Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Di Tanah Merah Basah

ilustrasi makam (Pixabay.com/congerdesign)
ilustrasi makam (Pixabay.com/congerdesign)

Di tanah merah basah. Bunga-bunga bertaburan. Harum kamboja menusuk hidung. Ada isak tangis tertahan. Doa-doa terlantun lirih, kemudian terbawa angin.
Sunyi kembali menerpa. Angin berhembus pelan. Membelai tengkuk. Ia merasakan sesuatu. Ada yang hadir. Apakah itu kau?

***

Suara-suara itu kembali hadir. Mengganggu tidurnya yang tak pernah lelap. Ia membolak-balikkan badannya dengan gelisah, menutup kupingnya dengan bantal, tapi suara-suara itu tetap tak bisa diredam. Desah napas memburu, teriakan-teriakan kecil yang saling bersahutan, derit kasur yang semakin lama semakin keras, serta tawa menjengkelkan pada jeda orgasme. Bangsat.

Ia bangkit dari tidurnya, kemudian menghampiri kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia bersumpah akan mencekik siapa pun laki-laki yang menghuni kamar itu. Baru saja tangannya akan meraih gagang pintu, pintu kamar itu terkuak. Tampak seorang laki-laki setengah telanjang menatapnya.

“Eh, Riri. Belum tidur?” Laki-laki itu berbasa-basi.

Gadis yang dipanggil Riri itu tidak menjawab. Laki-laki itu pun menyingkir ke dapur, meneguk segelas air putih. Ia sudah terbiasa diabaikan gadis itu.

“Apa yang kau lakukan di sana? Lekas tidur!” hardik seorang perempuan dari dalam kamar.

Riri menoleh. Matanya mendapati seorang perempuan berbungkus selimut di atas kasur yang acak-acakan. Ia bahkan bisa mencium aroma sperma yang berceceran di sana. Membuatnya ingin muntah.

“Aku hanya ingin mencekik siapa pun laki-laki yang menggumulimu malam ini,” jawab Riri enteng.

Perempuan itu melotot. “Jaga mulutmu, Riri!”

“Kalian yang seharusnya menjaga mulut. Suara kalian merusak gendang telingaku. Menimbulkan polusi suara!”

Perempuan itu nyaris saja berdiri dan menampar gadis itu, tapi ia mengurungkannya. Laki-laki itu sudah kembali. Ia tersenyum pada Riri sebelum masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

“Bangsat,” gumam Riri, kemudian kembali ke kamarnya.

Ia meraih ponsel dan earphone, lantas menempelkannya di telinga. Musik Payung Teduh pun mengalun lembut, menyamarkan suara-suara jahanam yang terdengar di balik tembok kamarnya.

***

Ia tersenyum menatap deretan angka di layar mesin ATM. Nominalnya sungguh di luar dugaan. Ia sudah membayangkan akan melunasi biaya ujian si genduk, membelikannya iphone—ia bahkan tak tahu apa itu iphone—sesuai dengan keinginan anak itu, membelikannya motor keluaran terbaru, juga laptop yang sekian lama diidam-idamkan.

Ah, membayangkannya saja ia sudah bahagia tidak ketulungan. Anakku pasti senang.
Sesampainya di rumah, ia mendapati si genduk tengah mengisap rokok di ruang tamu. Kakinya telentang di atas meja. Darahnya langsung naik ke ubun-ubun.

“Anak tak tahu diuntung! Sejak kapan kau merokok, ha?!” teriaknya sembari menyambar sebatang rokok dari tangan si genduk.

“Bukan urusanmu,” jawabnya cuek, kemudian menuju kamarnya.

“Riri! Dengarkan kalau ibumu bicara!” Perempuan itu mengejar Riri, tapi pintu kamar sudah tertutup rapat.

“Untuk apa? Kau bahkan tak pernah mendengarkanku!” sahut suara dari dalam.

“Berhentilah merokok!”

“Berhentilah melacur!”

Perempuan itu terdiam seketika. Merasakan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Ya, anak itu memang selalu membuatnya sakit. Mulutnya tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata yang menusuk ulu hatinya. Semakin hari, perilakunya semakin tak terkendali.

“Biaya ujianmu baru saja kubayar. Masih ada sisa uang. Kau bisa mempergunakannya untuk membeli iphone dan laptop incaranmu,” kata perempuan itu setelah beberapa menit terdiam.

“Ya,” jawab suara dari dalam.

“Kau tahu, kan? Semua ini kulakukan hanya untukmu!”

