Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sepenggal Kisah Perjalanan Paman

ilustrasi lelaki tua (unsplash.com/@prostotakphoto)

Menggeramkan melihat paman selalu menganggap semua hal baik-baik saja. Ia terlalu sering melihat segala sesuatu seperti cahaya dalam kegelapan. Jika sesuatu tak berjalan sesuai rencana, matanya selalu memancar harapan bahwa apa yang ada di hadapannya adalah barang rusak yang akan selalu bisa didaur ulang. Entah apa yang sudah ia lalui sepanjang hidupnya hingga menjadi sosoknya yang seperti sekarang.

Satu-satunya alasan yang bisa kuterima adalah ia menjadi dua kali lebih tabah saat istrinya pergi hingga tak ada kabar sampai sekarang. Kadangkala aku sama sekali tak mengerti jalan pikiran paman. Aku tak berpikir ia memiliki sifat seperti kebanyakan orang yang pernah kutemui. Mungkin sedikit lancang, tapi aku sering menganggap kakak Ibuku itu aneh.

Paman selalu punya rutinitas harian yang seolah tak akan pernah berhenti ia lakukan sepanjang hidupnya. Aku tak mengerti mengapa ia tetap melakukan hal itu. Aku hafal betul, bahwa di pagi hari paman akan selalu rela mengayuh sepeda tuanya menempuh perjalanan beberapa kilometer dan menghabiskan waktu satu setengah jam perjalanan.

Di ujung jalan, tekadnya membara saat ia akhirnya sampai pada gubuk tua yang sudah lapuk. Di sana, akan selalu ada malaikat kecil yang menyambutnya. Hanya saja, ketulusannya tak serta-merta diterima oleh semua pihak. Konon, memang selalu ada berbagai sisi yang bertolakbelakang dan selalu ada pihak yang berperan sebagai pemberontak. Aku selalu menyarankan paman untuk protes dan melawan, namun ia hanya bisa menawarkan ketulusan.

Tekad paman selalu tak bisa terbantahkan, saat aku menyarankan agar berhenti saja menghabiskan tenaganya untuk mengajar anak-anak di pinggiran kota yang sudah putus sekolah. Sebab, orang tua mereka pun tak pernah begitu ramah menyambut niat baik paman. Alih-alih mendukung, mereka justru selalu meminta paman untuk berhenti bahkan mengancam untuk menggusur gubuk tua tempat anak-anak itu bisa menadahkan beberapa hal yang bisa diwariskan oleh paman. Tak jarang aku melihat lebam di tangannya, saat kutanya alasannya, ia akan selalu menjadikan kemalangan karena terjatuh sebagai alibi yang sebeneranya selalu bisa aku ulik agar paman berkata jujur. Namun, ia selalu meyakinkanku bahwa semua hal berjalan baik-baik saja.

Kala itu, saat hari masih fajar, aku melihatnya menyusun buku-buku yang tampak baru. Dengan kondisi yang masih mengantuk, aku memenuhi rasa penasaran dengan menghampiri paman. Ia hanya tersenyum menatap buku-buku yang sudah mulai tersusun rapi setelah beberapa lama ia bergelut dengan benda-benda itu.

"Paman mau menjual buku?" Tanyaku.

"Tidak, ini untuk anak-anak di sana, mereka sudah selesai belajar materi sebelumnya dan harus lanjut ke pelajaran berikutnya," ujarnya.

Aku bisa mendengar nada yang begitu antusias namun tetap tenang. Paman selalu seperti itu, dan sepertinya akan selamanya seperti itu. "Kenapa paman tidak berhenti saja? Bukannya orang-orang di sana juga tidak mendukung paman?"

Ia hanya tersenyum, "Ini menyenangkan, anak-anak di sana juga senang belajar."

"Tapi, terlalu melelahkan. Paman seharusnya tidak usah sejauh itu kalau orang tua mereka juga tidak menginginkan paman mengajar anak-anak mereka. Mereka mengharapkan anak-anak mereka untuk bekerja saja, tidak perlu sekolah. Kenapa paman harus melakukan hal yang bahkan tidak mereka inginkan?" Tanyaku, rasa kantuk perlahan menghilang saat aku kembali mencoba menyadarkan paman pada hal-hal yang tak perlu ia lakukan.

Ia hanya menatap sendu buku-buku yang telah ia susun dengan rapi. Mengusap sampulnya sambil menarik nafas. "Tidak apa-apa, paman hanya tak pernah menjadikan hal itu sebagai alasan untuk berhenti."

Aku ingin menentang, namun paman lebih dulu melanjutkan ucapannya. "Kamu mau ke sekolah bukan? Sudah sana kamu siap-siap, jangan sampai terlambat."

"Mulai hari ini aku sudah masuk libur semester dulu, dua minggu ke depan baru masuk lagi," ujarku sambil membayangkan beberapa hal yang mungkin akan tampak membosankan selama tak harus menghabiskan waktu di sekolah.

"Kalau begitu ayo ikut paman berkunjung ke anak-anak di sana. Mereka pasti senang kalau kamu datang," paman tampak bersemangat.

Aku berpikir sejenak, aku rasa tak ada hal yang begitu menyenangkan di sana. Aku sudah bisa membayangkan bahwa kegiatan yang akan dilakukan tidak lebih dari kegiatan belajar-mengajar pada umumnya. Tapi, menghabiskan waktu tanpa kegiatan seperti di sekolah tampaknya lebih membosankan. Aku memutuskan menerima tawaran paman. "Boleh kalau begitu."

Saat semua telah siap. Aku segera menyusul paman dengan duduk di bagian boncengan sepedanya. Itu adalah kali kedua aku ikut paman ke tempat ia mengajar. Aku tidak tahu pasti apakah paman memperoleh sepeserpun gaji dari kegiatan rutinnya itu. Aku belum pernah berhasil mengajukan pertanyaan. Sebab raut wajah yang selalu tampak menyenangkan itu terlalu tidak cocok untuk hal-hal yang dilakukan hanya karena alasan sukarela.

Aku menikmati perjalan sepanjang kayuhan sepeda paman. Udara pagi memang tak pernah mengecewakan. Rasanya seperti selalu membawa kedamaian. Aku seperti dipeluk rasa aman. Aku selalu mencari-cari alasan mengapa paman bertahan melakukan kegiatan ini, mungkin perjalanan yang meski harus dikayuh dengan sepeda tua adalah hal yang cukup menyenangkan. Hingga garis akhir pun, sorak sorai sudah menyambut kami dengan banyak harapan.

Namun nyatanya, garis akhir tampaknya tak selalu memberikan hal yang membahagiakan. Mungkin karena tak pernah menjadi saksi perjuangan, ia rela menyediakan apa saja, bahkan hal terburuk sekalipun. Anak-anak itu bukannya menyambut untuk belajar, setelah melihat dari dekat, mereka justru berlagak mengadukan sesuatu yang baru saja terjadi. Benar saja, ternyata hari itu tiba. Hari di mana akhirnya ancaman orang-orang itu benar-benar terjadi. Gubuk tua itu lenyap.

Aku mengajak paman untuk melaporkan kejadian ini. Namun, tampaknya kami tak bisa berbuat banyak, sebab sebagian besar pihak memang tak menyetujui keberadaan gubuk itu. Mereka telah menerima tawaran orang-orang yang menawarkan hasil instan yang menggiurkan tanpa harus menghabiskan banyak waktu dan usaha berlebih. Lagi pula, paman memang tak pernah memiliki gubuk tua itu.

Aku melihat paman mulai berjalan setelah sebelumnya kami turun dari sepeda. Ia mulai menyandarkan sepeda tuanya, lalu berjalan ke arah gubuk itu. Tak banyak yang bisa diselamatkan. Aku bertanya-tanya apakah paman sedang menyimpan amarah dalam hatinya. Aku bertanya-tanya apakah rasa amarah paman yang selama ini tak terluap akan segera meledak hari ini. Aku bertanya-tanya apakah dia bahkan merasa kesal? Sebab rautnya sering kali tak menunjukkan ekspresi. Namun, sudah kulewati beberapa menit dan sama sekali tak ada reaksi yang kuharapkan, mungkin paman sudah menghapus amarah dalam kamus kehidupannya.

