Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Si Cantik dan Jeritan di Malam Buta

ilustrasi (unsplash.com/@heytowner)

Malam itu aku tertidur di sofa,terbangun. Tubuhku menggigil kedinginan, dan leherku terasa nyeri seakan dipilin dengan kuat. Aku melirik jam di ponsel yang tergeletak di meja,ternyata pukul tiga dini hari. Rasanya tak akan benar jika aku melanjutkan tidur di tempat ini. Maka, dengan langkah berat, aku bangkit dan memutuskan untuk pindah ke kamar agar tidurku lebih nyaman dan manusiawi.

Namun, baru beberapa langkah aku meninggalkan sofa, suara mengerikan mendadak memecah keheningan malam.

"AAAAAAAHHHHH!"

Jeritan itu menggema panjang, melengking tajam hingga menusuk telinga. Seketika, aku terdiam membeku. Suara itu terdengar begitu ganjil—seperti jerit seorang perempuan yang tengah putus asa, tetapi juga menyerupai tangisan seorang anak yang kehilangan sesuatu. Dadaku berdegup kencang seakan ingin keluar dari rongga dada.

Rasa takut menyelimutiku, tetapi rasa penasaran perlahan mencuri perhatian. Dengan langkah perlahan, aku mendekati jendela ruang tamu. Kugeser sedikit tirai, lalu mengintip ke luar.Gelap,hanya terang oleh cahaya bulan.Terlihat daun pisang bergoyang melambai.Aku berusaha berpikir positif,mungkin saja hanya hembusan angin malam.Namun aneh,suasananya seperti ada yang mengintai.

Jeritan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras, lebih panjang, dan terasa lebih dekat. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju kamar. Dengan tangan gemetar, kuambil headset dari meja, memasangnya di telinga, lalu memutar musik sekeras mungkin. Selimut kugulungkan erat-erat ke tubuhku, membungkus diri layaknya kepompong.Entah bagaimana, meski rasa takut masih bergelayut, aku akhirnya tertidur.

Keesokan paginya, seperti biasa, aku mampir ke warung kecil di dekat rumah untuk membeli permen sebelum berangkat sekolah. Aku tak ingin mulutku beraroma lambung. Di sana, beberapa ibu-ibu sedang bercengkerama, suaranya terdengar begitu bersemangat.

"Semalam, kalian dengar jeritan itu, kan?" tanya salah seorang ibu dengan raut wajah serius.

Aku berhenti sejenak, mendengarkan obrolan mereka. Rupanya, jeritan yang kudengar tadi malam juga menyita perhatian warga lainnya.

"Itu pasti si Cantik lewat," ujar seorang ibu sambil mengangguk yakin.

Si Cantik adalah sebutan yang diberikan kepada sosok kuntilanak yang konon sering menampakkan diri di kampung kami. Beberapa bulan lalu, ia dikabarkan terlihat di sebuah rumah kosong di pinggir kebun. Meskipun aku belum pernah melihatnya sendiri, cerita itu selalu membuat bulu kudukku meremang.

"Ada orang yang melihat sosok berbaju putih melayang di jendela rumahnya Bu!," tambah ibu lain, nadanya penuh keyakinan.

Aku terdiam, mendengarkan dengan cermat. Pikiranku kembali ke kejadian semalam. Jeritan itu... mungkinkah memang berasal dari si Cantik?.

Sepulang sekolah, aku mendapati sepupuku sedang duduk di ruang tamu bersama ibu dan kakakku. Mereka berbincang tentang kejadian semalam.

"Kamu juga mendengarnya, kan?" tanyaku, penasaran.

Sepupuku menoleh sambil tersenyum tipis. "Iya, aku dengar. Tapi tahu nggak? Itu bukan kuntilanak."

Dahi aku berkerut. "Apa maksudmu?"

Dengan santai, sepupuku tertawa kecil. "Itu suara musang pandan. Lagi musim kawin, jadi mereka suka berteriak seperti itu."

Aku terdiam, bingung sekaligus tak percaya. "Musang pandan?" tanyaku dengan suara nyaris tak terdengar.

"Iya," jawabnya sambil mengangguk. "Aku baru tahu setelah nonton di YouTube. Suara mereka memang mirip jeritan manusia."

Ibu dan kakakku tertawa mendengar penjelasan itu. Aku, di sisi lain, hanya bisa termenung. Rasanya lucu sekaligus memalukan. Jeritan yang semalam hampir membuatku bolak-balik istighfar ternyata hanya suara musang pandan yang sedang mencari pasangan.

Namun, meskipun kini aku tahu kebenarannya, aku memutuskan untuk tidak mengungkapkannya kepada siapa pun di kampung. Biarlah kisah si Cantik tetap menjadi bagian dari cerita horor yang mewarnai desa ini. Lagipula, menurutku, musang pandan yang sedang menggombal jauh lebih menyeramkan daripada sekadar hantu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Simaba
EditorSimaba
Follow Us