Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Teka-teki Paling Menyenangkan

ilustrasi teka-teki (pexels.com/KoolShooters)

Shiori Izumi menengadah, menatap langit yang tiba-tiba berubah warna menjadi kelabu. Tak lama, hujan turun membasuh kota Tokyo tanpa permisi, seolah memang tak berniat untuk memberi peringatan sebelumnya. Tepat sebelum butir air hujan bersentuhan dengan rambut panjang Shiori, sebuah tangan menggenggam lengan kanan Shiori.

“Kenapa kau diam saja? Ayo, berteduh!” seru Rei Fujihara.

Semburat merah menghiasi wajah cantik Shiori, lantas ia sedikit berlari mengikuti langkah Rei menuju sebuah kedai kopi kecil yang terletak tidak jauh dari tempat mereka semula.

Shiori berdeham canggung, “Padahal ramalan cuaca hari ini cerah.”

Rei menyeringai jahil, lantas berkedip penuh makna, “Itu berarti hari ini Tuhan berpihak padaku.”

Satu alis Shiori terangkat, “Maksudmu?”

Rei sedikit membungkukkan badan, berbisik tepat di telinga Shiori, “Ada teka-teki yang ingin kumainkan denganmu.”

Belum sempat Shiori merespons perkataan pemuda itu, Rei telah lebih dulu menggenggam tangan Shiori dan membawanya memasuki kedai kopi tersebut. Pintu kayu berderit nyaring dan sebuah lonceng usang berbunyi ketika mereka memasuki kedai. Aroma lembut kopi dan kayu tua langsung saja menyapa indra penciuman mereka. Pencahayaan hangat dari lampu gantung klasik yang temaram menambah estetika kedai tua tersebut. Dindingnya terbuat dari kayu gelap yang mulai memudar, seakan menciptakan kesan misterius yang mendebarkan. Buku-buku tua dan majalah Jepang zaman Showa terpajang rapi di rak, dilengkapi dengan pemutar vinil yang memutar musik jazz Jepang tahun '60-an.

Rei mengajak Shiori untuk duduk di sebuah meja kecil kapasitas dua orang, tepat di samping sebuah jendela berbingkai kayu yang menghadap langsung ke jalanan. Mereka memutuskan untuk memesan hot coffee dan matcha latte. Tidak lama, pesanan mereka tiba.

Shiori menatap Rei, “Jadi, teka-teki apa yang ingin kaumainkan denganku?”

Rei menyeringai tipis, “Teka-teki paling menyenangkan.” Ia mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat tua dengan gaya vintage yang unik.

“Oh, ya?” seloroh Shiori, namun kelihatan sedikit tertarik, kemudian mulai menyeruput matcha latte miliknya.

Rei mengangguk-angguk bersemangat, mata cokelatnya berkilat cerah, lantas menatap Shiori, “Tentu saja!” Sebuah senyuman tipis terukir di wajah Rei. Ia menatap Shiori, melanjutkan ucapannya, “Orang-orang biasa menyebutnya cinta.”

Shiori tersedak mendengar pernyataan konyol pemuda di hadapannya, ia berseru, “Yang benar saja?”

Rei tertawa geli, “Wah, santai saja, dong, Nona Detektif. Teka-tekinya belum dimulai, nih.”

“Jangan konyol, Rei,” rutuk Shiori.

“Kau tidak akan bilang begitu saat kita memainkannya,” balas Rei tanpa ragu. Ia lalu membuka halaman pertama buku bergaya vintage tersebut.

Rei mulai membacakan sebuah kalimat, “Oke, petunjuk pertama: ‘Aku kerap memergoki orang yang kusukai tengah memperhatikanku, sekalipun jarak kita berdua berjauhan’. Menurutmu apa artinya?”

Shiori memutar bola mata dengan malas, “Oh, Rei, yang benar saja?”

“Jawab saja, Shiori.”

Shiori dengan pasrah meladeni permainan Rei, “Baiklah. Tentu saja karena orang yang kausukai punya mata, dan kebetulan ia sedang melihat ke arahmu.”

“Bagaimana kalau tatapanku dengan orang yang kusukai rasanya lebih intens?” tanya Rei.

“Mungkin hanya kau yang merasa begitu?” sembur Shiori realistis.

Rei terkekeh hambar, lalu beralih pada halaman selanjutnya, “Oke, lanjut ke petunjuk kedua: ‘Orang yang kusukai cenderung lebih cerah dan banyak tertawa ketika bersamaku’. Menurutmu apa artinya?”

