Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Pelukis dan Kuasnya

Orang memegang kuas coklat (Pexels.com/Yigithan Bal)

Sadara adalah seorang pelukis, Sadara suka melukis dan menjadikan karyanya sebuah karya yang sempurna, setidaknya ketika ia pandangi ciptaannya. Bila ia lukiskan senyuman di wajahnya, maka tamat sudah kegiatannya, kuas ia letakkan di dalam gelas plastik yang diisi dengan air keruh, keruh karena ia selalu mencelupkan kuasnya ketika ia ingin mengoleskan warna yang baru kepada kanvas yang ada di hadapannya. Senang sampai sedih seperti garis kartesius dari minus sampai positif perasaannya, Sadara akan tetap meletakkan warna di palet lukisnya, menyapu kanvasnya dengan kuas, dicelupkannya kuas di dalam gelas plastik agar kuasnya kembali bersih ketika ia mencicipi warna yang lain. 

Hari ini pun sama, Sadara melukis di atas kanvasnya yang baru saja ia beli kemarin. Namun hari ini berbeda, ia ingin membuat sesuatu yang sempurna, atau mungkin bisa saja lebih sempurna daripada kata sempurna, lebih sempurna dari lukisan-lukisan yang ia buat di ruangan yang diramaikan oleh semua lukisan yang ia lukis dengan jemarinya. Sadara sekaligus ingin menguji dirinya, seberapa jauh ia bisa membuat sesuatu yang bahkan sempurna di mata Yang Maha Esa? 

Selesai. Setelah jam-jam yang berlalu ia isi dengan terus menyapu kuas di atas kanvas tersebut, akhirnya ia selesai melukis. Menurutnya, indah sekali warna-warna yang mencoret kanvas tersebut. Namun ketika ia melihat lagi lukisan-lukisan yang telah ia buat, ia merasa tidak puas dan kembali menambahkan warna agar lukisan tersebut menjadi sempurna. Tidak ada yang tahu arti dari sempurna untuk Sadara itu apa. 

Satu persatu cat warna miliknya terkikis habis untuk satu kanvas yang ada di hadapannya itu. Matahari yang mulai bosan menemani ia akhirnya tenggelam, malam yang menggantikannya. Sampai kapan ia bisa mencapai kepuasan dirinya? Sempurna? Saat ini kanvas yang terus ia lukis menjadi semakin aneh dari yang biasanya. Sadara terus menyangkal fakta bahwa lukisan yang ia ciptakan semakin berantakan ( bukan berarti jelek, menurutnya ) Hanya butuh beberapa sentuhan untuk menjadikan lukisannya sempurna, Beberapa sentuhan yang semakin lama berubah menjadi beribu sentuhan. 

Kanvasnya sudah tak kuat menampung warna yang ia letakkan, satu persatu warna mengembung keluar seperti lukisan tiga dimensi dari kanvasnya, jatuh di atas lantainya yang bersih, terserok oleh kakinya yang telanjang. Cat-catnya yang ada di atas palet tidak berwujud bersih seperti biasanya, tercampur dengan berbagai warna yang menjadikan masing-masing cat tersebut berwarna keruh seperti air yang ada di dalam plastik gelas. Bingung menyelimuti hatinya, apa yang akan ia lakukan setelah merusuhi kanvasnya dengan gairahnya untuk menjadi sempurna? Kanvas yang satu ini adalah korban dari keinginannya yang mustahil. 

Jemarinya sudah lelah untuk menggenggam kuas yang berbatang kayu itu. Ia sudah tidak sanggup menyempurnakan kanvas yang ada di hadapannya, sebenarnya ia tidak ingin melihat lukisannya yang ada di hadapannya sekarang. Ia melihat banyak ketidaksempurnaan dibandingkan lukisan-lukisan milik ia sebelumnya. Gadis tersebut tidak tahu apa yang harus ia lakukan, terus-menerus merayap kepada dunia untuk mengemis kesempurnaan yang tidak ada di sini, di dunia yang mempunyai garis kartesius. 

Banyak kacau yang ia ciptakan untuk menggapai sempurna. Kedua kakinya kotor karena cat-cat warna yang jatuh dari kanvas, lantainya pun sama, ia harus segera membersihkannya sebelum cat-cat warna tersebut membekas dan sulit untuk dipudarkan. Ia lihat tangannya yang dimakmuri oleh beragam warna, menyelip-nyelip ke kukunya yang panjang, bersembunyi dilipatan-lipatan buku jemarinya. Lukisannya tidak menjadi sempurna, lukisannya menjadi jauh dari kata sempurna. Kalau saja ia tidak pernah mengemis kesempurnaan di dunia maka ia tidak akan pernah diertemukan oleh kekacauan dari hal yang mustahil itu. 

Seharusnya ia sadar, bahwa perasaan yang dimiliki manusia sudah cukup membuat manusia menjadi tidak sempurna. Bukan berarti menjadi sempurna hanya memiliki otak, melainkan menjadi sempurna adalah tahu bahwa yang ia miliki dan kuasai tidak sempurna. Yang terpenting adalah ia sadar dan membersihkan apa yang sudah ia kacaukan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us