[CERPEN] Desah dari Dalam Kamar Mandi

Kisah laki-laki yang putus asa...

Ini cerita lama yang kutulis lagi. Karena kita hanya bisa menulis kenangan. Sesuatu yang sudah berlalu tidak akan pernah terulang lagi. Hanya bisa diceritakan, ditulis atau dikenang. Kutulis cerita ini di tempat biasa kita basa-basi soal cinta. Dulu.

***

Dulu, kau dan aku adalah batu, pasir, air, jendela, kaca, keramik dan kuli. Membentuk bangunan janji-janji yang  tak akan memotong kisah dalam kondisi apapun. Tak goyah oleh badai, tak acuh pada kobaran api, tak peduli pada hujan badai, tsunami bahkan kiamat. Sekalipun kita akan mati, kita akan tetap memegang cinta.  

Kini aku tertawa. Gombal. Ternyata semua itu hanya bangunan-bangunan paradoks yang setiap orang bisa mengucapkannya sekaligus dengan gampang pula mengingkarinya. Kata-kata hanya seperti jembatan yang sengaja dibangun dan kapan saja bisa kita robohkan. Hidup hanya kebohongan yang berulang-ulang. Tak ada yang pasti.

Saat itu, setelah beberapa hari perkenalan yang tak sengaja, rindu-rindu bermunculan dan berujung di kafe tiga hari sekali. Kafe tempat pertama kali kita bertatap. Membahasakan kekaguman. Engkau dan aku. Sore yang aku sesali sekaligus kusukuri karena sudah bertemu denganmu. Mulai saat itu aku tersesat. Entah berada di mana. Seperti tak ada arah buatku.  Satu-satunya jalan yang aku tahu hanyalah jalan menuju engkau.

Kebiasaan kunjungan ke kafe yang sama membuat perkenalan kita semakin terasa mudah. Dari perkenalan, pernyataan, berjanji sampai percumbuan. Mencipta satu ikatan yang sangat sulit untuk kuhindari. Rasa bersambut, bersatu dalam beberapa kalimat saja. Sangat singkat, karena kenyamanan satu sama lain. Mulai saat itu kita selalu menikmati sore berdua di beranda kafe ini. Aku selalu memilih menatap matamu yang temaram dari pada menikmati minuman yang tersaji di depan kita. Tak bosan kita berjanji-janji tentang setia. Bahkan sumpahpun terlontar dengan mudah.

Ah, lelah juga ternyata menulis kenangan. Pikirku.

”Aku suka langit sore. Rumahku di kampung tak jauh dari laut. Waktu masih kecil, setiap sore ibu selalu mengajakku ke laut menunggu ayah pulang melaut. Hampir setiap hari begitu, hingga menjadi kebiasaan dan hobi. Bermain pasir di pantai saat matahari mau tenggelam. Sampai akhirnya aku tak pernah ke laut lagi saat suatu waktu kutahu ayah tak pernah pulang dari laut. Kata ibu, ayah berasal dari laut, hidup dengan laut dan harus berakhir dengan laut.” ceritamu mengalir dari bibir tipismu. Dan selalu matamu basah dan berkaca-kaca setiap menceritakan ayahmu. Juga selalu tentang laut, sore dan ayahmu yang tak pernah pulang dari laut.

”Sampai akhirnya aku tak pernah melihat laut lagi saat ibu menitipkan aku di rumah tante di kota ini. Dan ibu bekerja sendiri menjadi TKW untuk memberiku makan dan membiayai pendidikanku.” ceritamu berlanjut.

”Apa istimewanya laut dan sore buatmu?” pernah sekali waktu aku bertanya karena aku sudah mulai bosan dengan cerita laut dan sore. Membosankan. Dan sengaja aku tanyakan tentang laut, karena aku tak mau melihat matamu basah setiap kali kau menceritakan ayah ibumu.

”Kamu tidak akan pernah tahu bahwa yang membuat laut itu indah bukan ombak atau pantainya melainkan perpaduan antara laut itu sendiri dengan langit sorenya. Di situlah kekosongan berada.”

Apa katamu sajalah. Aku tidak mengerti.

”Mereka saling melengkapi satu sama lain. Laut dan sore adalah sebab, sedangkan keindahan adalah akibatnya.” lanjutmu. Aku tetap mendengarkan meski tak sepenuhnya aku mengerti. Aku tak selalu suka isi ceritamu tapi melihatmu bercerita adalah satu hal yang pasti aku suka.

Selama beberapa pekan, beberapa bulan dan beberapa tahun kita membuat kenangan untuk masa depan. Selalu di kafe ini. Kau selalu tak mau kuajak ke tempat lain. Entah kenapa.

