Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sekotak Pertanyaan di Bukit Kota

Seorang wanita berdiri sambil melihat matahari terbenam.
Seorang wanita berdiri sambil melihat matahari terbenam (Freepik/8photo)
Intinya sih...
  • Bukit kota menyuguhkan langit sore dengan warna jingga yang manis, memudar apabila kepala menengadah ke atas.
  • Hanya ada satu bangku di bukit ini, cukup untuk satu sampai tiga orang untuk sekadar memuji pemandangan dengan jalan raya yang diramaikan oleh lampu-lampu merah dari mobil atau motor.
  • Kisah cinta yang tenggelam tanpa ada yang tahu bagaimana akhir yang kita inginkan. Kita terlalu naif, belum tahu apa arti cinta sebenarnya, mencintai bukan sekadar memiliki.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bukit kota menyuguhkan langit sore dengan warna jingga yang manis, memudar apabila kepala menengadah ke atas. Tampaknya warna jingga tersebut berasal dari matahari yang akan terbit sebentar lagi. Tidak hanya itu, angin sore membelai pipiku dengan lembut, ingin sekali aku tidur setelah hari yang melelahkan. Hanya ada satu bangku di bukit ini, cukup untuk satu sampai tiga orang untuk sekadar memuji pemandangan dengan jalan raya yang diramaikan oleh lampu-lampu merah dari mobil atau motor.

Namun, bukan itu yang menjadi titik fokusku, bukan matahari yang terbenam, bukan angin yang sesekali melewati wajah, menyisir lembut rambutku, bukan. Kopi hangat yang baru saja aku beli di sebuah toko belum aku minum sejak pertama kali aku meminumnya. Kamu pasti tahu, ini adalah tempat favorit kita berdua, kita sering menghabiskan waktu di sini bersama-sama sembari aku mendengar ocehanmu tentang merk cat arkrilik apa yang akan kamu gunakan untuk melukis pemandangan hari itu atau berdebat denganku tentang berbagai jenis cat yang lebih bagus untuk melukis matahari terbenam.

Ocehan kita selalu berakhir dengan tawa. Keesokan harinya, kita membahas tentang tema untuk cerita pendekku yang belum tentu diterima oleh media massa. Namun, kamu terus mengucapkan.

“Terbit ataupun tidak, aku akan tetap membacanya.”

Seakan-akan ucapanmu akan membuatku tergerak untuk menulis cerita pendek disaat aku pesimis. Sialnya, kamu benar-benar membuatku memiliki gairah untuk menulis lagi. Lalu aku melihat bagaimana kedua matamu mengkilap karena cahaya oranye dari matahari yang sebentar lagi akan tenggelam saat kamu tersenyum dengan lebar dan kita akan beranjak dari bangku ini untuk pulang. Aku juga masih ingat, bagaimana kamu menempelkan segelas kopi hangatmu di tanganku karena kamu melihat bagaimana tanganku meremat erat milikku.

Sebenarnya, aku tak ingin terus merenung dan menyalahkan kamu atas apa yang sudah terjadi. Melupakan ini semua bukanlah hal yang mudah, bukan seperti tawamu ketika mendengar lelucon dariku. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti, apa yang kamu pikirkan ketika kamu memutuskan untuk membawaku ke bukit kota yang indah ini? Apakah untuk memberi tahuku, bahwa aku harus mengingatmu setiap kali aku memikirkan tentang bukit kota ini?

Baru saja, minggu lalu aku menemukanmu berjalan dengan puan lain menuju bukit tinggi ini. Mungkin perasaanku saja, tawamu tampak bahagia sekali, dasi merahmu yang tak pernah aku lihat kamu pakai dengan puan itu. Warna merah itu terlalu dalam, seakan-akan mengusir warna biru yang kamu pakai hampir setiap hari denganku. Salahku, aku tahu bukit kota adalah tempat favoritmu untuk mencari inspirasi lukisanmu. Aku yakin, kamu juga mendebatkan jenis cat apa yang akan kamu pakai saat melukis nanti dan berbicara kepada puan itu, merk cat arkrilik apa yang bagus untuk melukis.

Aku hanya menebak-nebak sembari melangkah untuk pergi secepatnya. Mungkin kamu memilihku untuk mencari tahu bagaimana caranya mencintai puan sebelum kamu benar-benar mencintai puan yang akan kamu jadikan untuk pasangan sehidup semati.

Satu minggu setelah kejadian itu, aku di sini. Masih menggenggam kopi yang sebentar lagi akan dingin, melamun menatapi matahari yang kini sudah tenggelam sepenuhnya, menyuruhku untuk pulang. Namun, aku tidak mau pulang, matahari yang sudah benar-benar tenggelam tidak bisa mengusirku seperti kamu mengusirku pada waktu itu. Aku harap kamu ingat, pernah membawaku ke tempat ini hanya untuk mendengar ocehan tentang hobimu.

Menghabiskan waktu denganmu mengaburkan apa saja yang ada di depanku, sebaiknya seperti in saja. Kisah kita tenggelam tanpa ada yang tahu bagaimana akhir yang kita inginkan. Kita terlalu naif, belum tahu apa arti cinta sebenarnya, mencintai bukan sekadar memiliki.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[PUISI] Tak Ada Ujung

11 Nov 2025, 07:15 WIBFiction
ilustrasi babi dengan aksesori

[PUISI] Kepada Siapa?

11 Nov 2025, 05:04 WIBFiction
ilustrasi seorang perempuan sedang sedih

[PUISI] Sengaja Terluka

10 Nov 2025, 21:48 WIBFiction
Gambar oleh Daniel Joshua dari Pixabay

[PUISI] Jarak Terjauh Kita

10 Nov 2025, 21:07 WIBFiction
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-dengan-topeng-hitam-memegang-kertas-berita-yang-membara-2538122/

[PUISI] Memuja Dusta

10 Nov 2025, 07:07 WIBFiction
ilustrasi bayangan seorang perempuan

[PUISI] Salah Sangka

09 Nov 2025, 21:48 WIBFiction
ilustrasi perempuan sedang merenung

[PUISI] Satu Tahun Lagi

09 Nov 2025, 05:04 WIBFiction
Potret Jakarta malam hari

[PUISI] Kota Seribu Angan

08 Nov 2025, 19:15 WIBFiction
Murung

[PUISI] Ingkar

08 Nov 2025, 18:07 WIBFiction
ilustrasi pasangan berjalan bersama

[PUISI] Berjalan di Luka

08 Nov 2025, 05:04 WIBFiction
ilustrasi seorang lelaki yang melamun di pinggir sungai

[PUISI] Sungai Kenangan

07 Nov 2025, 21:07 WIBFiction