[CERPEN] Penjahit yang Tak Pernah Menjahit

Tentu. Kali ini, mari kita berjalan sedikit lebih jauh, ke sebuah tempat yang diam-diam sering kita lewati—tapi jarang kita perhatikan. Tempat yang tampak biasa, namun menyimpan keanehan yang tak pernah benar-benar dijelaskan.
Di ujung jalan yang selalu berkabut pada pukul empat sore, berdirilah sebuah toko kecil dengan papan nama tua yang huruf-hurufnya hampir tanggal semua. Hanya satu kata yang tersisa utuh, “Tunggu.”
Orang-orang menyebutnya toko penjahit. Tapi tak seorang pun pernah melihat pakaian dijahit di sana. Tak ada suara mesin. Tak ada gunting. Tak ada benang. Namun entah bagaimana, orang tetap datang membawa pakaian mereka.
Yang datang biasanya tidak pernah berbicara banyak. Hanya menyerahkan baju, jas, gaun, atau kadang sehelai selimut. Wajah mereka tampak lelah, seperti baru saja kehilangan sesuatu—atau sedang berusaha tidak kehilangan lebih banyak lagi.
Pemilik toko itu seorang pria tua dengan mata cekung dan tangan yang terlalu bersih. Ia tidak pernah mencatat. Ia hanya memandangi pakaian itu lama, seakan mencoba mengenang rasa dari kain yang tidak pernah ia pakai.
Lalu ia akan berkata pelan,
“Tinggalkan saja. Akan kukembalikan saat waktunya tepat.”
Dan orang-orang pergi. Mereka tidak menanyakan kapan. Tidak bertanya berapa.
Namun saat mereka kembali; seminggu, sebulan, kadang bertahun kemudian, pakaian itu masih tergantung di tempat yang sama. Tidak ada perubahan. Tidak dijahit. Tidak dicuci. Tidak dibungkus.
Tapi anehnya ...
Ketika mereka memakainya kembali, rasanya tidak lagi sama.
Seorang pria mengenakan kembali jas hitamnya. Ia langsung duduk diam, lalu menangis tanpa tahu kenapa.
Seorang perempuan mengambil kembali gaun merahnya. Ia berdiri di depan cermin, dan untuk pertama kalinya, ia melihat dirinya seperti sebelum semua kata-kata disimpan terlalu dalam.
Seorang anak lelaki menerima kembali selimut kecilnya. Ia tersenyum, lalu berkata pada ibunya,
“Aku ingat baunya sekarang. Rumah.”
Tak seorang pun tahu apa sebenarnya yang diperbaiki oleh penjahit itu. Tidak ada jarum. Tidak ada kain tambahan. Tapi pakaian-pakaian itu kembali dengan sesuatu yang tak terlihat, namun terasa.
Dan ketika seseorang bertanya diam-diam, “Apa yang sebenarnya kau jahit?”
Ia hanya menjawab pelan,
“Lubang yang tidak terlihat oleh mata. Tapi membuat hati terasa dingin setiap malam.”
Konon, jika kau datang ke toko itu sambil membawa pakaian yang kau pakai saat kehilangan sesuatu; orang, harapan, atau dirimu sendiri, kau akan pulang dengan versi yang mungkin tak sama, tapi cukup untuk melanjutkan langkah.
Toko itu masih ada. Di ujung jalan yang berkabut. Tapi hanya akan terlihat oleh mereka yang benar-benar ingin memperbaiki, tapi tak tahu bagian mana yang rusak.
---
Kalau kau ingin cerita lain dari dunia yang samar ini—tukang cukur yang hanya memotong beban, atau rumah kontrakan yang berubah bentuk tergantung siapa yang tinggal di dalam—katakan saja. Aku akan terus menulis.