Dalam Setahun, Anak Berpotensi Mengalami Batuk Pilek selama 100 Hari

- Anak usia sekolah berpotensi mengalami batuk pilek hingga 100 hari setahun, yang dapat mengganggu tidur, nafsu makan, dan konsentrasi di kelas.
- Frekuensi batuk pilek meningkat seiring dengan banyaknya aktivitas anak di luar rumah, seperti bermain di playground atau saat berada di daycare.
- Orang tua perlu memperhatikan gejala awal batuk pilek pada anak dan memberikan penanganan dini untuk mencegah masalah berkembang lebih jauh.
Di ruang kelas yang riuh oleh suara anak-anak, satu hal yang paling mudah dikenali adalah suara batuk bersahutan. Ada yang mengelus dada, ada pula yang sibuk mengelap hidung dengan tisu. Batuk pilek atau bapil memang jadi “tamu langganan” di kalangan anak usia sekolah.
Fenomena ini bukan tanpa alasan. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 mencatat, hampir 3 dari 10 anak usia 5–14 tahun mengalami infeksi saluran pernapasan atas, termasuk batuk dan pilek. Angkanya mencapai 28,6 persen.
Data dari National Library of Medicine menambah gambaran besarnya persoalan ini. Disebutkan bahwa anak-anak bisa mengalami bapil sebanyak 6–10 kali dalam setahun. Jika satu episode berlangsung 1–2 minggu, maka totalnya bisa mencapai 100 hari—lebih dari tiga bulan hidup dalam kondisi yang kurang fit.
Bapil tidak boleh diremehkan karena bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan anak, seperti tidur jadi tidak nyenyak, nafsu makan menurun, dan tentu saja konsentrasi di kelas ikut terganggu. Ini, gangguan kecil sekalipun bisa berdampak besar jika dibiarkan berlarut-larut.
Anak aktif, virus mengintai, waspadai batuk pilek

Pada usia balita, dunia anak mulai terbuka lebih luas. Dari yang sebelumnya hanya bermain di rumah, mereka mulai diajak ke taman bermain, bertemu teman sebaya di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau dititipkan di tempat penitipan anak karena orang tua kembali bekerja. Bersamaan dengan fase ini, frekuensi batuk pilek pun mulai meningkat.
Menurut dokter spesialis anak, dr. Kanya Ayu Paramastri Sp.A, kondisi ini umum terjadi pada anak-anak, terutama yang berusia di bawah 5 tahun. Salah satu penyebabnya adalah daya tahan tubuh mereka yang masih berkembang, sehingga belum sekuat anak yang lebih besar.
"Mungkin sampai dengan usia 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, kita bisa mengusahakan anak lebih jarang sakit karena kita keep dia di rumah, tidak keluar kalau tidak perlu. Tapi waktu mereka sudah di atas 2 tahun, biasanya mulai tuh diajak ke playground, ada yang mulai masuk PAUD, atau ada orang tua yang harus kembali bekerja dan anaknya di tempat perlindungan anak atau daycare," jelasnya.
Seiring meningkatnya aktivitas di luar rumah, risiko terpapar virus pun ikut naik. Virus penyebab batuk pilek mudah menyebar, apalagi di lingkungan dengan banyak anak. Sementara itu, tangan anak-anak yang belum bisa dikontrol sepenuhnya kerap menyentuh berbagai permukaan, lalu menyentuh wajah atau mulut mereka sendiri tanpa mencuci tangan terlebih dulu—membuka peluang masuknya virus ke dalam tubuh.
Perhatikan gejala dan suhu tubuh anak
Sering kali, batuk dan pilek pada anak datang tanpa tanda-tanda yang jelas. Belum ada demam, belum batuk keras, tapi suara anak mulai terdengar bindeng. Dalam kondisi seperti ini, tak sedikit orang tua yang menganggapnya sepele dan tetap membiarkan anak bermain bersama teman-temannya. Padahal, inilah momen awal di mana penularan bisa terjadi.
Gejala awal seperti ini penting dikenali sejak dini. Tak hanya soal ada atau tidaknya demam, tapi juga bagaimana keluhan itu berdampak pada aktivitas anak. Walaupun suhu tubuh normal, batuk pilek tetap bisa mengganggu tidur, selera makan, dan konsentrasi bermain atau belajar.
"Dibawa berobat kalau sudah demam, tidurnya mulai terganggu atau makannya yang terganggu. Jadi sebelum ada keluhan, bisa diatasi dulu di rumah," kata dr. Ayu.
Upaya awal yang bisa dilakukan orang tua di rumah antara lain dengan memperkuat daya tahan tubuh anak melalui nutrisi yang cukup dan memastikan mereka minum cairan yang cukup. Tak kalah penting, anak juga perlu diajarkan tata krama batuk dan bersin, seperti menutup mulut dengan siku atau tisu, untuk mencegah penularan ke orang lain.
Jika demam mulai muncul, penanganan bisa dilakukan dengan obat-obatan yang dijual bebas, asalkan disesuaikan dengan gejala dan kondisi anak secara umum. Namun, lebih dari sekadar meredakan gejala, orang tua perlu peka terhadap tanda-tanda awal agar masalah tak berkembang lebih jauh.
"Jadi pentingnya kita sebagai parents untuk mengetahui gejala awal, walaupun memang mungkin belum mengganggu, tapi kan ini berpotensi jadi mengganggu. Dan begitu jadi mengganggu, akan panjang ceritanya, bisa komplikasi ke mana-mana, anaknya jadi tidak nyaman sehingga mengganggu aktivitas," lanjutnya.
Produk baru dari Combiphar

Combiphar menghadirkan produk terbarunya "OB Combi Anak Batuk Pilek", dengan rasa stroberi yang diformulasikan khusus untuk meredakan gejala batuk pilek tanpa demam pada anak. Acara peluncuran ini digelar di Jakarta pada Selasa (29/07/2025).
"Kehadiran OB Combi Anak Batuk Pilek melengkapi rangkaian produk OBH Combi Anak, setelah sebelumnya hadir varian Batuk Flu yang ditujukan untuk meredakan gejala batuk, flu, dan demam. Varian terbaru yang diperkenalkan hari ini kami hadirkan sebagai jawaban bagi para ibu yang membutuhkan solusi khusus untuk batuk pilek tanpa demam, yang sering dialami anak-anak," imbuh Sandi Wijaya, GM Marketing Consumer Healthcare Combiphar.
Obat ini diformulasikan dengan kombinasi pseudoephedrine HCI, dextromethorphan HBr, dan chlorphenamine maleate, yang akan membantu meredakan batuk kering, hidung tersumbat, dan bersin.
Rangkaian produk OBH Combi Anak dipastikan diproduksi melalui teknologi modern dan menggunakan bahan alami yang kualitasnya terjamin sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produk juga aman dikonsumsi sesuai aturan pakai dan telah terdaftar resmi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta mengantongi sertifikasi Halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).