[CERPEN] Halaman Terakhir Buku Milik Ayah

Aku selalu punya banyak pertanyaan untuk sosok laki-laki paruh baya yang tengah asik membaca buku di sampingku sambil menikmati kopi hitam pekat saat matahari hampir terbenam. Ingin kulayangkan sebuah kalimat yang penuh kepenatan dan kerapuhan. Ingin kuberlindung di balik dirinya untuk melewati setiap labirin kehidupan yang penuh teka-teki, sebab meski tanpa peta, aku akan berani melangkah tanpa ragu.
Berbagai pilihan telah membingungkanku. Kesalahan dalam mengambil keputusan menghantuiku. Penyesalan menusukku dari belakang. Dan waktu menuntut kecepatan dan ketetapanku. Ayah, ingin kulimpahkan semuanya.
Aku terlalu berusaha keras untuk berpura-pura. Sejujurnya, aku tak ingin demikian, namun jawaban di ujung sana membenarkan realita bahwa itu adalah satu-satunya jalan untuk bisa diterima khalayak. Aku tak banyak bicara karena berbagai alasan yang terlalu melankolis untuk diceritakan. Dunia mungkin hanya akan mengangguk dan aku akan kembali paham bahwa itulah adanya.
Ayah, aku tak ingin berpura-pura, tetapi karena aku punya banyak ketakutan, maka aku hanya bisa tersenyum dan ikut tertawa. Kau tahu, aku tak bisa mengelak bahwa situasi itu adalah salah satu hal yang miris untuk disaksikan. Tapi untungnya, ini bukan siaran langsung atau sebuah drama yang akan segera ditayangkan. Kalau tidak, aku bisa tertangkap basah tengah memaksakan diri. Sekarang tidak apa, setidaknya aku bisa merasa sedikit aman untuk tetap mengisi cerita kehidupan. Meski pada akhirnya seluruhnya akan terputar dalam satu kali penayangan panjang.
Ayah, sejauh apa aku bisa percaya pada diriku dan orang lain? Kumohon berikan setidaknya sedikit resep rahasia yang mudah kupahami. Agar kelak aku tak mudah goyah ataupun keliru membaca situasi. Aku juga tak ingin banyak meratapi dan berhenti pada hal-hal yang kusesali. Karena itu, meski bukan kunci jawaban, setidaknya berikan kisi-kisi agar aku punya banyak bekal untuk memilih keputusan yang paling tepat.
Ayah, apa aku bisa menganggap semua orang itu jahat sebelum aku benar-benar mengenalnya sebagai benteng agar aku selalu waspada? Atau aku harus tetap berpikir bahwa mereka adalah orang baik agar aku tak menjadi sosok yang mudah menghakimi? Aku tak ingin jadi orang yang jahat.
Ayah, kau pasti mengerti mengapa aku berpikir demikian. Kuakui aku terlalu takut kecewa dan ditinggalkan. Sampai sekarang aku masih belum bisa memilih, membiarkannya atau mengatasinya meski dengan berpura-pura. Tapi, ayah aku juga takut kepura-puraan itu malah merubahku jadi orang lain. Meski aku tahu, bertahan pada satu tabiat yang dianggap buruk bukanlah pilihan yang patut di pegang erat.
Lalu aku harus berdiri di sisi mana? sebab garis tipis antara beberapa banyak pilihan seringkali menghampiriku tanpa memberiku waktu untuk menyiapkan segala hal dengan rapi. Hingga akhirnya banyak membuatku berada pada lingkaran kekeliruan yang menimbulkan banyak rasa bersalah.
Ayah, bagaimana ini? Aku kebingungan. Tempo hari aku mempersiapkan diriku dengan baik untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku menyetel diriku untuk menjadi pribadi yang ramah, menyenangkan, dan hangat. Tapi, aku malah bertemu orang dingin yang menganggapku aneh dan banyak tingkah. Sorot matanya seolah melayangkan sihir untuk membuatku menutup mulut dan tak berlagak seolah teman akrab.