Lagi-lagi Shiori bersikap realistis, “Kau yakin ia tidak seperti itu ke semua orang? Atau barangkali ia hanya bermaksud bersikap ramah padamu?”

Rei menyeruput hot coffee miliknya, lantas menyeringai tipis, “Menarik. Kau pasti tipe orang yang tidak mau mengakui perasaanmu sendiri, ya?”

Shiori mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang dibasahi air hujan, “Aku hanya berusaha realistis. Terkadang, harapan yang berlebihan justru menyakiti pemiliknya jika tidak terjadi.”

Rei menatap Shiori dengan pandangan yang tidak seorang pun mengerti maksudnya, lantas ia beralih membaca halaman selanjutnya, “Petunjuk ketiga: ‘Aku kerap merasa bahwa orang yang kusukai memberi banyak sinyal, seolah mengatakan bahwa ia juga menyukaiku’. Bagaimana menurutmu?”

“Menurutku sebaiknya kau jangan menduga-duga. Kalau kau ingin tahu jawabannya, lebih baik langsung tanyakan saja kepada orang yang kausukai,” balas Shiori dingin.

Rei mendengus kecil, “Shiori, kau tahu? Sherlock Holmes pernah berkata bahwa teka-teki itu menjadi tidak menyenangkan kalau kau langsung diberi tahu jawabannya tanpa berhasil memecahkannya terlebih dahulu.”

Shiori kali ini menatap Rei, ia berkata penuh makna, “Tapi, kalau teka-teki itu tentang cinta, maka kau akan terjebak selamanya hingga kau diberi jawabannya, Rei. Tidak ada yang bisa dipecahkan. Kau tidak akan pernah yakin menebak. Kau tidak akan pernah menyelesaikannya.”

Rei tertawa, “Ya—sayangnya ucapanmu ada benarnya. Makanya sejak tadi tidak ada jawaban yang pasti dari petunjuk yang diberikan dalam teka-teki yang kita mainkan, bukan? Karena cinta memang begitu. Seluruhnya adalah teka-teki, namun tidak ada jawaban yang pasti atas semua pertanyaan dan petunjuk yang ada. Seluruhnya berwarna abu-abu, tidak ada hitam dan putih. Kau hanya bisa menebak dengan kemungkinan satu banding seratus. Benar-benar teka-teki tersulit, tapi juga … menyenangkan.”

Shiori tersenyum tipis, “Seperti roller coaster, kadang cinta membawa penumpangnya naik ke tempat yang tinggi, lantas langsung menjatuhkannya dari ketinggian itu, tapi anehnya … sangat mendebarkan. Jujur saja, terkadang aku putus asa ketika aku mempunyai banyak petunjuk, namun aku tetap tidak mengetahui jawabannya. Seketika aku tidak bisa menganalisis satu hal pun, padahal dalam hal lain aku sangat pandai melakukannya.”

Rei terkesiap mendengar perkataan Shiori, lantas tersenyum hingga gigi taringnya sedikit terlihat, “Kukira kau akan menyangkal perkataanku.”

Telinga Shiori memerah, lantas mengangkat bahu—berusaha menyembunyikan rasa malunya, “Ya—aku tidak bisa menyangkal perkataan yang benar, bukan?”

Rei tertawa, lantas mengangguk-angguk lucu, “Kau benar. Kalau begitu, mestinya kau juga tidak menyangkal perasaanmu sendiri kalau kau yakin perasaanmu itu benar.”

Shiori mengedip-ngedipkan mata, mencoba mencerna perkataan Rei. Beberapa detik kemudian, pipinya memerah, ia mengalihkan pandangannya, “Aku tidak pernah menyangkal perasaanku sendiri. Aku hanya tidak ingin berharap terlalu jauh.”

Pupil mata Rei membesar, “Oh,” katanya. “Kalau begitu, kau pasti bisa menyelesaikan teka-teki yang tadi kita mainkan.”

“Aku tidak bisa.”

“Benarkah? Padahal aku sudah berhasil menemukan jawabanku sendiri dari teka-teki tadi. Hanya saja, aku masih ragu dengan jawabanku,” ujar Rei penuh makna.

Kali ini Shiori memandang Rei, “Kalau begitu, aku juga.”

Rei terperangah selama beberapa detik. Semburat merah menghiasi wajahnya yang tampan. Ia tersenyum lembut, “Kalau begitu, kita bisa mengucapkan jawabannya bersamaan. Kau siap?”

Shiori tersenyum malu-malu, “Tentu.”

Mereka berdua kompak mengucapkan jawaban dari teka-teki paling menyenangkan yang pernah mereka mainkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us