[CERPEN] Perempuan yang Tak Peduli dengan Khianat

Terkadang, kenangan akan terasa lebih indah saat dikenang. Jadi, kamu berhak menyetel otakmu untuk menyimpan kenangan yang pantas dikenang, dan membuang kenangan yang layak dibuang. Begitu kata paman di sore hari, sebelum aku pamit ke taman kota.
Avelia, begitulah aku menyebut taman ini. Berbagai pohon ditanam, termasuk pohon kasturi yang sudah langka. Belasan kursi tersedia di pinggir, sedangkan di tengah dibiarkan lapang dengan rumput menghijau. Saat aku datang, perempuan berambut gelombang itu sudah duduk di bangku, dekat pohon kasturi. Sesekali wajahnya mendongak, melihat ujung jalan. Selebihnya, ia sibuk menatap layar handphone.
Usai menaruh segelas kopi yang kubeli dari pedagang di pinggir taman, kusiapkan kamera hadiah dari paman. Katanya, setiap momen harus diabadikan. Agar tersimpan menjadi kenangan. Salah satunya dengan kamera. Kamu tahu kenapa, karena semenit yang lalu sudah menjadi kenangan. Dan otak kita sudah penuh sesak menyimpan banyak memori. Jadilah, kamera harus digunakan untuk membantu kinerja otak. Padahal aku sendiri bukan fotografer. Jujur, aku agak kolot dengan teknologi. Android misalnya. Baru kubeli saat memprogram skripsi. Itupun karena pembimbingku hanya mau dihubungi via WhatsApp.
Setelah membuka petunjuk yang tertera, kucoba-coba memencet tombol menu. Aku sendiri tak paham maksud dari beragamnya aplikasi pendukung ini. Ah, biarkan saja. Toh, aku sudah tahu letak tombol on dan off. Tombol mengambil gambar. Selesai. Selebihnya, aku harus berlagak profesional. Salah satunya, mencari objek foto selain tanaman dan orang-orang yang berjalan bergandengan. Beruntunglah perempuan itu ada di sana setiap sore. Setidaknya, aku punya model yang tak perlu kubayar.
Beragam pose sudah kupotret. Memang, banyak yang tak fokus. Malah banyak yang buram. Hanya saja, semenjak mengambil gambar perempuan itu, selalu sekawan burung terbang di sekitar pohon kasturi. Menambah pemandangan yang seharusnya menghasilkan gambar mengesankan. Seharusnya. Sayangnya, semenjak sekawan burung tak lagi mampir di pohon kasturi, perempuan itu juga tak pernah duduk di bangku taman. Tak seperti dulu. Sembari menunggu senja, selalu perempuan itu duduk di bangku yang sama. Setiap sore. Kadang, kalau bangku yang biasa diduduki sudah terisi, perempuan itu pindah di kursi kayu yang ada di dekat tiang listrik. Tetapi, hanya sesekali. Selebihnya, selalu di bangku panjang tadi. Barangkali, orang-orang sudah hapal kebiasaan perempuan itu. Jadi mereka tak lagi berani duduk di bangku tadi. Mungkin.
Aku tak tahu nama burung itu. Dari perawakannya seperti burung bangau, tetapi aku tak mau bercerita tentang burung-burung itu. Aku hanya penasaran, apakah terdapat hubungan tertentu antara perempuan berambut panjang nan gelombang itu dengan burung-burung tadi. Mungkin kebetulan. Tetapi, sekali lagi, burung-burung itu tak lagi datang ke pohon kasturi semenjak perempuan itu tak lagi muncul ke taman. Ya, perempuan itu tak lagi kulihat. Burung itu juga tak ada. Sampai sekarang.
“Jadi, selama berminggu-minggu, kamu hanya memotret perempuan ini?” seru Hadi, saat kusodorkan foto perempuan itu. “Kamu kenal?”
Aku menggeleng pelan. Hadi jauh lebih menggelengkan kepala lebih pelan.
“Tetapi perempuan itu tak lagi datang, persis burung-burung yang tak lagi hinggap di pohon kasturi,” ujarku mencoba menjelaskan.
“Ah, dasar aneh.”
“Tak ada yang aneh. Kamu tahu, kasturi itu hanya bisa tumbuh di sini. Tak bisa tumbuh di tanah gersang seperti gurun tandus. Pohon ini mulai langka.”
“Lalu?”
“Ya, kamu tahu sendiri pemerintah kota menggalakkan dukungan buat melestarikan kasturi.”
“Bukan. Perempuan itu maksudku.”
“Entahlah.”
Hadi mengambil kamera. Dilihatnya foto perempuan tadi. Semuanya. Dilihatnya satu persatu secara seksama. Lalu menoleh ke arah pojok kedai. Begitu seterusnya. Melihat kamera lalu mengalihkan pandangan ke ujung kedai.
“Perempuan itu ada di sana,” ujarnya sambil menunjuk pojok kedai. Aku menoleh. Dan, ya, benar. Memang perempuan itu. Rambut panjang bergelombang. Hanya saja, ia terlihat lebih kurus. Tampak seorang lelaki dengan setelan kemeja hitam duduk di depannya. Kedua orang itu terlihat serius membicarakan sesuatu. Lantas si lelaki pergi. Tinggalah perempuan tadi masih duduk di kursi yang sama. Mengambil gadget. Lalu cekikikan sendiri menatap layar handphone.
