[WANSUS] Amvesindo: Benarkah Bubble Burst Melanda Dunia Startup RI?

Jakarta, IDN Times - Sejumlah startup di Indonesia telah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Seperti TaniHub, LinkAja, Zenius, JD.ID, dan baru-baru Pahamify. Kondisi itu kerap kali dikaitkan dengan fenomena ledakan gelembung (bubble burst) di dunia startup (perusahaan rintisan).
Adapun tekanan yang dihadapi startup saat ini tak lepas dari kondisi makro ekonomi yang belum kunjung stabil. Ancaman inflasi yang tinggi menyebabkan sejumlah bank sentral tengah mempersiapkan kenaikan suku bunga acuan.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) sekaligus Direktur Utama Mandiri Capital, Eddi Danusaputro, kondisi itu membuat biaya modal (cost of capital) untuk investasi ke startup naik. Akhirnya, para perusahaan modal ventura pun harus selektif dalam memberikan modal.
"Jadi kalau dulu kita jor-joran ke startup. Semua get investment money. Sekarang kita lebih selektif," kata Eddi dalam Startup Series IDN Times.
Eddi mengatakan, apabila sebuah perusahaan startup memiliki kas yang tipis, lalu ditambah lagi dengan sulitnya memperoleh suntikan modal saat ini, maka perusahaan itu terpaksa melakukan efisiensi. Adapun salah satu bentuk efisiensi itu adalah PHK.
"Efisiensinya seperti apa? Ya bisa mengurangi marketing budget, menunda peluncuran produk, bisa mengurangi firut, ekspansi ke daerah dikurangi, dan termasuk PHK," ujar Eddi.
Namun, apakah betul kondisi tersebut sudah menunjukkan adanya fenomena bubble burst? Selengkapnya, berikut wawancara IDN Times dengan Sekjen Amvesindo, Eddi Danusaputro.
1. Apakah benar fenomena bubble burst sudah melanda startup di Indonesia?

Mungkin saya tidak setuju dengan istilah bubble burst. Tapi apakah terjadi koreksi? Iya, kita sedang mengalami. Apakah benar winter is coming? Saya bilang, winter is already here. Jadi sudah terjadi.
Tapi kita harus lihat secara lebih secara makro. Ini kenapa terjadi? Ya kita kan sudah mengalami. Kan sudah ada beberapa kali pandemik. Kemudian ada perang pula di Eropa. Akibatnya apa? Banyak negara yang mengurangi ekspornya, karena mereka melihat ke internal atau domestik market mereka, jadi tidak ada ekspor.
Akibatnya apa? Harga-harga barang naik, komoditas naik. Kalau harga barang naik, artinya inflasi. Kalau ada inflasi, central bank menaikkan tingkat suku bunga. Kalau tingkat suku bunga naik, cost of capital kita naik juga. Jadi kita sebagai investor, kita lebih memilah untuk melakukan investasi. Karena uang sudah tidak murah seperti dulu.
Jadi kalau dulu kita jor-joran ke startup. Semua get investment money. Sekarang kita lebih selektif. Oleh sebab itu, startup yang sudah punya cash, misalnya sekarang cukup untuk 6 bulan, dia harus irit-irit, 6 bulan ini harus dibuat jadi 12 bulan.
Caranya bagaimana? Melakukan efisiensi. Efisiensinya seperti apa? Ya bisa mengurangi marketing budget, menunda peluncuran produk, ekspansi ke daerah dikurangi, dan termasuk PHK. Tapi yang hanya disorot kan PHK, padahal langkah efisiensi itu macam-macam.
Nah kalau kita sebagai investor, jujur saya bukannya senang dengan ada PHK ini. Hanya saja kita mengapresiasi founders yang berani melakukan langkah efisiensi. Karena yang penting itu adalah survive. Startup-nya harus survive. Memang harus lakukan efisiensi. That's not very good news, tapi yang penting survive.
2. Apakah kriteria pemberian modal berubah saat perusahaan modal ventura lebih selektif?

