[CERPEN] Skenario yang Tak Terjadi

Tangannya bergetar, badannya mengeluarkan keringat dingin, pikirannya cemas. Rian sedang duduk sendiri, menunggu gilirannya untuk melakukan ujian komprehensif. Ada tiga mahasiswa dan satu mahasiswi pada hari itu yang akan melakukan ujian komprehensif, Rian salah satunya.
Awalnya, mereka berkumpul di Ruang Lima, Gedung Baru, Fakultas Ekonomi—sebutan untuk salah satu bangunan di fakultas tersebut yang sebenarnya sudah cukup lama berdiri.
Masing-masing dari mereka diberikan nomor urut ujian. Rian mendapatkan nomor urut terakhir. Sisanya diperintahkan untuk menunggu diluar ruangan terlebih dahulu.
Rian masih dapat menunjukkan senyumnya saat menunggu bersama dua orang temannya, hingga satu per satu temannya masuk ke ruang ujian, mendapat giliran mereka.
Lalu tersisa Rian sendiri di bangku kayu, di depan ruang ujian tersebut.
Waktu terasa berjalan lambat saat Rian menunggu sendirian. Sambil memegang skripsinya yang terus dia bolak-balik setiap lembarnya, ia berusaha untuk mengingat-ingat kembali tentang isi penelitian yang sudah dilakukannya. Namun, percuma saja, karena pikirannya justru kemana-mana.
Sebenarnya, Rian merupakan mahasiswa yang cukup cerdas dan rajin, dibanding teman-temannya yang lain. Sebelum ujian, salah satu temannya bercerita bahwa mereka mendapat pertanyaan-pertanyaan yang diluar dugaan. Namun, saat Rian mendengar pertanyaan yang disebutkan temannya tersebut, dia hampir dapat mengetahui semua jawabannya dengan mudah.
Setiap menit yang berlalu, menunggu gilirannya untuk ujian, pikirannya makin cemas. Perutnya sesekali merasakan sakit tanda dia sedang mengalami stres yang berlebih.
Ditengah itu semua, Rian justru kesal kepada dirinya sendiri, karena tadi malam dia kesulitan untuk tidur. Dia baru bisa terlelap sekitar pukul tiga pagi. Sepanjang malam, Rian memikirkan skenario-skenario terburuk yang akan dihadapinya saat ujian.
Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Dan disinilah Rian sekarang, menunggu gilirannya memasuki ruangan untuk melakukan ujian komprehensif. Salah satu momen penting dalam hidup banyak orang, semacam stage terakhir yang harus dilalui untuk menamatkan perkuliahan dan mendapat gelar S1-nya.
Sambil terus merasakan kepalanya yang mulai pusing karena kurang tidur dan perutnya yang makin sakit. Dia terus berusaha mengulang-ngulang menghafal isi skripsinya yang akan dia paparkan ke tim dosen penguji.
Untungnya, dosen pembimbing Rian sangat membantu. Beberapa hari sebelum ujian, dia memberi semacam tips kepada Rian untuk menghadapi ujian. Dan itu sangat membantu Rian dalam menentukan poin-poin mana saja yang perlu dia hafalkan secara detil.
Tiga puluh menit sudah berlalu sejak temannya yang terakhir menunggu bersamanya tadi masuk ke ruang ujian. Jantungnya berdebar sangat kencang.
Beberapa menit kemudian, Rian dipanggil masuk untuk melakukan gilirannya ujian.
Rian masuk ke ruang ujian, merasa ruangannya lebih dingin dari yang dia pikir. Dengan tangan yang bergetar, Rian berusaha menyiapkan laptopnya.
Diawali dengan kegugupan luar biasa, namun setelah melakukan perkenalan diri, Rian menjadi lebih rileks.
Dia memaparkan hasil skripsinya dengan cukup lancar. Menjawab pertanyaan dosen penguji dengan baik. Hingga gilirannya selesai dan tim dosen penguji melakukan penutupan ujian.
Rian keluar ruangan dengan perasaan lega luar biasa.
****
Di perjalanan pulang Rian merasa cukup lelah setelah melalui salah satu peristiwa penting dalam hidupnya itu. Rian memikirkan kembali semua kecemasan yang dia pikirkan sebelumnya.
Semua skenario buruk yang nyatanya tidak benar-benar terjadi.
Lalu, muncul lagi semacam perasaan lega dari dalam dirinya, setelah melalui semua kesulitan tersebut.
Dan saat itu pula, Rian menyadari bahwa kesulitan yang telah dia lalui itu tidak sesulit yang dia pikirkan.
Hanya saja pikirannya saat itu yang membuat semacam prediksi perasaan yang akan dialaminya dengan berlebihan. Dan tidak satupun prediksi tersebut yang terbukti terjadi.