Sentimen Negatif terhadap Purbaya Meningkat, Unggahan Anak Ikut Viral

- Gaya bicara Menkeu Purbaya dianggap kurang empati dan meremehkan tuntutan publik 17+8.
- Persepsi arogan dan tidak peka melekat pada Puraya dan keluarganya, memuncak setelah unggahan putranya ikut viral.
Jakarta, IDN Times – Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati memicu gelombang persepsi negatif di ruang publik. Berdasarkan analisis Drone Emprit AI terhadap 150 sampel data dari berbagai platform media online dan sosial, turbulensi persepsi itu sudah terlihat jelas dalam 24 jam pertama masa jabatannya.
"Analisis ini mengidentifikasi adanya dikotomi tajam antara narasi resmi pemerintah dan reaksi organik publik, yang didominasi oleh sentimen negatif akibat serangkaian peristiwa pemicu. Persepsi publik yang terbentuk bersifat multifaset, kompleks, dan sangat reaktif, berpusat pada isu komunikasi, empati, dan kompetensi yang diperbandingkan secara langsung dengan figur pendahulunya," ujar Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, dikutip dari akun Facebook, Rabu (10/9/2025).
1. Gaya bicara Menkeu Purbaya dinilai sebagai seni bicara tanpa empati

Dia menjelaskan, sumber utama sentimen negatif berasal dari pernyataan Purbaya tentang tuntutan publik 17+8. Pernyataannya yang menyebut aspirasi tersebut hanya datang dari sebagian kecil rakyat dan akan hilang dengan pertumbuhan ekonomi, dianggap publik meremehkan serta kurang berempati.
"Saya belum mempelajari itu. Tapi basically begini, itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa mungkin sebagian merasa keganggu hidupnya masih kurang, ya. Once saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6 persen, 7 persen, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo," kata Purbaya.
Pernyataan ini secara universal diasosiasikan sebagai tindakan yang meremehkan, kurang berempati, dan menyederhanakan aspirasi publik yang kompleks menjadi sekadar masalah ekonomi perut.
Akun Twitter @e100ss dalam "Catatan Pemred", mengkritiknya secara tajam sebagai seni berbicara yang lupa empati. Hal itu merefleksikan persepsi umum dari Menkeu baru gagal menunjukkan kepekaan sosial pada hari pertamanya.
2. Persepsi arogan dan tidak peka melekat pada Puraya dan keluarganya

Sentimen negatif makin memuncak setelah unggahan lama putranya, Yudo Sadewa, ikut viral. Dalam unggahan itu, Yudo menyebut orang miskin karena malas sembari memamerkan kartu prioritas bank miliknya.
Kontroversi ini membangun persepsi sikap arogan dan tidak peka melekat bukan hanya pada Purbaya, tetapi juga kepada keluarganya.
Data menunjukkan adanya upaya sadar dari Purbaya untuk mengendalikan kerusakan citra melalui permintaan maaf. Dalam pernyataannya, Purbaya mencoba membingkai ulang kesalahannya sebagai akibat dari ketidaksiapan dan gaya komunikasi yang belum terpoles.
3. Gaya komunikasi Purbaya dinilai meresahkan investor

Analisis juga menunjukkan, ada persepsi kompetensi dan reaksi pasar, antara keraguan dan harapan di tengah badai komunikasi. Kemudian, muncul pula diskusi mengenai kompetensi dan latar belakang Purbaya.
Akun seperti @logos_id mencoba mengalihkan diskusi ke ranah akademis dengan membagikan disertasi PhD Purbaya dari Purdue University. Namun, narasi ini tertutup oleh sentimen negatif yang lebih dominan.
"Purbaya ini kalau komen memang suka sengak dan arogan. Dari dulu begitu. Bahaya kalau menkeu ngomongnya begini. Pasar bakal makin anjlok," tulis akun tersebut.
Menurut Fahmi, situasi ini menunjukkan adanya persepsi di kalangan pelaku bisnis gaya komunikasi Purbaya merupakan risiko bagi stabilitas pasar.
4. Sentimen tidak dapat dipisahkan dari figur yang digantikan.

Fahmi mengatakan, persepsi publik terhadap Purbaya juga tidak dapat dipisahkan dari figur pendahulunya, Sri Mulyani. Momen perpisahan Sri Mulyani yang sarat emosi dan penghormatan menciptakan kontras yang sangat kuat.
Akun resmi @KemenkeuRI mengunggah pesan perpisahan dan ucapan selamat datang kepada Purbaya.
"Namun, respons publik lebih banyak berfokus pada kehilangan atas sosok Sri Mulyani yang selama ini diasosiasikan dengan kompetensi, integritas, dan keteguhan dalam menghadapi krisis," kata dia.
Sementara itu, Purbaya yang baru beberapa hari menjabat langsung terjebak dalam kontroversi terkait tuntutan “17+8”, dan bahkan terseret dalam isu terpisah yang melibatkan putranya. Menurut Fahmi, semua ini memperkuat narasi seorang menteri yang tidak hanya kurang empatik, tapi juga dinilai lepas dari realitas sosial yang sedang dihadapi masyarakat.
"Persepsi publik awal terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sangat diwarnai oleh sentimen negatif yang kuat, berakar pada blunder komunikasi pertamanya mengenai isu sensitif 17+8. Ia dianggap meremehkan aspirasi rakyat, dan gaya komunikasinya yang disebut sendiri sebagai koboi malah memperdalam krisis persepsi," ucap Fahmi.