Kriteria tidak berubah, kita selalu melihat the problem, the solution, the size of the market, the technology, the competition, the regulation, the team, the founders, itu kriterianya tidak berubah. Tapi mungkin sekarang karena kita lebih selektif, kenapa? Karena kita sudah mulai berinvestasi sejak 6-8 tahun lalu, sejak awal berdirinya ekosistem startup di Indonesia.
Dulu kan ada BukaLapak, Traveloka di awal 2010-an. Itu kan kita sudah investasi dari dulu. Sekarang kita sudah mulai berpikir, eh cuannya mana? Ya ada beberapa cuannya, dalam hal ini sudah kasih dividen, jarang. Tapi ada juga yang IPO, tapi harganya nyemplung. Tapi kita sebagai investor yang sudah berinvestasi 6-10 tahun, kita sudah mulai berpikir, where is my return on investment?
Jadi sekarang kita lebih selektif. Kalau kita benar mau investasi, kita akan mencari yang sudah kelihatan ujungnya di mana, exit-nya bagaimana. Apakah akan profit? Atau setidaknya path to profitability-nya sudah ada.
Kita sih tidak begitu suka investasi ke startup yang bakar-bakar uang. Kita sebagai investor, kalau startup bakar uang, itu uangnya siapa? Ya kita. Uangnya investor yang dibakar. Kita sih gak masalah kalau di awal berdirinya startup kalian melakukan bakar uang, kan itu artinya promo, diskon, hire orang, produk baru, gak apa-apa. Hanya saja kalau di tahun ke-5, 7, atau 8 masih bakar uang, ya there's a problem juga. Ya kita harus lihat tahapan startup ini di awal atau di akhir.
3. Apakah bakar uang di startup bisa menjadi bom waktu?

Tidak juga. Kalau bakar uang kemudian perlahan-lahan bisa menaikkan harga, terus kemudian perusahaannya menjadi profit atau punya path to profit, justru itu sukses. Ya seperti kita membuat kedai kopi, di awal-awal kan kita harus promosi. Kalau tidak, ya gak ada yang mau coba kedai kopi kita kan. Kita kan harus ada promo supaya orang mau coba produk kita. Tapi masa sudah umur 3, 4, sampai 5 tahun masih promo terus? Ya gak bisa kan.
4. Sejauh apa keterlibatan perusahaan modal ventura ke startup?

Terutama keterlibatan untuk mengontrol kinerja perusahaan, agar ketika sudah menyuntikkan modal, tetap bisa mendapat untung?
Pada umumnya venture capital itu adalah investor pasif. Kenapa? Karena kita invest ke founders, para pendiri dan manajemen startup tersebut. Ya kita harus percaya kepada founders, karena mereka yang paling memahami sektor dan bisnis mereka. Kalau kita investasi ke sebuah perusahaan dan kita ambil alih manajemennya, ya sama saja bohong. Mereka kan lebih paham daripada kita, dan kita tidak ada waktu juga.
Jadi mayoritas venture capital akan mengambil saham minoritas. Misalnya 5 atau 10 persen. Bahkan 15 persen pun menurut saya sudah agak besar. Akibatnya kita harus tahu diri. Kalau kita hanya punya 5-8 persen kemudian minta satu posisi di dewan komisaris atau dewan direksi, ya tidak bisa.
Jadi biasanya kalau di atas 10 persen dapat satu posisi dewan komisaris. Kalau di atas 20 persen mungkin punya hak untuk satu dewan direksi, mungkin, itu tergantung nego. Itu salah satu keterlibatan pengawasan kita.
Yang kedua, kita setiap bulan harus ada update, minta report. Kita review quarterly report, itu lazim. Karena bagaimana pun juga, investor itu ketika sudah masuk ke sebuah startup, bukan seperti perbankan yang kasih kredit yang ada jaminannya. Jadi kalau kreditnya macet, jaminannya diambil alih. Ini tidak begitu. Kalau itu istilahnya pacaran.
Kalau venture capital dan startup, istilahnya sudah menikah. Karena kita jadi pemegang saham di startup tersebut, tidak ada jaminan. Kalau startup itu bangkrut, hilang semua uang kita. Karena kan produknya bukan kredit, tapi penyertaan ekuitas. Kita jadi pemegang saham di startup tersebut. Kalau untung ya untung sama-sama. Kalau buntung, ya hilang semua.
Jadi ini high risk, high reward seorang investor di sebuah startup. Makanya kita kawal. Kalau saya dan tim rutin, misalnya sidak ke lapangan, ke kantornya, kita bicara dengan customer-nya. Ya ibaratnya harus agak parno sedikit sebagai investor.
5. Ketika perusahaan modal ventura sudah dapat posisi di dewan direksi, apakah ada pengawasan terkait penetapan gaji pegawai startup?

