[PUISI] Sore dan Sebagian dari Kita yang Berada di Lingkaran Waktu

Sore jatuh seperti kenangan,
jingga yang selalu datang, meski tak pernah benar-benar diminta.
Kita duduk di ambang senja,
dengan mata lelah,
memutar hal yang sama.
Sementara, Sore dalam kisah lain
adalah seorang istri yang
berkali-kali memutar harinya
untuk menyelamatkan suami
dari mati muda.
Mungkinkah kau ingat Erased?
Tentang anak yang terjebak dalam luka lama,
mencoba mengubah takdir dengan mengulang hidup,
tetapi yang mati tetap mati,
yang hilang tetap hilang.
Mungkinkah kau ingat pula dengan Tokyo Revengers?
Tentang pria dewasa yang kembali menjadi bocah,
berlari, berkelahi, terluka,
demi menyelamatkan cinta yang terulang,
selalu dengan cara yang berbeda,
tetapi hasilnya nyaris serupa.
Begitulah kita,
manusia di lingkaran waktu.
Berpagi dengan semangat yang dikira baru,
padahal hanya sisa semalam yang belum tuntas.
Berulang kali jatuh cinta pada harapan,
meski tahu, akhirnya bisa jadi sama: kecewa.
Lingkaran ini tak punya ujung,
hanya repetisi dalam wajah yang berubah.
Seperti kota yang tampak selalu sibuk,
tetapi menyimpan sepi di antara langkah-langkah cepat.
Seperti kita,
terlihat hidup,
tetapi sering lupa untuk benar-benar merasa.
Mungkin waktu itu tidak linear.
Mungkin kita tidak benar-benar berjalan ke depan.
Mungkin yang kita lalui hanyalah spiral,
naik sedikit, turun lagi,
berputar di tempat yang—walau berbeda musim—
aromanya tetap sama.
Dan sore pun jatuh lagi,
membasuh kita yang diam-diam letih
menjadi manusia yang—sekali lagi—
berharap esok tak seperti kemarin.
Walau jauh di dalam hati,
kita tahu: kita masih di sini.
Di lingkaran waktu yang tak pernah selesai.