satu jam setengah perjalanan kami berangkat ke tempat itu, sementara perjalanan pulang berlangsung tiga puluh menit lebih lama. Paman hanya mengayuh sepedanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Mungkin, ia begitu diselimuti rasa kecewa. Tepat sebelum sampai di rumah, hujan mengguyur hingga malam hari. Rintik itu berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya aku bisa mencium bau khas yang begitu menenangkan selepasnya. Lalu setelah itu, aku bisa selalu tahu bahwa paman sudah bersiap untuk keluar rumah. Menjelajah beberapa hal di luar sana. Menjelma pahlawan yang tiba-tiba muncul setelah hujan reda. Sambil membawa sebuah beberapa bungkusan berisi makanan yang sudah dingin saat pulang.

Di teras rumah, aku bisa melihat punggung paman kian menjauh hingga benar-benar tak lagi terlihat olehku. Seperti lenyap dalam kegelapan, ia seolah menembus awan mendung yang melatari ujung jalan. Begitulah paman pergi sejak dua bulan lalu tanpa pernah kembali lagi. Bahkan kini, sosoknya yang selalu kupertanyakan masih membuatku bertanya-tanya akan sosok seperti apa paman sebenarnya. Aku melangkah berniat seolah-olah menjadi diri paman. Aku ingin tahu, memangnya seindah apa di luar sana setelah hujan hingga paman rela membiarkan tubuhnya menerima rasa dingin yang menusuk?

Aku cukup menyesali beberapa hal, sebab tak ada hal yang begitu menakjubkan hingga harus membuat seseorang rela keluar setelah hujan reda di malam hari.

"Sini nak," seseorang memanggilku.

Aku menoleh dan mendapati kakek tua yang sedang berjualan. Sambil tersenyum ia melambaikan tangannya, menunjukkan gestur agar aku bisa segera memenuhi panggilannya.

"Kamu ngapain bengong di sana?" Tidak kedinginan? Ia bertanya sambil sibuk memotong martabak.

"Tidak apa-apa Kek."

"Ini kamu makan dulu, sepertinya masih akan hujan."

"Tidak apa-apa Kek, aku hanya sebentar. Aku mau pulang ke rumah setelah ini."

"Tidak apa-apa, hari ini hujan lebat, pembeli mungkin juga tak sebanyak hari biasanya. Sayang kalau mubazir."

Aku menganggukkan kepala. Memahami bahwa jalanan memang tak seramai biasanya. Pedagang-pedagang jalanan barangkali akan lebih banyak kedinginan dan memandangi jualan yang mungkin akan kembali di bawa pulang.

Aku menikmati hidangannya dan sang kakek pedagang martabak memulai percakapan. "Dulu ada orang yang selalu menghampiri dan membeli dagangan kakek. Dia selalu datang, saat hujan reda di malam hari. Waktu itu, saya hampir pulang tanpa berhasil menjual seporsi pun. Bisa dikata mengalami kerugian. Sementara cucu di rumah harus segera membeli keperluan sekolah. Tapi, seseorang datang membeli dagangan kakek."

"Siapa dia Kek?"

"Dia laki-laki paruh baya. Tidak banyak bicara, tapi saya selalu tahu dia orang baik yang berhati hangat."

Aku mulai penasaran. "Mungkin kali ini dia datang lagi ya, Kek?"

"Mungkin, saya memang selalu menantikan kedatangannya. Saya ingin menyajikan seporsi martabak hangat sebagai ucapan terima kasih. Dia terlalu sering membeli dagangan martabak kakek yang sudah dingin karena belum laku, tapi dua bulan terakhir ini, dia sudah tidak terlihat lagi."

Aku menunduk sembari mendengar cerita panjang kakek yang menggiringku pada sosok yang begitu akrab. Sosok yang selalu kupertanyakan keanehannya. Seseorang yang hanya bisa kukisahkan sepenggal perjalanannya dan kini telah pergi menghadap Tuhannya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nisyaa _
EditorNisyaa _
Follow Us