Sebab saat ini kan banyak yang menilai gaji karyawan di startup lebih besar dibandingkan perusahaan biasa, sehingga menyebabkan cost perusahaan lebih besar. Adakah pengawasan soal ini?
Kenyataannya memang startup itu yang besar harus memberi penawaran yang lebih besar dari perusahaan establish. Kenapa? Karena perusahaan establish, ya BUMN, konglomerasi, dan sebagainya kemungkinan bangkrutnya kecil. Jadi mungkin secara remunerasi tidak terlalu besar, tapi ada ketenangan hati bahwa sampai 5 tahun ke depan perusahaan itu masih exist.
Kalau di startup kan kadang-kadang gak begitu. Jadi belum tentu perusahaannya masih exist, boro-boro 2 tahun, mungkin 2 bulan ke depan. Jadi dia harus memikat orang untuk gabung dengan satu, salary lebih tinggi, kedua employee stock ownership program (ESOP). Atau dengan benefit lain seperti work from anywhere (WFA), atau kantor yang lebih hit, dan segala macam. Jadi memang itu trade off-nya. Jadi ya harus diiming-imingi dengan gaji yang lebih tinggi, ESOP, segala macam. Karena tidak semua orang mau bergabung.
Kalau orang tua kita di zaman dahulu, buat apa nanti perusahaannya belum tentu ada tahun depan? Nanti harus cari kerja lagi, segala macam. Tapi itu menurut saya pilihan. Banyak juga anak muda yang tidak masalah dengan job security, karena merasa mudah cari kerja lagi.
6. Apa yang perlu diwaspadai oleh startup dalam menjalankan strategi bisnisnya dalam kondisi seperti ini, agar tidak collapse?

Memang kalau startup selalu yang dipikirkan attraction, top line-nya, revenue, growth. Tapi harus sudah memikirkan bottom line juga, yaitu profitability. Jadi pastikan tidak hanya yang cari bisnis, hacker, programmer. Harus ada orang keuangannya yang agak ketat.
Ini dinamika di sebuah startup. Misalnya kita karyawan, lalu terima gaji, makan enak terus. Ketika sudah tanggal tua, makan mi instan tiga kali sehari. Nah ada juga startup yang seperti itu. Dia baru dapat fund raising, langsung jor-joran, rekrut banyak orang, atau meluncurkan produk, diskon, promo, pindah kantor baru, apalah. Ketika fund raising seret karena isu makro ekonomi, pandemik atau winter is coming dengan likuiditas, tiba-tiba harus efisiensi. Idealnya kan tidak begitu. Idealnya kalau growth terjaga, juga efisiensinya terjaga. Nah ini perlu experience, perlu kematangan.
Mungkin di tim startup juga campur aduk. Jangan semua millennial atau gen z. Sesekali rekrut orang seperti saya yang sudah ubanan begini. Supaya kita memberi perspektif yang berbeda dalam cash management, dan lain-lain. Jadi itu, jangan ekstrem saja. Kalau lagi dapat uang jor-joran, kalau lagi sulit semua dijual. Itu menurut saya, saran saja untuk anak-anak.
7. Ketika startup mendapatkan modal, sebenarnya harus langsung dihabiskan semua atau boleh disimpan untuk kas perusahaan?

Rule of thumb saja, panduan saja, fund raising idealnya cukup untuk 15-18 bulan. Karena kalau terlalu pendek, akhirnya tidak bekerja, fund raising terus. Tapi kalau terlalu panjang, fund raising untuk 2-3 tahun, investor rata-rata tidak mau, karena kita mau lihat perkembangannya.
Jadi idealnya, panduannya sebuah startup melakukan fund raising, dan uangnya cukup untuk 18 bulan. Syukur-syukur bisa lebih sedikit, tidak apa-apa lah 2 tahun misalnya. Tapi tidak bisa lebih pendek atau lebih panjang dari itu. Karena agak susah kalau runaway-nya lebih panjang.
Jadi harus direncanakan, dipikirkan, fund raise yang tepat itu berapa jumlahnya? Jangan sampai kita lihat tetangganya. Bagaimana pun startup kita akan dibandingkan dengan startup sejenis di industri yang sama.
Jadi jangan melihat growth saja, top line, top line terus. Investor juga pasti lihat itu. Tapi kita harus melihat jangka panjang. Karena kalau winter is already here, jangan-jangan musimnya lebih panjang, ya harus punya napas panjang.
8. Apakah dengan kondisi seperti ini, anak muda wajar merasa takut mendirikan startup?

Menurut saya jangan takut. Karena kita sebagai investor saja, kita yang sudah investasi, yang paling berisiko, mohon maaf tidak hanya karyawan yang terkena PHK. Saya mengerti itu berat. Tapi yang paling berisiko dengan adanya penurunan ekosistem dan gonjang-ganjing di startup ini, sebenarnya adalah investor. Dan ini uang kita, serta uang investor kita.
Tapi kenyataannya, kita masih mencari investasi. Tadi ada hiring freeze, tapi kita sebenarnya tidak ada investment freeze. Memang lebih selektif, yang tadinya 1 tahun bisa 5-10 investasi, mungkin saat ini 2-3 investasi. Tapi kita masih tetap mencari good deals.
Jadi mungkin beberapa dari teman-teman investor yang punya ready cash, kita actually good time to buy. Karena valuation sudah agak lebih sedikit masuk akal dibandingkan beberapa tahun lalu valuation menurut kita inflated.
Jadi kalau kita saja masih mencari investasi, ya kalian yang mencari kerja atau mendirikan startup, kenapa harus ragu-ragu? Kalau produknya bagus, kalian punya passion, dan yakin bisa menang di pasar, kenapa tidak.
Tips saja, anak-anak muda sekarang kan lulusnya muda, 21-22 terkadang sudah lulus S1. Beda dengan dulu, saya lulus 24 atau 25 tahun S1. Lama sekali.
Nah, kalian silakan bikin startup. Kalau sukses, teruskan. Kalau tidak, ya kalian masih muda untuk lamar ke korporasi, masih diterima juga. Malah diterima dengan tangan terbuka, karena sudah menunjukkan jiwa wirausaha yang masih bagus. Jadi menurut saya ya silakan saja. Dan lebih baik mulai dini, dibandingkan sudah umur late 20s atau early 30s, malah lebih susah untuk switching.
9. Apa yang harus dimatangkan bagi anak muda untuk mendirikan startup?

Kita sebagai investor, saya kasih tahu rule kita. We will never invest in startup yang founders-nya tidak full time. Itu kan uang kita. Kalau kalian tidak dedicated 100 persen, buat apa kita taruh uang kita di kalian? So we will never invest in founder yang part time. Jadi itu patokan saja.