Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Suku Bunga Stagnan 6 Persen, Bank Indonesia Didorong Agar Ekspansif

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan sambutan pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2018 di Jakarta, Selasa (27/11/2018). Dalam kesempatan tersebut, Presiden mengapresiasi langkah Bank Indonesia (BI) yang berupaya menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Jakarta, IDN Times - Kebijakan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6,00 persen dinilai kurang tepat. Hal itu mengacu pada perkembangan perekonomian nasional dan global dalam 5-6 bulan belakangan.

"Kebijakan BI untuk mempertahankan suku bunganya dalam RDG terakhir kurang tepat, mengingat kondisi internal dan eksternal telah jauh berbeda dibanding 5-6 bulan terakhir. Badai telah berlalu," ungkap Peneliti INDEF Dzulfian Syafrian.

1. Kebijakan BI dinilai kontradiktif

Bank Indonesia

Menurut Dzulfian, argumen yang dibangun BI tidak bersesuaian dengan kebijakan yang dipilih. Seperti diketahui, BI pada 24-25 April 2019 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga 6,00 persen. BI berdalih perbaikan ekonomi global lebih rendah dari prakiraan, sementara ketidakpastian pasar keuangan berkurang.

Selain itu, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2019 diprakirakan surplus sehingga menopang upaya memperkuat stabilitas eksternal. Nilai tukar Rupiah juga menguat ditopang kinerja sektor eksternal yang terus membaik. Kemudian, inflasi pada Maret 2019 tetap rendah dan terkendali. Stabilitas sistem keuangan juga tetap terjaga.

"Keputusan BI untuk menahan suku bunganya pada RDG terakhir ibarat pengemudi, sudah tahu lampu hijau dan jalanan lancar, tapi kok tidak tancap gas? Aneh kan?" ungkapnya.

2. BI perlu melakukan kebijakan ekspansif

ilustrasi rupiah (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Dzulfian menilai, BI harus berani melakukan kebijakan ekspansif dengan menurunkan suku bunga. Dengan demikian, perekonomian Indonesia bisa melaju lebih cepat. Menurut dia, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen jika ingin terbebas dari kutukan ‘middle-income trap’ alias risiko "tua sebelum kaya".

"Jika BI ragu takut untuk merelaksasi kebijakan moneternya, BI turut berdosa membuat perekonomian kita hanya tumbuh segitu-gitu saja. Dalam jangka panjang, akumulasi dosa ini dapat berakibat membuat masyarakat Indonesian akan tua sebelum kaya," kata Dzulfian.

3. Penyesuaian suku bunga diimbangi kebijakan fiskal yang mendukung

Ilustrasi uang rupiah (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kebijakan moneter yang ekspansif dengan penyesuaian suku bunga, menurutnya, juga harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang saling mendukung. "Harapannya efektivitas kebijakan moneter yang ditetapkan BI menjadi efektif," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Rizal, keputusan BI dengan kebijakan moneter tersebut perlu ditinjau ulang, apakah menggairahkan kinerja sektor riil atau sebaliknya.

"Utamanya terhadap investasi yang semakin membaik. Apalagi tahun ini adalah tahun yang sangat tergantung pada sektor riil untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesuai target APBN2019, yaitu 5,3 persen," kata dia.

4. Pendapatan per kapita Indonesia masih jauh dari ideal

Pixabay

Belajar dari Jepang dan Korea, kata Dzulfian, Indonesia mesti mencapai pendapatan per kapita sekitar USD40.000 sebelum era bonus demografi berakhir. Sementara, saat ini pendapatan per kapita masih sekitar $12.000.

"Jadi, masih jauh sekali dari posisi ideal. Konsekuensinya, otoritas, baik pemerintah dan BI mesti kerja lebih keras untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tidak stagnan di level 5 persen seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us