[CERPEN] Usman yang Termenung

Usman termenung di ruang tamu, sehabis magrib, hujan gerimis agak deras. Hari ini, 8 tahun yang lalu, ayahnya yang sangat dihormati dan dicintainya, dipanggil Yang Maha Kuasa. Setelah 6 bulan mencoba melawan stroke. Akibat gagal fungsi paru-paru, akhirnya Tuhan membawanya pergi dari dunia ini untuk selamanya.
Usman sebenarnya saat itu sedih dan panik luar biasa. Bagaimana tidak? Ia belum mendapatkan lagi pekerjaan tetap, setelah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, yaitu sebagai dosen di sebuah kampus swasta di Jakarta, dan sebagai seorang staf ahli di lembaga legislatif.
Keluarganya adalah alasan utama ia cabut dari kedua pekerjaan yang bertempat di Jakarta tersebut. Anak dan istrinya, Ali dan Annie, tinggal di Yogyakarta. Sehingga, ia hanya bisa bertemu mereka setiap akhir pekan saja. Itu pun kalau dapat tiket ke Yogya, baik itu tiket kereta api maupun pesawat.
Sejujurnya, ia telah berusaha untuk mendaftar sebagai dosen di almamaternya, sebuah kampus negeri di Yogya. Akan tetapi, karena ijazahnya belum keluar, walaupun ia telah lulus ujian sidang tesis pascasarjana, kampus negeri tersebut bersikeras menolaknya. Usman patah arang saat itu. Untungnya ada sebuah kampus swasta di Jakarta yang memanggilnya untuk wawanncara beberapa saat setelah itu.
Pergilah Usman ke kampus tersebut, dengan semangat. Setelah proses wawancara selesai, dilanjutkan micro teaching, atau tes simulasi mengajar. Ia pun lolos kedua tes tersebut, dan bertemu HRD (Human Resource Department/Departemen Sumber Daya Manusia) dan Rektor, pimpinan universitas. Betapa kagetnya Usman, ketika gaji yang ditawarkan jauh di bawah gaji yang didapatnya ketika bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dekat kampus swasta tersebut.
“Segini saja, ya," kata Bu Rektor menyebutkan sejumlah angka. “Sudah, kau terima saja. Nanti, kan, kau dapat honor mengajar juga," kata Bu Rektor lagi.
Dengan anggukan lemah, Usman akhirnya menyetujuinya. Hitung-hitung menambah pengalaman. Karena sebelumnya ia memang belum pernah menjadi dosen melainkan hnya seorang guru di sebuah sekolah menengah swasta yang sebenarnya terbilang elit. Namun, karena frustrasi dengan jalanan Jakarta saat itu, tahun 2011, setelah 6 tahun di Jakarta, ia memutuskan kembali ke Yogya untuk melanjutkan studi pascasarjana (S2) di kampus almamaternya. Akan tetapi, setelah 2 tahun di Yogya, nasib kembali membawanya ke Jakarta, kota yang ditinggalkannya 2 tahun yang lalu.
Untungnya, saat menjalani hidup sebagai dosen denga gaji UMR (Upah Minimum Regional), ia mendapat tawaran untuk menjadi staf ahli di sebuah lembaga legislatif. Hal yang mungkin sedikit mengatrol penghasilan bulanannya. Hanya saja, hal tersebut membuatnya semakin jarang bertemu keluarga karena tugas sebagai seorang staf ahli ia juga harus mendampingi para anggota dewan melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah, menyiapkan materi, dan menyiapkan agenda anggota dewan secara lisan dan tulisan supaya mereka sukses dalam kunjungan kerja tersebut dan mendapat simpati rakyat.
Jam kerja? Melebihi manusia normal. Terkadang bahkan ia tidak bisa tidur karena harus menyiapkan materi yang dibutuhkan untuk acara besok pagi. Ia bersama para staf ahli lainnya, bekerja untuk hal itu semua, walaupun otak dan mata sangat butuh istirahat.