Tak pernah ada tengkar. Sekalipun ada, itu hanya bahasa lain untuk mengungkapkan cinta, rindu dan cemburu. Kita selalu tertawa. Saling mengisi kekosongan. Melengkapi yang tak lengkap. Saling memberi sesuatu yang tidak kita punya. Berbagi cerita, rasa, keluh, kesah, luka, tawa dan desah.  

”Apa yang membuatmu menyukaiku?” tanyamu waktu itu. Masih kuingat jelas kata-kata itu.

”Karena aku adalah laut dan kau adalah langit sore. Kaulah yang menyebabkan aku indah dan istimewa.” Kutiru ucapanmu tentang laut. Kau hanya tersenyum sipu. Lalu diam dan memelukku, berbisik sesuatu yang sangat rahasia.

Begitulah kamu, kadang takluk hanya dengan satu pernyataan.

Sampai suatu saat kita sadari, ternyata kita bukan malaikat yang konsisten terhadap kata dan perintah. Kita adalah manusia yang selalu digerakkan oleh keinginan. Kita terpisah mengejar cita-cita dengan alasan demi masa depan. Melupakan janji untuk selalu bersama. Pernyataan kita hanya nonsens belaka. Beasiswa ke luar negeri tempat ibumu bekerja adalah pilihanmu yang disetujui bahkan didukung oleh keluargamu. Aku tak bisa tahan langkahmu. Aku juga mengerti bahasa matamu yang mengatakan kau begitu amat rindu ibumu yang sudah beberapa tahun tak pulang. Tak ada yang bisa aku lakukan selain mengutuk kenapa harus ada jarak.

Kau jauh di situ dan aku di sini. Keputusan yang sangat di luar keinginanku. Tapi harus kita terima.

Aku, lebih-lebih batinku, sebenarnya tak pernah ingin berpisah denganmu waktu itu. Waktu langkahmu berayun ke dalam taksi yang akan mengantarmu ke Bandara sambil menoleh dan tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan. Kecut sekali. Aku juga merasa seperti itu. Lalu berlari menujumu, aku memelukmu erat dan bibir kita bertemu dalam satu titik perasaan tak ingin berpisah. Lama kita terpejam. Menikmatinya sebagai sesuatu yang pilu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

”Aku akan kembali lagi ke sini menjadi sungai yang kau airi. Jaga dirimu baik-baik.” bisikmu di telingaku. Aku bisu sebelum akhirnya taksi benar-benar melaju. Memperpanjang jarak antara aku dengan kau.

Lalu kamu benar-benar pergi dan lampu-lampu, aspal, lampu merah dan kendaraan-kendaraan menyusup dalam kepalaku. Menyerupai wajahmu. Benar-benar jelas. Serupa angin dahsyat yang menghantam-hamtam pohon. Aku lunglai. Kita sudah terlalu terbiasa bersama. Saling menggantungkan hidup.

Setelah kamu pergi.

Yang tersisa setelah kamu pergi adalah tak ada suara dari apapun. adalah dunia yang  menyempit, menghimpitku di antara beberapa episode. matahari yang sejengkal, panas dan lalat-lalat yang mengerubungiku. Sangat menyiksa.

Yang tersisa setelah kamu pergi adalah bis kota yang menabrakku di siang itu, lalu aku bayang-bayang lunglai. Tak punya gairah dan tak punya apapun.

Lalu apa yang tersisa selain pembunuhan pada siang dan malam.

Hari, minggu, bulan bahkan terbilang tahunan, aku masih menunggumu kembali. Aku masih percaya bahwa janjimu tak basa-basi dan aku masih mempercayai kesakralan kata-kata. Buatku, janji-janji itu bukan gombal. Menurut sebagian orang mungkin menunggu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Tapi buatku, selama yang kutunggu itu adalah kamu, menunggu menjadi sesuatu yang indah. Aku selalu ingat kata-katamu bahwa kau akan menjadi sungai yang aku airi. Dan aku selalu siap menjadi air. Air yang tak akan pernah tumpah ke laut atau kemanapun selain ke sungaimu.

Empat atau lima tahun masih tak menjadi masalah serius untuk menunggumu meski tanpa kabar apapun darimu. Sepuluh tahun kau masih tak tampak juga, aku mulai resah. Tapi masih saja menunggu. Ini adalah kebodohan yang sangat aku sadari dan jika ini adalah kebodohan, maka aku ingin tetap bodoh. Mungkin ungkapan klise itu benar bahwa cinta itu memang gila.

Sampai suatu saat seorang kawan berkabar bahwa kamu sudah pulang. Tak bisa kugambarkan bagaimana sumringahnya aku mendengar kabar itu. Tapi saat aku bercermin melihat senyum bahagia di mukaku, kaca yang kugunakan bercermin pecah. Menjadi serpihan. Begitupun bahagiaku, pecah tak berbentuk saat kudengar kabar lagi bahwa kau sudah bersuami. Dunia runtuh menimpuk kepalaku. Tapi aku mencoba menata hati, pikiran dan jiwa. Memperkuat diri menerima terkaan-terkaan yang luar biasa sakitnya. Berikhlas hati. Bukankah cinta adalah keikhlasan menerima dan melepas.

Tapi ternyata aku tak mampu. Itu hanya sebuah spekulasi. Sebuah cara untuk menghibur diri belaka. Kekuatan dan keikhlasan yang kucoba bangun ternyata hanya ranting rapuh yang setiap saat terpatahkan.

Bahkan beberapa hari setelah aku tahu kau telah bersuami aku tak tahu lagi siapa aku. Tapi sampai saat aku tak mengenal siapa-siapa, aku masih mengingatmu. Meskipun yang kuingat bukanlah perempuan yang aku kenal dulu. Kau pasti berubah. Lebih dewasa sedikit, raut muka yang semakin menua, pakaian daster dan gendongan anak di pundakmu. Tentunya ditemani seorang laki-laki yang menikahimu, di beranda menikmati sore. Aku dengar kau sudah punya anak. Pasti anakmu lucu. Terlalu banyak yang telah berubah. Tapi tidak dengan janji dan cinta yang aku pegang. Aku tetap seperti yang dulu. Seperti yang kubilang tadi, aku masih mempercayai kesakralan kata-kata dan menganggap janjiku tak basa-basi. Konyol.

Beberapa bulan yang lalu. Setelah aku berjalan tanpa arah, bersuara tanpa kata, menghitamkan segala warna dan menangis tanpa air mata. Aku memutuskan sesuatu yang kata orang-orang keputusan orang gila. Tapi aku tak peduli apa.

Aku mendesah, mengerang di kamar mandi. Kelaminku berhasil aku potong tanpa perasaan sesal atau apapun. Kulakukan sendiri. Tanpa proses yang ribet dan tanpa bantuan dari siapapun. Hanya terasa sakit sebentar. Setelah itu, senyummu seperti mengobati perih. Aku tak sadar untuk beberapa jam. Kau merasuk dalam ketidak sadaranku. Kita seperti kembali seperti anak kecil. Bermain penganten-pengantenan. Tapi ibumu tak membiarkanmu berlarut-larut bermain. Ibumu memjemputmu untuk pulang. 

Kemudian aku sadar. Kemaluanku sudah tak ada. Ini adalah potongan yang kedua setelah dulu dipotong oleh Ibu untuk disunat. Sekarang kesetiaanku padamulah yang memotongnya.

Aku tak menjadi laki-laki lagi.

Mulai sejak itu aku mulai suka berdandan. Rambut aku panjangkan sampai se bahu. Baju yang biasa aku pakai sekarang adalah baju perempuan. Katanya aku seorang banci. Peduli apa.

Aku masih tetap sendiri dan tak ingin dengan siapa-siapa.

***

Aku terhenti menulis ketika melihat perempuan memasuki kafe. Itukah kamu? Benar sekali itu adalah kamu. Senyum kamu yang tak berubah. Lambai tangan dan cara berjalanmu. Aku kikuk. Mati rasa, mati gaya, mati-matian berusaha agar kau tak mengenaliku. Menutupi muka dengan rambutku yang sudah memanjang se bahu. Bersuykur sekali kau tak mengenaliku sama sekali. Terima kasih. 

Ternyata benar dugaanku kau sudah terlihat sedikit menua. Yang kau gandeng tangannya pasti itu anakmu. Dan lelaki itu, yang merangkulmu pasti suamimu. Kau masih saja suka mengunjungi kafe ini dan duduk di tempat yang biasa kita tempati dulu. Tapi masihkah kau mengingatku, setidaknya kenangan-kenangan kita. Mungkin kau tak sadar bahwa seorang yang terlihat seperti perempuan yang terlalu dipaksakan, yang duduk di sebelahmu sambil menulis sesuatu itu adalah aku. Laki-laki yang selalu menemani dan mendengarkan kau bercerita tentang laut dan sore di kafe ini. Dulu. Laki-laki yang sekarang tak mempunyai kelamin dan kemaluan.

Baca Juga: [CERPEN] Tentangmu yang Menguasai Ruang Sunyi di Hatiku

Suci Ambarwati Photo Writer Suci Ambarwati

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya
  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya