Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Usman dan Pak Mulyono

ilustrasi (Pau Colominas, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)
ilustrasi (Pau Colominas, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)

Seorang guru muda, laki-laki, berbadan langsing, agak tinggi, masuk ke kelas Usman, yaitu kelas 1-7, di SMA Negeri 1, Kampuang.

“Nama saya Mulyono, kalian bisa memanggil saya Pak Mul, atau Pak Yono. Saya mengajar mata pelajaran fisika, saya harapkan kalian bisa mengikutinya dengan baik”, begitu kata-kata guru muda itu memperkenalkan diri. Usman dan kawan-kawan lebih memilih memanggilnya dengan panggilan “Pak Mul”.

Beliau berasal dari Solo, baru saja lulus dan menjadi guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan ditempatkan di SMAN 1, Kampuang. Pak Mul juga adalah wali kelas 1-7, kelas yang berisikan murid-murid dengan NEM (Nlai Ebtanas Murni) tertinggi kedua. Di sebelah mereka ada kelas 1-8, kelas dengan murid-murid dengan NEM tertinggi di Kampuang. Pada masa Orde Baru, di jenjang SD sampai SMA, pemerintah menerapkan ujian akhir nasional, yang dinamai EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). NEM inilah yang biasanya cukup menentukan seorang siswa bisa diterima di sekolah mana saja.

Kesan pertama Usman terhadap Pak Mulyono, adalah, orangnya sopan, bersahaja, logat jawa yang kental dan medok, tutur katanya juga santun dan ramah. Ia sebenarnya adalah guru favorit Usman, karena cara mengajar beliau yang di luar kelaziman. Para guru konvensional, biasanya akan melemparkan benda apapun yang ada di dekat mereka, jika melihat seorang murid mengobrol, ketika dia sedang menjelaskan. Selain itu para guru didikan Orde Baru tersebut, lebih suka meminta satu orang murid kepercayaannya, untuk menyalin catatannya ke papan tulis, sementara ia biasanya akan duduk bersantai di kursinya.

Pak Mulyono, lebih senang menjelaskan dengan alat peraga yang menarik perhatian para murid, sehingga ketika ia menjelaskan, biasanya tidak ada murid yang mengobrol dan tidak memperhatikan. Selain itu, ia tidak pernah melemparkan benda apapun, kepada para murid. Tak heran, jika pada semester pertama, kelas 1 SMA, nilai Fisika Usman selalu sangat baik, bahkan terkadang sempurna, di antara 90 sampai 100.

Hal ini berubah drastis, ketika semester 2, saat itu, Usman ingat sekali, Pak Mulyono, mulai dekat dengan Bram, menantu kepala sekolah, yang mengajar sebagai guru mata pelajaran tata negara. Beberapa kali, mereka terlihat sedang minum kopi berdua, di kantin sekolah, atau di warung kopi depan sekolah.

Perubahan yang paling kelihatan adalah, Pak Mulyono seringkali meminta Usman memasukkan baju seragam ke dalam celana, supaya rapi. Padahal, hal ini tidak pernah dilakukan beliau pada semester sebelumnya.

Usman terkadang jengkel juga, karena memang, celana abu-abu yang dipakainya longgar, dan ia tidak punya sabuk atau ikat pinggang, untuk mengencangkan pinggang celananya. Beberapa kali ia menyampaikan protes ke Pak Mulyono, “Maaf Pak, tidak ada hubungannya berpakaian rapi dengan tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir seseorang”.
“Ini etiket Man, di sekolah kamu harus berpakaian rapi!”, jawab Pak Mulyono agak sedikit keras.

Usman sangat kehilangan sosok Pak Mulyono yang dulu, yang tidak mengurusi hal-hal sepele, seperti kerapian berpakaian, sikap duduk, dan lain-lain. Ia juga kehilangan semangat untuk mengikuti pelajaran fisika, sehingga nilainya turun drastis, dari 90 - 100 ke 50 - 60.

Beberapa kali Pak Mulyono memanggil Usman ke ruangannya, untuk menanyakan penyebab menurunnya nilai-nilai tersebut. Usman hanya bisa diam membisu awalnya, sembari menatap Pak Mulyono. Akan tetapi, setelah didesak oleh Pak Mulyono, Usman kemudianmenjawab, “Saya tidak tahu Pak, mengapa bisa begini?”, hal yang membuat suasana menjadi canggung, untungnya tak berapa lama, bel sekolah berbunyi dan Usman meminta izin meninggalkan ruangan gurunya itu.

Untungnya di akhir semester 2, nilai-nilai Usman mulai naik sedikit, sehingga ia bisa naik ke kelas 2. Beberapa mata pelajaran penyelamat rata-rata nilainya adalah matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia juga sering maju ke depan kelas, untuk menjawab soal-soal yang diberikan oleh guru-guru tiga mata pelajaran tersebut.

Di kelas 2, Pak Mulyono, yang ternyata tetap menjadi Wali Kelas Usman, semakin galak. Beberapa kali Usman disuruh keluar kelas, karena tidak memasukkan baju seragam ke dalam celana.

Hal ini membuat Usman frustrasi dan enggan untuk masuk sekolah lagi. Ia lebih sering duduk-duduk di Pasar Kampuang, di kios-kios yang dijaga oleh beberapa kenalannya.

Terkadang, ia berangkat ke sekolah, tetapi hanya sampai di warung kopi depan sekolah. Di sana, biasanya ia menghabiskan hari dari pagi sampai siang, duduk sambil minum kopi, mengobrol bersama beberapa temannya yang berasal dari luar sekolah.

Hubungan percintaannya, dengan kekasihnya juga berantakan, karena sering tidak masuk sekolah. Sang kekasih lebih memilih pacar yang rajin masuk sekolah, daripada Usman yang terkadang dalam seminggu, tidak muncul sama sekali di sekolah.

Puncaknya adalah ketika Usman menghilang selama 3 bulan. Ia pergi bersama dua orang temannya, menumpang bis ekonomi ke Jakarta lewat Pekanbaru.

Dalam pelariannya itu, terkadang Usman teringat wajah-wajah teman-temannya di sekolah dan Pak Mulyono. Dalam hati, terkadang ia bertanya, “Sedang apa mereka sekarang di sekolah ya?”. Usman ingat biasanya, Agatha, kekasihnya selalu datang paling awal. Mereka dulunya sering berdiskusi tentang pelajaran sekolah, sembari menunggu guru masuk kelas. Usman merindukan masa-masa itu, saat Pak Mulyono belum begitu galak.
Usman sadar bahwa hal itu sudah tidak mungkin bisa ditemuinya lagi. Ia juga sudah tidak mau kembali menjadi siswa SMA Negeri 1 Kampuang. Karena itulah, ia minta pada kedua orang tuanya, supaya diperbolehkan pindah ke Aceh, memulai lembaran baru di sana. Pilihan yang ternyata disesalinya 6 bulan kemudian.

Usman akhirnya lulus di sebuah SMA yang terletak di wilayah Kabupaten. Di sana, ia bisa lebih tenang, karena ia selalu tersenyum dan senang mendengar dialek para siswa dan guru di sana, yang baginya cukup lucu. Dialek orang-orang di Kabupaten memang sedikit berbeda dan agak lucu, mereka biasanya sering terbalik menempatkan huruf “m” dan “n”, seperti kata “malam”, diucapkan menjadi kata “malan”, sementara kata “makan”, diucapkan jadi “makam”.

Setelah menganggur selama 1 tahun, dan berkuliah di salah satu universitas di Lampung, Usman kemudian pindah ke Yogyakarta, dan berkuliah di jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada. Ketika di bangku kuliah, Usman biasanya teringat Pak Mulyono, ketika mengikuti mata kuliah Kosmologi dan Ilmu Alamiah Dasar.

“Di mana ya beliau sekarang?” Tanya Usman dalam hati, sambil mencoba mencerna apa yang sedang diterangkan oleh dosen di depan kelas.

Suatu kali, setelah lulus kuliah, dan sedang libur akhir tahun, Usman berkeliling kota, dengan istrinya Annie. Mereka menaiki, mobil milik orang tua Usman.

Di tengah jalan, Usman melihat Bu Ratna dan Pak Bram tengah berolahraga pagi. Ia menghentikan mobil dan menyalami kedua mantan gurunya tersebut.

“Hei Usman, bagaimana kabarmu? Di mana kamu kerja sekarang?”, tanya Bu Ratna sedikit terengah-engah, sehabis berolahraga jalan pagi.

Bu Ratna ini adalah anak kepala sekolah SMA Negeri 1 Kampuang. Ia lah yang dulu membuat Umar, salah seorang teman Usman dikeluarkan dari sekolah, karena menulis sebuah cerita pendek yang berisi hinaan terhadap bentuk fisik Bu Ratna, yang lebih besar dari orang kebanyakan. Dulu, Bu Ratna termasuk guru yang suka ketus dengan Usman, entah kenapa, mungkin karena beliau masih menganggap bahwa Usman ikut andil dalam menulis cerita hinaan itu, walaupun hal tersebut sudah dibantah berkali-kali oleh Usman.

“Kabar baik Bu, saya sekarang jadi guru di Jakarta Bu”, jawab Usman sopan.
“Luar biasa, selamat ya Usman, mudah-mudahan kau tidak dapat murid yang nakal seperti dirimu dulu”, ucap Bu Ratna sambil tertawa ramah.
“Pak Mulyono di mana sekarang ya Bu?” Tanya Usman kepada Bu Ratna.
“Ibu kurang paham Man, tentang di mana pastinya beliau sekarang, sepertinya pulang ke Jawa, tapi Ibu juga tidak tahu pasti di daerah mana beliau tinggalnya”. Menurut cerita Bu Ratna, setelah Usman keluar dari SMA Negeri 1 Kampuang, Pak Mulyono, juga dipindah tugaskan ke daerah lain, akan tetapi, masih di sekitar Sumatera Barat. Baru setelah tahun 2000, tepatnya sekitar tahun 2003, beliau mengajukan mutasi ke Pulau Jawa.

Pada tahun 2015, saat pergi ke Solo dari Jogja, dengan mengendarai motor, setelah sahur, untuk mengikuti tes menjadi dosen, di salah satu universitas di Solo, di tengah jalan, di depan kuburan pinggir jalan,di sekitaran wilayah Klaten, Usman tertidur dan terjatuh dari motor. Motornya ringsek menabrak pembatas jalan. Usman sendiri, tergeletak tak sadarkan diri di trotoar di pinggir jalan.

Untungnya, para warga di sana menolong Usman, menggotongnya ke bak mobil pick-up, yang kemudian mengantarkannya ke sebuah rumah sakit terdekat. Seorang warga di sana, lelaki agak tua, berpeci haji, dengan jenggot panjang, terlihat menunggui Usman di ruang unit gawat darurat (UGD).

Setelah siuman, Usman kaget melihat lelaki tua yang duduk di kursi, samping tempat tidur di ruangan UGD. “Maaf, Bapak siapa ya? Sudah jam berapa ya Pak sekarang? Saya harus ikut tes seleksi dosen di Solo”. Tanya Usman pada lelaki itu.

“Sudah jam 10 Mas, sampeyan jadwal tesnya jam berapa?”, jawabnya tenang, sambil balik bertanya.
“Waduh Pak, saya jadwal tesnya jam 11, tapi masih mungkin tidak ya, saya sampai di sana jam segitu?”.
“Ya sudah Mas, sampeyan saya antar saja naik mobil saya ke kampus tempat tes sampeyan. Oh iya, sampeyan namanya siapa? Perkenalkan saya Mulyono”. Ucap lelaki itu, sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan dengan Usman.
“Pak Mulyono?”, Usman kaget bukan kepalang, diperhatikannya dengan seksama lelaki tersebut. Ternyata lelaki itulah Pak Mulyono gurunya dulu di SMA Negeri 1 Kampuang. Sekarang bedanya wajah beliau sudah menua, dengan jenggot yang sudah memutih.
“Ini saya Pak, Usman, murid Bapak yang nakal dulu”, ucap Usman sembari mencium tangan gurunya itu.
“Waduh Man, kok bisa sampai ke sini kamu”, balas Pak Mulyono terharu. Dipeluknya Usman, sambil berkata, “Maafkan Bapak dulu sering galak sama kamu ya”.
“Saya yang minta maaf Pak, dulu sering tidak menuruti nasihat Bapak”.

Pak Mulyono kemudian mengantarkan Usman dengan mobil pick-up kepunyaannya, menuju ke universitas tempat Usman mengikuti seleksi dosen. Dalam perjalanan beliau bercerita bahwa ia sudah tidak menjadi guru penuh waktu lagi. Sehari-harinya, ia dan istrinya, yang orang Minang, mengelola bisnis rumah makan Padang di Klaten. Ia juga menjalankan usaha jasa angkut barang pindahan, dengan mobil pick-up miliknya.

Beliau juga menyatakan penyesalannya pada Usman, karena tidak berhasil membuat Usman bertahan di SMA Negeri 1 Kampuang. Akan tetapi, Pak Mulyono juga paham bahwa saat itu Usman masih menggelegak darah mudahnya, sehingga sulit untuk diarahkan. Beliau juga bersyukur, karena Usman sudah berhasil lulus kuliah, dan mengikuti jejaknya sebagai seorang pendidik.

Usman berterima kasih pada gurunya itu, karena telah berhasil membuat Usman mencintai pelajaran fisika. Usman juga bercerita bahwa ia masih mendalami fisika dan kosmologi secara otodidak.

Mereka tiba di kampus tempat tes Usman, beberapa menit sebelum tes dimulai. Usman sekali lagi mencium tangan Pak Mulyono dan memohon doa restu beliau, supaya ia bisa menjalani tes seleksi dosen dengan baik. Pak Mulyono lalu pulang ke Klaten, beberapa saat setelah itu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Harsa Permata
EditorHarsa Permata
Follow Us