Plusnya adalah ia bisa belajar banyak, menjalin pertemanan dengan banyak orang yang ramah-ramah, menurut penilaiannya. Minusnya adalah waktu yang hilang untuk keluarganya yang sebenarnya sangat butuh perhatiannya. Ali, anaknya yang berumur 7 tahun, belum bisa berjalan, karena kelainan syaraf tulang ekor. Istrinya, yang mengurusi Ali sendirian di Yogya, seringkali mengeluh kelelahan karena harus mengangkat Ali dari kursi roda ke mobil, ke tempat tidur, ke kamar mandi, dan lainnya.
Karena itu semualah, Usman memutuskan kembali ke Yogya, bekerja sebagai dosen honorer, di dua kampus swasta, dengan honor mengajar ala kadar. Beberapa bulan, ia masih bisa bertahan dengan tabungannya. Terkadang, ibunya mengirimkan uang, walaupun tak banyak, tetapi bisa untuk menutupi pengeluaran bulanan, khususnya ketika sedang membutuhkan banyak uang.
Ketika, ayahnya terserang stroke, Usman menjadi gamang. Ia bingung, kepada siapa ia akan meminta pertolongan nantinya, khususnya ketika pengeluaran bulanan tiba-tiba membengkak. Ibunya tentu tidak akan mampu lagi mengirimkan uang sesekali. Karena ayahnya yang seorang dokter tentu tidak akan bisa berpraktik dan mencari nafkah lagi.
Ia menyadari, bahwa ini adalah kesalahannya yang tidak mampu mendapat pekerjaan tetap dengan gaji lumayan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, anak dan istrinya. Seharusnya, ia sama sekali tidak bergantung lagi pada kedua orangtuanya yang semestinya sudah beristirahat, menikmati masa tua. Ia sudah pernah mencoba membuka kafe yang sebenarnya cukup ramai dikunjungi para mahasiswa. Hanya karena tidak ditekuninya, kafe itu akhirnya tutup setelah 3 tahun beroperasi.
Saat itu, tahun 2014, ia lebih memilih menjadi dosen di Jakarta, menuruti hasratnya yang sedari awal ingin menjadi seorang pengajar, entah itu guru atau dosen. Tak bisa dimungkirinya kalau ia senang di depan kelas, menyampaikan berbagai konsep ataupun berdiskusi dengan para anak didiknya.
Akibatnya, bisnis kafenya terbengkalai, karyawan yang dipercayainya untuk mengurus semua keperluan kafe ternyata tak paham harus belanja bahan di mana. Pada akhirnya, Sumarni, demikian nama karyawannya itu, memilih belanja bahan baku di supermarket yang menjual barang-barang dengan harga mahal. Akhirnya, keuntungan bulanan kafe menjadi sangat tipis, bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Terkadang, bahkan Usman harus menyubsidi gaji karyawan kafe dari penghasilan yang didapatnya, dengan menjalani dua pekerjaan di Jakarta. Setelah berhenti dari pekerjaan sebagai dosen tetap dan staf ahli, Usman tak mampu lagi memberikan subsidi pada kafenya tersebut. Kemudian, pertengahan 2015, ia harus menutup kafenya tersebut dengan berat hati. Baginya, rasanya seperti kehilangan seorang anak yang tak mampu bertumbuh lebih lanjut.
***
Ingatan Usman melayang ke tanggal 17 Januari 2016, saat ayahnya dipanggil Yang Kuasa. Waktu itu, ia sedang berada di atas kereta api menuju Jakarta dari Yogya. Tujuan awalnya adalah untuk menghadiri sesi tes tertulis dan wawancara dalam rangka rekrutmen staf ahli lembaga legislatif yang tahun lalu ditinggalkannya. Karena ternyata tak kunjung dapat pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, akhirnya ia putuskan untuk kembali melamar sebagai staf ahli.
Setelah tengah malam, ibunya menelepon dengan nada panik, “Ayah sudah tidak ada, Man! Ayah sudah tidak ada, Man!" Begitu ucap ibunya berulang-ulang.
Usman hanya bisa menenangkan dan berjanji pada ibunya bahwa hari itu juga ia akan cari tiket pesawat ke Padang. Istrinyalah yang kemudian memesankan tiket untuk mereka bertiga, yaitu Usman, Annie, dan Ali. Annie dan Ali berangkat dari Yogya naik pesawat. Usman yang sedang menuju Jakarta, rencananya, akan bertemu mereka di Bandara Soekarno-Hatta, untuk bersama berangkat ke Padang, naik pesawat.
