Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Tertukarlah Rindu: Jejak Donta di Tengah Keramaian

Ilustrasi Halte Transjakarta. 
(Fadly Kurniadi, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)
Ilustrasi Halte Transjakarta. (Fadly Kurniadi, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Seorang asisten lokakarya di kantor elite dekat mal besar di Jakarta terpukau dengan interiornya yang luas dan peserta yang antusias.
  • Setelah lokakarya, ia bertemu dengan seorang ibu guru yang salah mengira bahwa dia adalah muridnya dulu, Donta.
  • Percakapan singkat ini membuatnya merindukan masa-masa sekolah dan guru-gurunya, serta menyadari bahwa setiap guru punya keunikan cerita dan rindunya sendiri.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Aku memang tipe orang yang nggak suka menolak tawaran kolaborasi, apalagi kalau ajakannya klop banget dan ngasih banyak pengalaman untukku. Waktu itu, aku diundang jadi asisten lokakarya di sebuah kantor elite dekat mal besar di Jakarta. Begitu masuk, aku langsung terpukau dengan interiornya yang badai abis dan luas nya udah kayak lapangan terbuka aja (beuh, lihat dikit mata udah melotot kemana-mana!).

Lokakarya hari itu super duper seru banget. Para peserta antusias, semangatnya memuncak bagai Gunung Gede. Aku sampai mikir, “Pantas semangat mereka kayak balapan mobil, gas pol terus sampai garis finish!” Aku dampingi mereka mengerjakan praktikum darinya. Duh, mereka ga cuman bercanda doang, tapi ekspresinya bikin aku sampe-sampe ga sengaja nyengir lebar sampai diliatin segala hadeh!

Beberapa tugas selesai, aku dan teman sesama asisten duduk santai sembari tarik napas bentar setelah berdiri beberapa jam tiada habisnya. Di meja sudah disediakan banyak camilan. “Nyam, nyam, nyam... kapan lagi dapat camilan kayak gini, ye kan?” kataku dengan mata berbinar sambil melahap dimsum asli negara timur itu. Meski capek, perut pun tetap kinclong dan hati pun ikut senang deh.

Menjelang senja, aku pamit pulang bareng teman asisten. Pas keluar gedung, tangga menuju halte busway tinggi pisan! “Buset, dah, bikin betis bergoyang dumang…mang…mang…ang…ang juga ih,” gumamku sambil ngos-ngosan. Sesampai halte, aku berdiri menunggu bus yang datangnya udah kayak nunggu kepastian dari hatimu…cailah. Aku sadar kalau nanti di atas bus nggak bisa bebas gerak karena penuh dengan lautan manusia. “Buset dah gue kata,” dumelku.

Tiba-tiba, seorang perempuan menghampiriku. Rambutnya lurus berwarna coklat, diikat rapi, dan ia memakai sepatu biru. Wajahnya familiar: lembut, penuh senyum tapi matanya penuh tanya kayak teka-teki silang. Saat ia bicara, suaranya sopan tapi penuh kaget, “Kok kayak pernah kenal ya...Kamu Donta bukan?” Aku melongo. Matanya seperti mempercayai kalau aku muridnya dulu. Dia pun benar-benar terkejut menemukan ‘Donta’ yang ia maksud di halte itu.

Seketika aku jawab, “Ibu, maaf...sepertinya ibu salah orang deh, Bu. Aku ini bukan Donta.” Pikiranku mencoba kembali meyakinkan ibu itu. “Aku kan sudah lulus dari sekolah sudah lama loh Bu, sekarang aku kuliah di universitas.” Aku tersenyum penuh, tapi masalah pun datang karena dia masih nggak menyangka sepenuhnya.

Ibu guru itu terdiam sejenak. Ekspresinya langsung berubah kaget. “Hah? Bukan Donta? Tapi wajahmu mirip banget dengannya!” katanya sambil menunduk malu. Usut punya usut, ternyata Donta itu muridnya dulu, anak pintar yang selalu di depan kelas. Dia bilang heran karena aku benar-benar mirip muridnya. Melihat ia malu, sekaligus tertawa gara-gara salah sasaran, aku berusaha menenangkan ibu itu.

Ah, nggak apa-apa kok, Bu, kataku enteng sambil menggendong tas selempangku. Kami pun ngobrol sebentar soal rute busway. Ibu guru bercerita tentang Donta: “Donta sekarang pasti makin jago di mana-mana. Dulu aja dia selalu selesaiin semua tugas dengan maksimal, semangatnya tinggi banget, seperti mengejar cita-cita di atas langit.” Aku pun ikutan terenyuh, membayangkan murid yang begitu berhasil. Percakapan singkat ini bikin aku ingat guru-guru lama dan masa-masa sekolah.

Tiba saat busway datang. Sebelum naik, aku berpamitan ke dia karena aku harus naik busway rute tersebut, sedangkan ibu itu naik ke rute yang berbeda. Sepanjang perjalanan pulang, kejadian tadi terus terngiang di otakku. Ada perasaan hangat dan haru yang sulit diungkapkan. Seorang guru ternyata merindukan muridnya dan aku pun secara tak terduga merasa rindu masa-masa sekolah dan guru-guruku. Realita kadang tak terduga: sedalam apapun rasa rindu seorang pendidik, kenyataan bisa berkata lain.

Akhirnya aku sampai rumah dengan senyum sendiri. Masih terbayang tatapan lembut ibu guru tadi. Kadang kita lupa: setiap guru punya keunikan cerita dan rindunya sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[PUISI] Kota yang Mengingatmu Lebih dari Aku

07 Sep 2025, 06:02 WIBFiction
ilustrasi wajah yang terbakar oleh api merah

[PUISI] Membakar Sunyi

06 Sep 2025, 15:15 WIBFiction
ilustrasi labirin tanpa peta (pexels.com/fernanda)

[PUISI] Labirin Tanpa Peta

05 Sep 2025, 20:27 WIBFiction
Ilustrasi Samudra (pexels.com/Kellie Churchman)

[PUISI] Samudra Tabah

04 Sep 2025, 21:07 WIBFiction
Mawar merah (pexels.com/Jill Burrow)

[PUISI] Mawar Sia-Sia

04 Sep 2025, 20:17 WIBFiction
ilustrasi rakyat miskin yang meminta bantuan

[PUISI] Terlindas Dilindas

04 Sep 2025, 19:22 WIBFiction
ilustrasi kontras kehidupan

[PUISI] Bertolak Belakang

04 Sep 2025, 18:15 WIBFiction
ilustrasi berjalan

[PUISI] Garis September

04 Sep 2025, 17:07 WIBFiction