Air Minum Kemasan Mengandung Ratusan Ribu Nanoplastik

- Studi terbaru memperkirakan manusia bisa mengonsumsi sebanyak 370.000 partikel nanoplastik dalam satu liter air minum kemasan.
- Nanoplastik berukuran kurang dari 1 nanometer. Para ahli percaya jika tertelan, partikel plastik ini bisa melewati sawar darah-otak, yang melindungi otak dari racun.
- Para peneliti menguji tiga merek air minum dalam kemasan. Ditemukan bahwa air tersebut menampung rata-rata 240.000 keping plastik, 90 persen di antaranya adalah nanoplastik, 10 persen sisanya adalah mikroplastik.
Air minum kemasan yang kamu minum mungkin mengandung ratusan ribu potongan plastik mikroskopis, menurut penelitian baru.
Mikroplastik, yaitu potongan plastik kecil dengan ukuran diameter mulai dari 1 nanometer hingga 5 milimeter, diketahui telah ditemukan hampir di semua tempat di Bumi, mulai dari wilayah terjauh di Kutub Utara hingga lapisan plasenta manusia, mengutip dari Environmental Protection Agency (EPA).
Sebuah analisis memperkirakan bahwa orang Amerika Serikat (AS) menelan lebih dari 44.000 partikel mikroplastik setiap tahun dan menghirup lebih dari 46.000 partikel mikroplastik. Namun hingga saat ini, para ilmuwan belum dapat mengukur partikel yang lebih kecil lagi, yang disebut nanoplastik (Environmental Science & Technology, 2019).
Nanoplastik berukuran kurang dari 1 nanometer (sebagai perbandingan, lembar kertas tebalnya sekitar 100.000 nanometer, dan seutas DNA berukuran 2,5 nanometer). Para ahli percaya jika tertelan, partikel plastik ini bisa melewati sawar darah-otak, yang melindungi otak dari racun.
Studi terbaru yang terbit dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 8 Januari 2024 lalu memperkirakan manusia bisa mengonsumsi sebanyak 370.000 partikel nanoplastik dalam satu liter air minum kemasan.
Temuan ini tentu saja bikin khawatir!
Studi meneliti tiga merek air minum dalam kemasan

Para peneliti menguji tiga merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang dijual di AS. Ditemukan bahwa air tersebut menampung rata-rata 240.000 keping plastik, 90 persen di antaranya adalah nanoplastik, 10 persen sisanya adalah mikroplastik.
Sebuah studi tahun 2018 pertama kali mengidentifikasi mikroplastik pada 93 persen sampel yang diambil dari 11 jenis AMDK yang dijual di sembilan negara berbeda. Ditemukan rata-rata lebih dari 300 partikel mikroplastik per liter (Frontiers in Chemistry, 2018).
Namun, studi terbaru menemukan bahwa air dalam kemasan botol plastik mungkin mengandung nanoplastik seribu kali lebih banyak.
Menurut Phoebe Stapleton, PhD, profesor farmakologi dan toksikologi di Universitas Rutgers yang ikut menulis studi baru ini, mengatakan kepada Health bahwa kekhawatiran terhadap nanoplastik adalah bahwa ini ditemukan dalam paru-paru dan darah manusia.
Tim peneliti mengidentifikasi tujuh bahan kimia plastik berbeda dalam sampel mereka. Beberapa bahan kimia, termasuk polyethylene terephthalate (PET) dan polyethylene (PE), ditemukan pada ketiga merek AMDK yang diteliti. Botol dan tutup kemasan air terbuat dari jenis plastik ini, sehingga tim peneliti percaya bahwa ada potongan-potongan bahan yang "tumpah" ke dalam air selama pengemasan dan pengangkutan.
Jenis lainnya, termasuk polyvinyl chloride atau vinyl (PVC), polyamide nylon (PA), polypropylene (PP), dan polystyrene (PS), yang biasanya digunakan dalam busa plastik, kemungkinan besar terpapar ke dalam air sebelum dikemas karena kemasannya tidak terbuat dari bahan-bahan tersebut.
Karna nanoplastik ukurannya sangat kecil, ini tidak bisa disaring. Nanoplastik juga mungkin ada dalam sumber air, atau mungkin juga masuk ke dalam air selama proses filtrasi.
Karena plastik ada di mana-mana di lingkungan, dan kemasan plastik bukan satu-satunya cara nanoplastik masuk ke dalam makanan dan air, partikel-partikel plastik tersebut hampir mustahil untuk dihindari sepenuhnya.
Bahaya plastik bagi kesehatan manusia