Kejadian itu membuatku menjadi dingin dan tak berani memulai. Aku jadi ragu untuk menyapa. Hingga akhirnya, aku lebih sering memilih untuk menutup mulut dan membiarkan hal-hal sekitar berjalan seadanya tanpa perlu kubumbui. Namun, aku tak hanya bertemu dengan orang-orang yang memiliki karakter yang sama dalam setiap perjalanan. Tentu saja mereka memiliki sifat sendiri.
Interaksi dengan orang-orang yang sebelumnya kutemui sedikit membentukku menjadi pribadi yang lain, hingga aku bisa saja menjadi orang yang berbeda bahkan dalam selangkah.
"Kalau-kalau kamu lupa, ayah hanya ingin memberitahumu bahwa besok ayah akan kembali ditugaskan."
Aku mengangguk sambil memaklumi bahwa ayah adalah seorang abdi negara yang harus selalu siap untuk ditugaskan ke berbagai daerah. Bukan waktu yang sebentar, berbulan-bulan hingga bahkan bertahun-tahun adalah hal yang sudah tidak asing kami jalani. Karena itu percakapan bersama ayah adalah hal yang paling aku dambakan. Sayangnya, meski sosoknya bahkan sudah ada di hadapanku, aku masih tetap kikuk untuk memulai sebuah dialog. Rasanya aku tak pernah begitu mengenal ayah.
Esok harinya, setelah ayah dan rekan-rekannya berangkat, aku menjalani kehidupan seperti biasa. Tak ada yang spesial dan berbeda. Namun, meskipun sudah berkali-kali mengalami hal serupa, perasaan ditinggal pergi untuk beberapa lama itu masih selalu menyesakkan. Aku mencoba menghibur diri dengan melihat-lihat koleksi buku milik ayah. Rak-rak yang menjulang tinggi dan rapi menjadi pemandangan yang tak akan pernah bosan baginya. Setiap baris dalam buku seperti makanan pokok yang bisa menambah energi.
Aku mengambil sebuah buku yang cukup menarik perhatian. Tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis dengan sampul berwarna coklat tua. Aku mulai membuka setiap lembaran dan menemukan tulisan tangan milik ayah. Aku tak bisa menahan diri untuk tak membacanya. Tulisan tangan ayah tak begitu rapi, tapi kalimatnya tersusun begitu indah. Setidaknya, aku bisa merasakan percakapan dari setiap rangkaian tulisannya. Hingga aku tak peduli dengan waktu yang membawaku pada halaman akhir dan kutemui sebuah pesan singkat yang belum pernah kudengar secara lisan dari ayah.
"Farah, putri ayah. Ayah selalu senang kamu bisa tumbuh dengan baik dan berhati hangat. Mungkin sudah banyak hal yang juga kamu temui di luar sana. Sayangnya, ayah bukan pembicara hebat yang bisa memberimu kalimat lisan ajaib untuk membuatmu terus bangkit. Tapi ayah siap mendengar cerita-ceritamu."
"Nak, tumbuh dewasa mungkin sesekali akan membingungkanmu. Sebab akan ada banyak persimpangan di ujung jalan yang akan menantimu. Karena itu, kuatkan niat dan tekadmu, agar kau tak mudah tersesat."
"Maaf jika ayah jarang memulai percakapan di saat sebenarnya kau sedang butuh teman cerita. Ayah mungkin terlihat abai padamu, tapi percayalah ayah akan selalu berusaha melakukan yang terbaik."
"Saat yang ada di hadapanmu bukan lagi hitam dan putih. Kau hanya perlu fokus pada kebenaran, tak usah pedulikan mereka dengan opininya yang belum tentu benar."
"Terima kasih sudah menjadi hebat, teruslah belajar jadilaj bijak yang menebar kebaikan bagi sekitar."
Aku menutup buku ayah. Sepersekian detik atmosfer ruangan begitu berbeda. Aku merasakan sosok ayah dalam tulisan-tulisannya. Meski begitu, aku tak akan pernah menyalahkan bentuk perhatian ayah dengan caranya sendiri.