Gejala Monkeypox Lebih Sering Ditemukan di Lokasi yang Tak Biasa

Tetap waspada walau bukan penyakit baru

Pada 27 Juli lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menetapkan cacar monyet atau monkeypox sebagai darurat kesehatan masyarakat global. Walau belum ada kasus yang terkonfirmasi di Indonesia, kita tetap harus waspada.

Tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya cacar monyet bukan penyakit baru. Faktanya, kasus pertama cacar monyet pada manusia terjadi pada bayi laki-laki berusia 9 bulan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970.

Untuk meningkatkan awareness, Health Talk kali ini mengangkat tema "Memahami Cacar Monyet yang Menjadi Darurat Kesehatan Global" pada Kamis (11/8/2022) dan ditayangkan langsung di Instagram @idntimes.

Narasumber yang dihadirkan ialah dr. Hanny Nilasari, SpKK(K), FINSDV, FAADV, selaku Ketua Satgas Monkeypox PB IDI. Simak sampai akhir, ya!

1. Mengulik sejarahnya, ini bukan penyakit baru

Mundur ke puluhan tahun silam, tepatnya pada tahun 1958, sekelompok kera mengalami gejala kelainan kulit yang mirip cacar air. Namun, kasus pertama cacar monyet pada manusia dialami oleh bayi laki-laki berusia 9 bulan di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1970.

"Nah, di awal Mei tahun 2022, beberapa negara melaporkan kasus monkeypox yang terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat bepergian ke daerah terduga endemi. Peningkatan kasusnya cukup signifikan dan juga sudah mulai ditemukan di negara-negara ASEAN, meski di Indonesia belum ada kasusnya. Sehingga, perlu ada antisipasi untuk (menghadapi) ancaman kesehatan global," tegas dr. Hanny.

2. Perbedaan cacar monyet sekarang dan puluhan tahun silam

Mengingat ini bukan penyakit baru, apa perbedaan cacar monyet sekarang dengan yang dulu? Menurut dr. Hanny, secara klasik, manifestasinya sama. Namun, cacar monyet zaman dahulu gejalanya muncul secara bersamaan dalam satu waktu.

"Di beberapa laporan terdahulu, kelainan kulitnya berupa bintil-bintil atau lenting-lenting yang ada nanahnya. Pada outbreak tahun 2022 ini, (gejalanya) lebih sering ditemukan di lokasi yang tidak biasa. Misalnya, di mukosa genital dan mukosa anus," jelasnya.

3. Ditularkan secara zoonosis dan kontak erat antar manusia

Gejala Monkeypox Lebih Sering Ditemukan di Lokasi yang Tak Biasailustrasi berpelukan (unsplash.com/Natalie Runnerstrom)

Penyebab cacar monyet adalah virus yang digolongkan dalam genus orthopox dan famili poxviridae. Ini adalah virus DNA berantai ganda yang penularan utamanya melalui zoonosis (dari hewan ke manusia).

"Kasus transmisi antar manusia diduga lebih sedikit dibandingkan dengan zoonosis. Dan pada beberapa laporan dinyatakan bahwa manifestasi klinisnya tidak terlalu berat," terang dr. Hanny.

Namun, dari manusia ke manusia juga bisa. Terutama yang kontaknya erat dan lama, yang melibatkan mukosa dengan mukosa atau kulit dengan kulit. Menurut teori terbaru, droplet dan kontaminasi di benda-benda seperti seprai atau alat mandi ternyata bisa menularkan walau persentasenya tidak terlalu besar.

4. Gejala-gejala yang paling sering dilaporkan

Gejala Monkeypox Lebih Sering Ditemukan di Lokasi yang Tak Biasailustrasi demam (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Masa inkubasi cacar monyet berlangsung antara 5 sampai 21 hari. Pada periode waktu tersebut, tidak akan menular ke orang lain. Cacar monyet baru menular ketika kelainan di kulit muncul.

"Manifestasi klinis yang paling sering diderita oleh pasien adalah demam, sebanyak 62 persen. Selain itu, 56-60 persen (mengalami) limfadenopati dan kadang-kadang disertai nyeri tenggorok," ujar dokter yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Universitas Indonesia ini.

Sekitar 24-40 persen mengalami gejala seperti infeksi virus biasa, misalnya lemas, nyeri otot, dan nyeri kepala. Dokter Hanny mengatakan bahwa kelainan kulit baru muncul setelah gejala-gejala di atas mulai reda.

Kelainan kulitnya berupa lenting, diikuti dengan bintil bernanah, dan berakhir dengan keropeng. Lokasinya biasanya dimulai di wajah lalu menyebar secara sentrifugal ke area ekstremitas (anggota gerak), kemudian ke telapak tangan dan telapak kaki. Mukosa juga bisa terkena, seperti mukosa mulut, mata, kelamin, dan perianus.

Baca Juga: Cacar Monyet Bersifat Self-Limiting dan Bisa Sembuh Sendiri

5. Beberapa kelompok lebih rentan daripada yang lain

Ada beberapa kelompok yang harus lebih waspada terhadap cacar monyet, yaitu anak-anak, ibu hamil, orang tua (geriatri), serta orang-orang dengan imunitas rendah, seperti pengidap penyakit kronis, kanker, dan mereka yang sedang mengonsumsi obat-obatan yang menurunkan daya tahan tubuh.

Mengapa anak-anak adalah kelompok rentan? Ini karena imunitasnya belum sekuat orang dewasa dan bisa mengganggu tumbuh kembangnya. Apalagi kalau kelainannya terjadi di mukosa mulut dan membuat anak sulit makan atau menelan.

6. Dalam beberapa kasus, bisa menyebabkan komplikasi

Menurut dr. Hanny, komplikasi terbanyak adalah yang menyerang kulit. Terutama selulitis, yaitu infeksi bakteri yang berat, bahkan sampai ke jaringan di bawah kulit.

"Komplikasi lainnya adalah scar atau bekas, kalau kita bilangnya bopeng. Jadi, ketika infeksi virusnya hilang, maka akan meninggalkan bekas, bisa berupa scar atau bercak-bercak hitam (hiperpigmentasi) atau bercak-bercak putih (hipopigmentasi)," tukasnya.

Bisa juga komplikasi di area gastrointestinal seperti muntah atau diare yang berpotensi menimbulkan dehidrasi berat. Pada kasus yang langka, mungkin terjadi luka yang menetap di kornea mata dan menyebabkan kebutaan.

Selain itu, mungkin menyerang paru-paru dan menyebabkan bronkopneumonia. Terakhir, bisa menyebabkan sepsis yang mana infeksinya menyebar ke seluruh tubuh, bahkan sampai ke otak (ensefalitis).

7. Harus segera ke dokter apabila mengalami gejala-gejala yang telah disebutkan

Gejala Monkeypox Lebih Sering Ditemukan di Lokasi yang Tak Biasailustrasi dokter dan pasien (pexels.com/cottonbro)

Pada akhir live streaming, dr. Hanny menegaskan bahwa orang yang mengalami gejala-gejala yang telah disebutkan harus segera ke dokter untuk memeriksakan diri. Lalu, dokter akan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh.

Seperti memeriksa suhu, mengidentifikasi kelainan kulit, serta mengambil spesimen atau sampel. Ini bisa dilakukan dengan usap tenggorok atau swab lesi kulit. Setelah itu, sampel akan dikirim ke laboratorium untuk memastikan apakah ini cacar monyet atau bukan.

Baca Juga: 5 Gejala Cacar Monyet yang Kini Menjadi Wabah Global

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya