[CERPEN] Cangkir Kopi Ayah

Pada pagi itu, Dimas terbangun dengan perasaan yang berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya, meski tak tampak kasat mata. Sejak Ayahnya pergi, tidur tak lagi menenangkan. Setiap malam, wajah Ayah sering muncul dalam mimpinya—senyumnya yang hangat, tawa yang khas, dan genggaman tangannya di bahu Dimas, seolah ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Namun kenyataannya, setelah kepergian Ayah, hidup Dimas terasa hampa. Kehilangan sosok Ayah terasa seperti kehilangan sebagian besar dari dirinya. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan rindu, berharap bisa menyapa Ayah yang dulu selalu duduk di meja makan dengan secangkir kopi hitam pekat dalam cangkir biru tuanya. Sekarang, cangkir itu hanya tergeletak di dapur, berdebu dan tak lagi digunakan.
Dengan langkah gontai, Dimas menuju dapur dan melihat cangkir biru tua itu—cangkir yang setiap pagi dipakai Ayahnya. Dulu cangkir itu terlihat biasa saja, tetapi kini menjadi benda yang sangat berharga bagi Dimas. Saat menatapnya, ia bisa membayangkan sosok Ayah yang dulu begitu nyata.
Tangannya perlahan mengambil cangkir tersebut dan menyentuh tepinya yang kini terasa dingin. Dimas berharap masih ada aroma kopi tersisa di sana, seolah ingin menghidupkan kembali kehadiran Ayah. Namun, cangkir itu kosong, seperti hatinya yang terasa kosong sejak Ayah pergi.
"Ayah…" bisik Dimas pelan, hampir tak terdengar. Pandangannya tetap tertuju pada cangkir yang dulu terasa hangat karena tangan Ayah. Kini, hanya ada rasa dingin yang sepi.
Setiap pagi, perasaan kehilangan itu selalu kembali. Dulu, Ayah duduk di kursi di sebelahnya, menyeruput kopinya sambil tersenyum, memberi rasa nyaman di hati Dimas. Di saat-saat sulit, Ayah selalu berkata bahwa semua masalah pasti berlalu. “Hidup memang tidak selalu mudah, tapi kita harus kuat,” nasihat Ayah yang kini terngiang dalam benak Dimas.
Dimas menutup mata, membayangkan suara Ayah yang penuh keteguhan. Kata-kata itu kini terasa lebih bermakna. Kehadiran Ayah mungkin sudah tiada, tetapi setiap kenangan yang Ayah tinggalkan memberi Dimas kekuatan untuk bertahan.
Saat Dimas tenggelam dalam lamunannya, Ibu datang ke dapur dan duduk di sebelahnya. Ia melihat cangkir biru tua di tangan Dimas, dengan tatapan penuh pemahaman.
"Kamu kangen Ayah, ya?" Ibu bertanya dengan lembut, suaranya merasuk ke hati Dimas yang tengah rapuh.
Dimas hanya mengangguk, matanya mulai memanas oleh air mata yang hampir jatuh. Ibu memeluk Dimas erat, memberi rasa hangat.
“Walau Ayah tidak lagi di sini, semua nasihat dan pelajaran dari Ayah masih ada dalam diri kamu,” ujar Ibu dengan senyum kecil, meskipun Dimas bisa melihat kesedihan di matanya.
Dimas menundukkan kepala, melihat cangkir di tangannya. Ia tahu, Ibu benar. Meski Ayah telah tiada, kenangan tentangnya selalu hidup di hatinya, setiap nasihat dan senyum Ayah menjadi kekuatan yang membekas.
“Ayah sering menyampaikan bahwa hidup kadang-kadang memiliki rasa pahit, seperti kopi hitam favoritnya. Tapi, Ayah tetap menikmatinya, karena dari sana ia menemukan kekuatan,” kata Ibu, menatap cangkir itu.
Dimas mengangguk, perlahan memahami makna dari kata-kata Ayah. Kehilangan ini menyakitkan, namun ia harus belajar menerima kenyataan. Dalam hati, ia tahu bahwa Ayah ingin ia tetap kuat, meski rasa sakit itu sulit ditahan.
Hari-hari berlalu, dan Dimas mulai terbiasa bangun pagi untuk duduk di meja makan, seolah masih ada Ayah di sana. Cangkir biru tua itu kini menjadi bagian dari pagi-paginya, bukan untuk menyesap kopi, tetapi untuk merasakan kehadiran Ayah yang mengajarkannya keberanian. Setiap kali melihat cangkir itu, Dimas merasa Ayahnya masih menyertai setiap langkahnya, membisikkan keteguhan hati.
Cangkir kopi itu bukan sekadar benda, tetapi pengingat akan ajaran Ayah tentang menghadapi kehidupan yang mungkin pahit, tetapi selalu ada keindahan yang bisa ditemukan.
Kini, Dimas belajar menerima bahwa rasa rindu itu akan selalu ada, tetapi ia tidak lagi larut dalam kesedihan. Ia mengerti, Ayah telah meninggalkan sesuatu yang berharga—keberanian untuk tetap maju, meski kehidupan kadang terasa sulit.
Setiap pagi, Dimas bangun dengan tekad baru. Ia ingin menjalani hidup sesuai dengan yang Ayah inginkan—dengan keteguhan, keberanian, dan keyakinan bahwa meskipun hidup kadang pahit, ada pelajaran dan keindahan di baliknya. Cangkir kopi biru tua itu menjadi simbol segala sesuatu yang Ayahnya ajarkan, dan dengan menggenggamnya setiap pagi, Dimas merasa Ayah masih ada di sana, menemani setiap langkah dalam hidupnya.