“Rasa-rasanya, menjadi gila itu tak perlu menjadi orang gila,” ucap Hadi.
“Contohnya?”
“Saat sibuk memainkan handphone, kita sering tertawa sendiri. Kadang tiba-tiba nangis. Orang gila kan begitu. Kadang tertawa sendiri. Kadang marah-marah sendiri.”
“Itu beda konteks. Orang yang memegang gadget, memiliki alasan kenapa tertawa. Karena itu media komunikasi.”
“Lah, kamu pikir oran gila juga tak punya alasan tertawa sendiri? Dia menjadi gila juga ada sebabnya, kan?”
Perempuan itu tiba-tiba berdiri. Aku sendiri bergegas pergi setelah mengambil kamera di atas meja. Hadi sendiri tak mau ikut. Dia sudah terlanjur menganggapku gila hanya karena menguntit perempuan berambut gelombang itu. Sesuai dugaanku. Perempuan tadi kembali duduk di bangku di dekat pohon kasturi. Anehnya, beberapa detik kemudian, burung-burung bangau itu kembali hinggap di pohon berbuah seperti mangga ini. Ya, ini memang aneh.
Aku yang sudah mengeluarkan kamera, urung memotret perempuan itu. Kamu tahu kenapa, karena dia mendekat ke arahku lalu duduk di sebelah kiri.
“Fotografer?” tanyanya sambil menyilangkan sebelah kaki. Aku yang kikuk mendapati perlakuan tiba-tiba ini, hanya menggeleng pelan.
“Maaf, aku tak bermaksud mengganggu. Selama ini, aku belajar memotret saja.”
Perempuan itu tertawa. Lalu membuang muka ke arah pohon kasturi.
“Kenapa tak pergi dengan lelaki tadi?” tanyaku memberanikan diri.
“Aku baru putus.”
“Maaf,” tiba-tiba saja aku lebih sering mengeluarkan kata ‘maaf’ yang terdengar ingin menyingkirkan kegugupan diri.
“Tak apa. Cinta memang sulit ditebak. Kamu tahu kenapa aku putus?”
Aku menggeleng.
“Karena aku tak sesempit taman ini. Lihatlah! Taman ini hanya terisi beberapa bangku, pohon dan ruang lapang di tengah-tengah. Sekilas terlihat luas. Tetapi jika dicermati, sangat sempit.”
“Barangkali, cara pandang saja harus diubah. Kamu bisa menganggap taman ini luas dibandingkan berada di ruang kamar yang sempit.”
Perempuan itu menoleh. “Kamu sendiri, kenapa tak pernah datang dengan pacarmu kemari?”
“Aku tak punya pacar.”
“Takut sakit hati? Atau mencari yang sempurna?”
“Bukan. Aku sudah beristri.”
Perempuan itu tampak kaget. Terlihat sekali menyembunyikan raut mukanya yang terkejut.
“Kenapa tak pernah ikut kemari? Atau jangan-jangan, kamu sengaja datang menyelinap sendiri sambil celingukan menikmati perempuan lain. Ah, dasar lelaki.”
“Hey, aku tak seperti itu. Istriku bekerja. Baru pulang menjelang maghrib.” Bayang-bayang pohon sudah tak ada. Tetapi langit tetap saja biru. “Sekarang dia lembur,” imbuhku lagi. Entah kenapa, aku takut perempuan ini menerka yang tak baik tentang kehidupan rumah tanggaku.
“Tak baik menaruh kepercayaan seratus persen kepada seseorang. Taruhlah sembilan puluh sembilan persen percaya, dan nol koma satu persen itu untuk bersikap kritis. Ingat, kritis. Terkadang berburuk sangka dan kritis itu beda tipis.”
Aku tersenyum nyinyir mendengar penjelasan perempuan tadi. Bagaimana mungkin aku tak sepenuhnya percaya dengan pasangan padahal kepercayaan adalah modal utama menjalani hubungan.
“Tak apa kamu menghinaku karena rumus ini. Setidaknya, kamu harus tahu, seratus persen itu kamu berikan kepada Tuhan. Bukan kepada manusia sekalipun itu istrimu.”
Tiba-tiba perempuan itu berhenti menatap. Ia menoleh ke arah ujung jalan. Tatapannya penuh amarah tetapi lekas-lekas disimpan. Aku yang penasaran, terpaksa menoleh jua ke arah ujung jalan. Dan aku, jauh lebih marah melihatnya. Kamu tahu, lelaki dengan setelan jas hitam mantan perempuan yang duduk di sampingku ini, tengah berjalan mesra dengan istriku. Ya, itu biniku.
“Lihatlah! Lelaki dan perempuan sama saja. Sama-sama memiliki kesempatan berkhianat,” ujarnya sambil berlalu. Setelah pertemuan itu, aku tak pernah melihat perempuan itu kembali. Juga, burung-burung itu tak terlihat berkunjung di pohon kasturi lagi.