Prediksi Koreksi Pasar Saham di Era Trump, Haruskah Investor Waspada?

- Koreksi pasar saham adalah penurunan harga saham sebesar 10% atau lebih dari level tertinggi terbaru, tetapi kurang dari 20%. Ini dapat menjadi peluang emas atau tekanan finansial bagi investor.
- Prediksi koreksi akan terjadi di 2025, meskipun tidak langsung dipicu oleh Presiden Trump. Namun, kebijakan Trump di sektor energi dan industri diharapkan dapat menjaga optimisme pasar.
- Tantangan global seperti kebijakan perdagangan proteksionis dan tarif tinggi memiliki potensi mempercepat tekanan di bursa. Investor disarankan untuk fokus pada investasi jangka panjang dan diversifikasi portofolio.
Setelah pemilu usai dan Donald Trump resmi kembali menjabat sebagai Presiden AS, para investor kini menanti dampak kebijakan ekonomi yang akan diterapkan pada 2025 terhadap pasar modal. Banyak analis memperkirakan koreksi pasar akan terjadi dalam waktu dekat—namun bukan semata akibat hasil pemilu 5 November lalu.
Menurut Robert R Johnson, PhD, CFA, CAIA, profesor keuangan dari Heider College of Business, Creighton University, sebagaimana dilansir GOBankingRates, potensi koreksi di masa jabatan kedua Trump lebih karena siklus alami pasar. “Koreksi adalah peristiwa yang sangat umum terjadi, bukan karena risiko kebijakan lebih tinggi atau rendah, tetapi karena itulah sifat pasar saham,” ujarnya.
1. Apa itu koreksi pasar saham?

Koreksi pasar saham didefinisikan sebagai penurunan harga saham sebesar 10% atau lebih dari level tertinggi terbaru, tetapi kurang dari 20 persen. Koreksi dianggap bagian alami dari dinamika pasar. Bagi sebagian investor, ini menjadi peluang emas untuk membeli saham di harga murah. Namun, bagi yang lain, bisa menjadi tekanan finansial, tergantung struktur portofolio.
Johnson menambahkan, “Sejak 1980, pasar rata-rata mengalami penurunan 10% atau lebih setiap 1,2 tahun sekali. Namun, penurunan lebih dari 20 persen jauh lebih jarang terjadi. Sejak 1950, hanya terjadi 13 kali penurunan lebih dari 20 persen di indeks S&P 500. Terakhir terjadi pada akhir 2021 hingga Oktober 2022, dengan penurunan sebesar 24,82 persen.”
2. Apakah koreksi akan terjadi di 2025?

Patrick Di Cesare, pendiri platform edukasi keuangan Basic Financial Literacy, memperkirakan koreksi akan terjadi, meskipun tidak secara langsung dipicu oleh Presiden Trump. “Koreksi sebesar 20 persen atau lebih biasanya terjadi setiap lima tahun sekali. Lihat saja tahun 2018, 2020 akibat COVID-19, dan 2022. Namun, S&P 500 tetap naik 82 persen dalam lima tahun terakhir,” jelasnya.
Namun, tidak semua pihak sependapat. Adam Ferrari, CEO Phoenix Capital Group, menilai bahwa kebijakan Trump justru akan menjaga optimisme pasar, khususnya di sektor energi dan industri. “Pemotongan pajak, deregulasi, serta dorongan untuk kemandirian energi domestik adalah katalis yang positif bagi produksi dan laba perusahaan,” katanya. Meskipun ada risiko inflasi atau ketegangan dagang, ia meyakini pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan menahan potensi koreksi signifikan.
3. Tantangan global masih membayangi

Meski faktor utama koreksi pasar saham umumnya berasal dari dinamika ekonomi makro dan sentimen investor, kebijakan agresif pemerintah tetap memiliki potensi mempercepat tekanan di bursa. Langkah seperti penerapan sanksi ekstrem, perang dagang, atau tarif impor yang tinggi bisa menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar.
David Russell, Kepala Strategi Pasar Global di TradeStation, menyoroti bahwa kebijakan perdagangan proteksionis seperti yang pernah dijalankan oleh Trump pada masa lalu dapat berdampak negatif terhadap stabilitas pasar. “Tarif tinggi bisa memicu inflasi dan mengancam sektor yang sangat bergantung pada komponen impor, seperti otomotif dan teknologi. Sementara itu, kebijakan imigrasi yang lebih ketat berisiko menekan daya beli masyarakat karena berkurangnya tenaga kerja dan konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Dalam konteks ini, investor disarankan untuk tidak hanya melihat tren indeks saham, tetapi juga mencermati arah kebijakan ekonomi yang diambil pemimpin berikutnya, karena dapat memicu volatilitas yang signifikan.
4. Strategi investor: Fokus pada investasi jangka panjang

Meski faktor utama koreksi pasar saham umumnya berasal dari dinamika ekonomi makro dan sentimen investor, kebijakan agresif pemerintah tetap memiliki potensi mempercepat tekanan di bursa. Langkah seperti penerapan sanksi ekstrem, perang dagang, atau tarif impor yang tinggi bisa menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar.
David Russell, Kepala Strategi Pasar Global di TradeStation, menyoroti bahwa kebijakan perdagangan proteksionis seperti yang pernah dijalankan oleh Trump pada masa lalu dapat berdampak negatif terhadap stabilitas pasar. “Tarif tinggi bisa memicu inflasi dan mengancam sektor yang sangat bergantung pada komponen impor, seperti otomotif dan teknologi. Sementara itu, kebijakan imigrasi yang lebih ketat berisiko menekan daya beli masyarakat karena berkurangnya tenaga kerja dan konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Kunci untuk menghadapi volatilitas adalah meninjau ulang profil risiko, memastikan portofolio terdiversifikasi, dan tetap berpegang pada strategi jangka panjang. Dalam dunia investasi, disiplin dan kesabaran tetap menjadi kunci utama—siapa pun presidennya.