Setidaknya 4.000 bahan kimia diketahui digunakan untuk membuat plastik (Environmental Science & Technology, 2019).
Temuan studi baru ini diharapkan bisa menjadi seruan bagi komunitas ilmiah untuk lebih memahami bagaimana berbagai jenis plastik berdampak pada kesehatan manusia.
Para ilmuwan telah lama berspekulasi bahwa partikel-partikel ini, baik terhirup atau tertelan, punya kemampuan untuk menimbulkan kerusakan signifikan pada tubuh. Masih belum jelas bagaimana itu bisa terjadi. Bisa karena tokisisitas intrinsiknya, atau partikel plastik tersebut bisa menjadi pembawa bahan beracun.
Bisphenol A (BPA), bahan kimia tambahan yang digunakan pada beberapa plastik, terbukti merupakan racun reproduksi dan perkembangan. Karena alasan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) melarang BPA untuk botol bayi dan cangkir minum bayi pada akhir tahun 2012, tetapi BPA masih diperbolehkan dalam kemasan makanan dan minuman.
Sejak 2019, Indonesia melalui BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat sebanyak 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen AMDK yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Sel tubuh mampu menyerap plastik, terutama nanoplastik, menginternalisasi, dan membawanya ke dalam sel. Ada beberapa bukti adanya stres oksidatif, perubahan DNA, dan peradangan akibat interaksi sel dan partikel tersebut.
Stres oksidatif terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang berfungsi menetralisir radikal bebas. Jika tidak dikendalikan, radikal bebas akan bereaksi dengan bahan kimia lain di dalam tubuh dan dapat merusak jaringan lemak, DNA, dan protein, sehingga menyebabkan penyakit. Misalnya diabetes dan kanker.
Sebagian besar penelitian mengenai dampak senyawa plastik terhadap kesehatan dilakukan pada hewan, bukan manusia. Meskipun beberapa penelitian pada manusia menemukan bahwa ftalat, salah satu bahan kimia paling umum yang digunakan untuk membuat plastik, dapat menyebabkan penambahan berat badan lebih banyak selama kehamilan dan meningkatkan risiko perempuan mengalami diabetes gestasional, tetapi penelitian ini belum membuktikan sebab dan akibat.
Para ilmuwan khawatir bahwa ftalat dan BPA merupakan pengganggu endokrin, yang berarti bahan kimia tersebut mengganggu hormon. Ini khususnya dapat berdampak pada perempuan. Menurut EPA, di(2-ethylhexyl) phthalate (DEHP), salah satu jenis ftalat yang paling banyak digunakan, kemungkinan bersifat karsinogen, tetapi penggunaannya tidak dibatasi seperti BPA.
Sebagian besar bukti yang ada saat ini bersifat tidak langsung. Namun, tidak berlebihan untuk berasumsi bahwa menelan partikel plastik bisa menimbulkan dampak kesehatan seperti halnya partikel lain, seperti yang ditemukan dalam polusi udara.
Nanoplastik berpotensi lebih menimbulkan kekhawatiran bagi kesehatan. Makin kecil partikelnya, makin besar kemungkinannya untuk masuk ke dalam sel dan menembus sawar darah-otak, dan partikel tersebut ada dalam sumber sehari-hari seperti air minum kemasan, dalam jumlah yang tampaknya lebih besar daripada partikel mikroplastik.
Informasi mengenai dampak plastik terhadap kesehatan masih terbatas karena para ilmuwan masih hanya sedikit mengetahui tentang partikel itu.
Sebagai contoh, dalam studi yang meneliti delapan kelas plastik yang umum digunakan dalam barang-barang rumah tangga (termasuk gelas yoghurt dan spons), para peneliti menemukan bahwa enam dari delapan produk mengandung bahan kimia beracun. Akan tetapi, dari total 1.400 senyawa yang terkandung dalam produk, tim peneliti hanya dapat mengidentifikasi 260 senyawa.
Plastik juga diketahui mampu menyerap benda lain. Jika berkontak dengan bahan organik atau logam, itu dapat melepaskan senyawa-senyawanya di dalam tubuh.
Manusia secara teratur terpapar dengan partikel plastik, bahkan bisa mengonsumsinya.
“Makanan dan minuman yang diproses secara berlebihan kemungkinan besar mengandung partikel plastik,” kata Stapleton.
Untuk mengurangi risiko paparan, ia merekomendasikan untuk beralih dari botol plastik sekali pakai ke botol logam atau kaca. Selain mengurangi risiko paparan plastik, wadah minum yang dapat digunakan kembali juga mengurangi jumlah botol yang digunakan, sehingga mengurangi limbah plastik.
Juga, kamu direkomendasikan untuk mengonsumsi teh dalam bentuk loose-leaf dibandingkan teh celup. Dan, gunakan wadah kaca saat menggunakan microwave.