[CERPEN] Nakhoda yang Kehilangan Tujuannya

Aku menatap kosong setir kemudi sebuah kapal tua di hadapanku, lantas menghela napas panjang. Pikiranku benar-benar kacau. Aku sungguh tidak tahu lagi ke mana harus mengarahkan setir kemudi ini.
Oh, gawat. Aku kehilangan arah tujuanku.
Aku seorang nakhoda yang cakap—tapi, ya, kurasa itu dulu. Terkadang aku merindukan masa lalu. Masa ketika kapal ini berada di puncak kejayaannya. Masa ketika aku tanpa ragu menerjang lautan di depan sana.
Aku tersentak, nyaris meloncat, ketika menyadari seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, mendapati Annie menatapku gundah. Hampir iba, kurasa.
Aku tersenyum cerah, memasang topeng andalanku—seperti biasa.
“Violet yang malang. Kau pikir bisa membohongiku?” serunya.
Ah, rupanya topengku kurang tebal.
“Oke, kau menang. Ada apa, Ann?” tanyaku.
“Harusnya aku yang bertanya, Vio. Kau yang ada apa? Aku tahu kau masih memikirkan hal itu!”
Oh, dia benar-benar menangkapku.
Annie tiba-tiba menarik lenganku, sementara langkah kakiku tergesa mengikutinya.
Aku terperangah ketika mendapati pemandangan sebuah ruangan berukuran sedang dengan dinding bercat putih—yang baru kulihat hari ini. Di sepanjang dindingnya terdapat bingkai-bingkai foto yang terbuat dari kayu dan tampak mulai usang dimakan usia.
Annie tersenyum, lantas dengan semangat menarik tubuhku menjelajahi ruangan itu.
Aku terkesiap ketika mataku menangkap sebuah foto yang menampilkan kami berdua dan para awak kapal tengah tersenyum lebar sembari berpose bebas.
Diam-diam aku tersenyum sendu.
Rasanya, kerinduan akan masa-masa itu kembali menyelimuti benakku.
“Ternyata kau masih menyimpannya,” kataku parau.
Annie tersenyum lembut, “Tentu saja, Vio sayang.”
Aku menatap sahabatku, “Menurutmu, apa masa-masa itu akan terulang kembali?”
Annie tertawa, “Kalau kau bilang akan terulang, tentu tidak jawabannya. Sebab, masa lalu tidak akan pernah terulang," katanya, "tapi, kalau masa gemilang itu akan datang lagi, kurasa itu pasti. Kita akan mengalami dan bahkan menjadikannya lebih baik daripada masa-masa di foto ini.”
Aku tersenyum kecut, “Kali ini gurauanmu tidak lucu, Ann.”
Kulihat bibir Annie mengerucut, “Karena aku tidak sedang bergurau, Vio.”
“Kalau begitu, kau pasti sedang berkhayal,” kilahku kukuh.
Annie menghela napas, “Vio, kau tahu? Suatu peristiwa tidak akan terjadi kalau seseorang yang menjalaninya berpikir itu tidak mungkin terjadi,” ujarnya gemas. Kini, aku melihat sendu di matanya. Ia memegang pundakku kuat-kuat, “Hei, siapapun sosok di dalam sana, keluarlah! Vio yang kukenal bukan seperti ini! Vio sejak dulu selalu berkata bahwa tidak ada hal yang mustahil terjadi, bukan sebaliknya!”
Aku tertawa getir, “Terima kasih, Annie sayang. Tapi, Vio yang ada di hadapanmu ini asli, dan kali ini, ia ... sedikit berbeda,” kataku. “Dahulu, aku selalu optimis karena realitanya benar-benar mendukung untuk terjadi, tapi kurasa hari ini tidak ada hal yang demikian, Ann.”
Annie menggeleng, “Omong kosong. Sejak dulu, pada dasarnya realita tidak pernah benar-benar mendukung terjadinya suatu hal. Sugesti dalam dirimulah yang merasa begitu. Tapi, menurutku, sugesti positif bisa menjadi awal yang baik untuk memulai sesuatu.”
Aku menatapnya, sedikit menelengkan kepala, “Maksudmu?”
Annie kini memandangku lekat, “Vio kawanku yang paling kusayangi, semua orang tentu merindukan masa gemilang kita, bukan? Kau, aku, dan seluruh awak kapal kita. Tapi, kau tahu? Perasaan rindu tidak akan mengubah sesuatu jika kau tidak melakukan perubahan dalam hidupmu. Kau tidak bisa mengulang masa gemilang hanya dengan berbekal rindu.”
Annie menghela napas, melanjutkan, “Aku bukannya ingin menghakimi atau mengguruimu, sebab aku sendiri juga sedang goyah, persis keadaanmu. Namun, semua orang pasti pernah sampai pada titik terendah dalam hidup mereka, bukan? Dan yang terpenting daripada itu adalah cara kita meresponnya; diam dan menggali lubang lebih dalam atau keluar dari lubang dan bangkit kembali. Seseorang yang terjatuh ke dalam lubang mestilah mencari cara untuk keluar. Jika tidak, maka dia akan terjebak di dalam lubang itu selamanya.”
Aku termenung, menatap bingkai foto di hadapanku. Perkataan Annie rasanya bagai ombak yang tiba-tiba datang menerjangku, namun anehnya aku tidak merasakan adanya bahaya dalam ombak besar itu, justru yang kurasakan sebaliknya.
“Vio, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, hanya karena itu tidak mudah bukan berarti mustahil untuk dilewati. Aku yakin bahwa kau, aku, dan kita semua pasti bisa melewatinya,” kata Annie lembut. “Kau tahu? Hanya perlu selangkah untuk melewati masa-masa sulit. Lagipula aku sangat percaya bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini, apalagi bagi dirimu.”
Aku berkata parau, “Tapi ... aku telah kehilangan tujuan untuk bangkit .... Bahkan, aku tidak tahu ke mana kapal ini harus berlayar ....”
“Kau yakin?” tembakan Annie tepat sasaran.
Aku terkesiap, “Apa?”
“Kau yakin begitu?” Oh, kali ini dia menggodaku.
Aku bergidik, lantas tertawa, “Baiklah, kuakui kau andal menangkap diriku. Kau puas, sekarang? Kau menang sejak awal, Ann!” ledekku.
Annie tertawa, mengangkat bahu, “Ya, kurasa seharusnya aku sudah mendapat gelar dalam bidang itu.”
Aku tersenyum kecut, “Sejujurnya aku hanya ragu.”
Annie menepuk lenganku, “Hei, kaukira aku tidak?” katanya. “Setiap orang pasti memiliki keraguan tentang mimpi mereka. Tapi, menurutku justru mimpi yang membuat kita ragu dan takut itulah mimpi yang mestinya kita capai. Sebab, itu artinya mimpimu luar biasa, bukan?”
Aku terperangah mendengarnya, “Kau benar!”
Annie tersenyum lebar, “Nah, kalau begitu, kau sudah tahu arah tujuan kapal ini berikutnya?”
Aku mengangguk bersemangat, lantas berjalan meninggalkan ruangan hangat itu. Langkahku terhenti tepat di ambang pintu. Aku menoleh ke arah sahabatku yang tiada tandingnya di dunia ini, lantas berseru, “Ayo, segera siapkan kapal! Turunkan layar! Bangunkan para awak! Umumkan pada seluruh orang. Kapal ini akan segera melaju, menuju tujuan baru!”