“Harus berapa kali kubilang? Pekerjaanmu sungguh busuk dan menjijikkan. Kau bisa melakukan hal lain selain menelan sperma dari satu lelaki ke lelaki lain!”

“Hentikan, Ri! Hentikan!”

Perempuan itu tak tahan lagi. Ia kemudian beranjak dari kamar si genduk. Selalu. Selalu saja begini. Sekuat apa pun usahanya, anak itu akan selalu mencaci. Kau belum tahu bagaimana rasanya memperjuangkan kehidupan, ujarnya dalam hati.

****

“Selamat, ya, Ri!” Iren memeluk Riri erat-erat. “Kau memang hebat!”

Riri mengangguk. Dari sudut matanya, ia melihat beberapa teman berpelukan dengan orang tua mereka. Membangga-banggakan hasil Ujian Nasional yang jauh berada di bawahnya. Seperti biasa, Riri tetap bertahan dengan status juara umum. Melihat semua itu, tetiba saja Riri merasakan matanya basah. Pelukan itu. Betapa ia merindukannya.

Kapan terakhir kali ia merasakan pelukan? Ia tidak ingat. Otaknya hanya mampu menyimpan ingatan mengenai laki-laki yang meninggalkan rumah tanpa pamit. Laki-laki yang membalik garis kehidupannya. Selang beberapa lama, ia mulai melihat laki-laki yang tak ia kenal memasuki rumahnya, menghuni kamar ibunya dan membunyikan suara-suara memekakkan telinga. Laki-laki yang berganti-ganti setiap harinya. Ia muak.

“Ri, kau tak apa?” Iren terkejut melihat lelehan air mata membasahi pipi Riri.
Riri menggeleng. Ia buru-buru meraih tas, mengambil sebungkus rokok dan menyalakannya sebatang.

“Mungkin aku hanya terharu,” ucap Riri sembari menghembuskan asap dari mulut.
Iren mengangguk. “Sebentar lagi anak-anak akan merayakan kelulusan ini. Kau sudah menyiapkan semuanya, kan?”

Riri mengangguk. Ia sudah membeli banyak pilox dan spidol untuk teman-temannya—teman-teman yang tanpa ia sadari menghabiskan rupiah demi rupiah yang diberikan ibunya.

***

Bersama ribuan siswa lainnya, Riri melakukan aksi corat-coret seragam sembari tertawa-tawa. Mereka saling membubuhkan tanda tangan dan meyemprotkan pilox. Selanjutnya, hasil “karya” itu mereka pamerkan di hadapan khalayak. Deru motor saling bersahutan, juga teriakan-teriakan penuh kebebasan. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Pun polisi-polisi yang hanya bisa membunyikan peluit sembari mencaci panjang-pendek.

Di atas motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, Riri merasakan kebebasan itu. Ia meneriakkan kosakata “bangsat”, “bajingan”, dan “anjing” bergantian. Tidak ada yang memperhatikannya. Teriakannya tertelan teriakan-teriakan lain. Dan ia tak peduli.

Ia terus saja berteriak seiring dengan laju motornya yang kian cepat. Kian cepat. Kian cepat hingga ia tak sadar ada sebuah mobil yang melaju kencang di ujung jalan sana, menghabisi motornya yang tak terkendali.

Riri terpental di pinggir jalan dengan tubuh bermandikan darah. Ia menatap sekelilingnya dengan mata yang kian lama kian mengabur. Sekilas ia melihat pengendara mobil itu menatap dirinya beberapa detik, lantas meninggalkan ia dan motornya begitu saja. Riri tidak peduli.

Ia hanya mempedulikan tubuhnya yang semakin ringan. Ia tertawa senang melihat tubuh itu melayang-layang, merasakan kebebasan yang selama ini ia rindukan. Ia terbang ke surga.

***

Di tanah merah basah. Bunga-bunga bertaburan. Harum kamboja menusuk hidung. Ada isak tangis tertahan. Doa-doa terlantun lirih, kemudian terbawa angin.

Sunyi kembali menerpa. Angin berembus pelan. Membelai tengkuk. Ia merasakan sesuatu. Ada yang hadir. Apakah itu kau?

Perempuan itu menjatuhkan dirinya. Di atas tanah merah basah. Tangannya menggapai-gapai nisan dengan lelehan air mata. Angin kembali membelai tengkuknya, kemudian tangannya, kemudian seluruh tubuhnya. Ia tahu, si genduk hadir. Kemudian, ia merasakan sebuah pelukan. Pelukan yang telah lama (juga) ia rindukan.


Jogja, Selasa 10 Juni 2014.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Ken Ameera
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us