Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Purbaya Ungkap Kesalahan Krisis Moneter 1997-1998 di Aspek Kebijakan

WhatsApp Image 2025-09-09 at 15.57.48.jpeg
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Intinya sih...
  • Kesalahan dalam pengambilan kebijakan sempat terjadi saat COVID-19
  • Kebijakan efektif di 2021, kucuran dana pemerintah ke perbankan
  • Penyerapan likuiditas di 2023-2024 diperketat
  • Kesalahan dalam pengambilan kebijakan sempat terjadi saat COVID-19
  • Kebijakan efektif di 2021, kucuran dana pemerintah ke perbankan
  • Penyerapan likuiditas di 2023-2024 diperketat
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan bahaya krisis moneter yang bisa kembali menekan perekonomian Indonesia jika pemerintah dan bank sentral mengulangi kesalahan dalam mengelola kebijakannya.

Menurut Purbaya, krisis 1997–1998 merupakan contoh nyata bagaimana kebijakan yang keliru justru memperburuk keadaan. Saat itu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga hingga 60 persen untuk menjaga stabilitas rupiah, tetapi di sisi lain pencetakan uang justru melonjak hingga 100 persen.

"Jadi kebijakannya kacau balau, mau ketat atau longgar? Bunga yang tinggi menghancurkan sektor, uang yang banyak dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah, jadi kita membiayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu tanpa sadar," kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9/2025).

1. Kesalahan dalam pengambilan kebijakan sempat terjadi saat COVID-19

HMPV yang mirip COVID-19. (dok. istimewa)
HMPV yang mirip COVID-19. (dok. istimewa)

Menurutnya, Indonesia juga pernah menghadapi Global Financial Meltdown 2008. Saat itu, menurutnya, ekonomi Indonesia hampir jatuh, namun kebijakan ekspansi fiskal pada 2009 dan penurunan suku bunga di akhir 2008 mampu menyelamatkan perekonomian.

"Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi jaga kondisi likuiditas di sistem perekonomian, itu yg terjadi. Saya pikir dengan edukasi 2008-2009 itu semua orang sudah mengerti kan banyak ekonom yang lihat, rupanya lupa terus kita. Kita itu cepat lupa makanya ekonomi turun ekonomi naik ekonomi turun setiap 7 tahun kita lupa. Untung saya masih ingat sedikit-sedikit," tuturnya.

Ia menambahkan, kesalahan serupa sempat berulang pada periode 2020–2021 saat pandemik COVID-19. Meskipun suku bunga diturunkan, pertumbuhan uang beredar justru minus hingga 15,3 persen sehingga perekonomian seakan “dicekik”.

"Saya dipanggil ke istana, gimana? (saya bilang) yaudah Pak dibalikin lagi aja, gimana caranya, ya udah bi suruh kurangin penyerapannya ke sistem. Terus apa lagi, tambah uang ke sistem dari sisi fiskal juga pak," ungkapnya.

2. Kebijakan efektif di 2021, kucuran dana pemerintah ke perbankan

gedung Bank Indonesia (instagram.com/bank_indonesia)
gedung Bank Indonesia (instagram.com/bank_indonesia)

Dia menjelaskan, kondisi baru membaik ketika pemerintah mengalirkan kembali Rp300 triliun dari Bank Indonesia ke sistem perbankan pada Mei 2021 menjadi langkah kunci penyelamatan ekonomi Indonesia saat pandemik COVID-19.

Saat itu, kata Purbaya, pemerintah memiliki dana menganggur hingga Rp529 triliun yang tersimpan di BI. Kondisi tersebut membuat likuiditas di perekonomian tersendat, bahkan pertumbuhan uang beredar (base money) tercatat minus 15,3 persen pada Maret 2020.

“Pada Mei 2021 dipindahkan uang sebesar Rp300 triliun dari BI ke sistem perbankan. Laju pertumbuhan uang naik lagi dari minus ke double digit 11 persen, lalu dijaga bank sentral tetap di atas 20 persen. Itu yang menyelamatkan ekonomi kita,” kata Purbaya.

Menurutnya, kebijakan tersebut terbukti efektif mengatasi pengetatan likuiditas yang membuat ekonomi nyaris terhenti.

3. Penyerapan likuiditas di 2023-2024 diperketat

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Purbaya menyorotinya adanya perlambatan ekonomi Indonesia sejak pertengahan 2023 disebabkan penyerapan likuiditas yang terlalu ketat, baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). Kondisi itu, kata dia, membuat pertumbuhan uang beredar anjlok hingga nol menjelang paruh kedua 2024 dan menekan sektor riil secara signifikan.

“Sejak pertengahan 2023 uang diserap bertahap ke bawah sampai pertumbuhannya nol menjelang second half 2024. Jadi itu yang anda rasakan, ekonomi melambat, sektor riil susah, semua susah. Keluar tagline Indonesia gelap,” kata Purbaya.

Ia menegaskan, perlambatan tersebut bukan semata-mata akibat faktor global, melainkan juga dipicu kesalahan kebijakan dalam negeri.

“Padahal 90 persen perekonomian kita ditopang oleh permintaan domestik. Jadi kebijakan fiskal dan moneter kita sendiri yang sebenarnya paling mengganggu,” ujarnya.

4. Kondisi sempat membaik namun turun lagi

Ilustrasi anggaran (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi anggaran (IDN Times/Arief Rahmat)

Purbaya menjelaskan, memasuki Januari hingga April 2025, kondisi ekonomi sempat membaik. Pertumbuhan uang bahkan sempat mencapai 7 persen pada April lalu, sehingga ia optimistis Indonesia mulai keluar dari krisis.

"Di April saya sampai bilang kita sudah keluar dari krisis, Indonesia akan cerah. Namun, tren positif itu tidak bertahan lama karena Mei jatuh lagi, Juni jatuh, Juli jatuh, Agustus jatuh ke 0 persen. Jadi periode perlambatan ekonomi 2024 yang gara-gara uang ketat tadi, sempat dipulihkan sedikit tapi belum penuh, direm lagi ekonominya,” jelas Purbaya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

Afrika Kehilangan Rp209 Triliun per Tahun imbas Bencana Alam

10 Sep 2025, 23:45 WIBBusiness