Setiba di stasiun Gambir, Usman memilih untuk menyewa kamar losmen di stasiun selama 6 jam. Ia harus mandi dan beristirahat sebenta untuk kemudian berangkat ke gedung lembaga legislatif, tempat tes kerjanya hari itu.
Saat di kamar losmen, yang tidak seberapa besar itulah, Usman tak bisa menahan tangisnya. Ia menangis sejadi-jadinya, meraung-raung histeris. Ia mengenang ayahnya, seorang pejuang keluarga yang tak pernah menyerah untuk menyejahterakan keluarganya.
“Ayah terlalu cepat pergi, terlalu cepat, terlalu cepat," begitu ucapnya berulang-ulang dalam tangis.
Saat mengenang masa lalu itu, Usman tiba-tiba telah berada di sebuah ruangan segi empat dengan dinding bercat putih. Di sana duduk ayahnya di sebuah kursi berhadap-hadapan dengan Usman. Sebuah meja kayu berwarna coklat tua berada di tengah-tengah mereka.
“Ayah!” Teriak Usman kaget.
“Bagaimana kabar, Man?” Ucap ayahnya tiba-tiba.
“Baik, Yah, alhamdulillah, Ayah bagaimana?” Tanya Usman menahan tangis.
“Alhamdulillah, Man, di sini Ayah sehat," jawab ayah Usman dengan nada tenang.
“Alhamdulillah, Yah, itu doa kami semua dulu Yah,", balas Usman menanggapi.
“Bagaimana kabar cucu-cucu Ayah, Man? Ayah ingin ketemu Fatimah sebenarnya, ia lincah dan lucu sekali. Di sini, Ayah hanya bisa melihatnya saja. Ali bagaimana, Man?” Tanya ayah Usman lagi.
“Ali seperti biasa, Yah, memang sulit baginya untuk bisa berdiri dan berjalan. Obat untuk kelainan syarafnya baru bisa didapat di Singapura, itu juga syarat-syaratnya banyak dan sulit," jawab Usman.
“Iya Man, memang tanpa obat itu, otot Ali akan terus melemah, Indonesia memang sulit untuk menerima sesuatu yang baru, apalagi sesuatu yang baru itu sangat mahal harganya," balas ayahnya menanggapi.
“Iya, Yah. Kami hanya bisa berserah diri pada Tuhan, untuk kesembuhan Ali," ucap Usman menanggapi.
“Betul, Man, kau harus selalu ingat, bahwa di setiap kesulitan itu selalu ada kemudahan. Jangan menyerah, ya, Nak. Cobaan hidupmu memang berat. Akan tetapi, Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan umatnya," nasihat ayahnya pada Usman.
***
“Yah, Yah, bangun, bangun, Yah!” Ucap Annie membangunkan Usman yang terlelap di atas kursi tamu.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, saatnya untuk Usman mengangkat Ali dari kursi rodanya ke tempat tidur. Usman terbangun dan mengucek-ngucek matanya yang masih perih. “Fatimah sudah tidur Bunda?” Tanya Usman pada istrinya.
“Sudah, Yah, tinggal Ali, yang masih belum tidur. Kupikir tadi Ayah di mana, kupanggil-panggil dari kamar, tidak nyahut. Akhirnya kususul keluar, setelah Fatimah tidur, eh, ternyata Ayah malah ketiduran di kursi tamu," ucap Annie menjelaskan.
“Baik Bunda, aku ke kamar Ali sekarang."
Usman bangkit dan menuju ke kamar anak sulungnya, Ali. Dicobanya mengingat kembali kata-kata ayahnya tadi, yaitu bahwa di setiap kesulitan, selalu ada kemudahan. Air matanya berlinang mengenang ayahnya. Usman kemudian berdoa, dalam hati untuk almarhum ayahnya, dan supaya Tuhan memberikan keselamatan kemudahan atas segala kesulitan yang tengah dihadapinya dan keluarganya.
Yogyakarta, 15 April 2024