam mengambil keputusan ekspansi.
Adapun bila mengacu data Bloomberg, pergerakan nilai tukar atau kurs rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) masih berada pada kisaran Rp16.665 per dolar AS hingga Rp16.700 per dolar AS.
2. Pelemahan rupiah berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap arah kebijakan ekonomi

Sementara itu, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak semata-mata disebabkan oleh faktor global. Menurutnya, faktor domestik juga turut berperan, terutama yang berkaitan dengan persepsi dan kepercayaan publik terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.
Secara fundamental, kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya masih tergolong stabil. Inflasi tetap terkendali di bawah target Bank Indonesia, defisit fiskal masih dalam batas aman, dan rasio utang luar negeri relatif moderat. Namun demikian, stabilitas makro tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam penguatan nilai tukar rupiah.
“Faktor dalam negeri, terutama tingkat keyakinan publik terhadap kabinet baru, masih perlu diperkuat. Kepercayaan itu penting agar program-program ekonomi yang dicanangkan bisa mendapat dukungan pasar,” ujar Ajib.
Dia menekankan sentimen terhadap mata uang tidak hanya bergantung pada indikator ekonomi makro, tetapi juga pada ekspektasi dan persepsi publik maupun pelaku pasar terhadap konsistensi arah kebijakan pemerintah ke depan. Salah satu tantangan utama saat ini adalah bagaimana pemerintah, terutama jajaran kabinet ekonomi yang baru terbentuk, dapat memberikan sinyal kuat dan konsisten terkait arah kebijakan fiskal dan moneter.
Meski demikian, Ajib menegaskan fluktuasi ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu terakhir masih tergolong manageable dengan tingkat inflasi dan utang luar negeri yang relatif terkendali.
"Tekanan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, terutama kebijakan moneter luar negeri dan penarikan likuiditas oleh Amerika Serikat (AS) yang mendorong keluarnya aliran modal asing," ucapnya.
3. Seluruh instrumen moneter dikerahkan untuk dukung penguatan rupiah

Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, buka suara soal pelemahan rupiah yang belakangan bikin waswas. Ia menegaskan, BI tak tinggal diam. Seluruh instrumen yang dimiliki telah dikerahkan secara berani (bold) untuk menstabilkan nilai tukar terhadap dolar AS.
"Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika, secara terus-menerus melalui intervensi NDF," ujar Perry dalam keterangan resmi, Jumat (26/9).
Langkah ini dikenal sebagai triple intervention yakni strategi intervensi di tiga lini spot market, DNDF, dan pasar obligasi, yang diterapkan secara agresif demi menahan laju pelemahan rupiah.
Perry menegaskan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia semata, melainkan harus menjadi perhatian bersama seluruh pelaku pasar dan dunia usaha. Ia mengajak semua pihak untuk bersinergi menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif demi tercapainya kestabilan nilai tukar secara berkelanjutan.
“Bank Indonesia mengajak seluruh pelaku pasar untuk bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat tercapai dengan baik,” ujarnya.
4. Menkeu optimistis rupiah menguat

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya mengatakan, tekanan terhadap rupiah dipicu oleh sentimen pasar yang keliru, menyusul keputusan bank pelat merah menaikkan suku bunga deposito valas menjadi 4 persen. Akibatnya, dana berpindah dari deposito rupiah yang bunganya 3,75 persen dan dijamin LPS ke deposito valas.
Kebijakan ini efektif berlaku mulai 5 November 2025. Namun akibat dari kebijakan ini, permintaan terhadap dolar AS meningkat sementara permintaan terhadap rupiah menurun. Hal ini menyebabkan arus keluar modal dari rupiah ke dolar, sehingga tekanan jual terhadap rupiah meningkat dan nilai tukar rupiah melemah.
Singkatnya, bunga deposito valas yang tinggi memicu pengalihan dana ke dolar AS, memperkuat tekanan pelemahan rupiah di pasar valuta asing. Purbaya menegaskan, kebijakan itu murni inisiatif bank, bukan arahan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, atau Danantara.
"Mungkin itu inisiatif beberapa pimpinan bank. Tapi yang jelas, tidak ada instruksi dari kami. Danantara juga menekankan pendekatan berbasis pasar, tanpa intervensi berlebihan dari pemilik," ujarnya.
Namun dia optimistis rupiah akan menguat pada pekan ini. Pada Senin (29/9), mata uang Garuda ditutup menguat ke level Rp16.680 per dolar AS, dan terus terapresiasi hingga hari ini, yang berakhir di level Rp16.665 per dolar AS.
Indikator yang mendorong optimisme rupiah akan menguat pekan depan adalah fundamental ekonomi Indonesia yang baik seperti pertumbuhan ekonomi yang konsisten di level 5 persen yang kemudian akan mendorong masuknya aliran modal asing.
Menurutnya, masuknya modal asing ke Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh tingginya suku bunga, melainkan oleh prospek ekonomi jangka panjang. Ia menyampaikan, investor asing pada dasarnya tidak datang untuk "membangun" perekonomian Indonesia, melainkan untuk memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang tepat dan prospek yang cerah menjadi kunci utama menarik investasi.