"Dilaporkan korban meninggal sebanyak 24 orang dari seluruh kabupaten. Satu di antaranya adalah bayi usia 3 hari yang terdapat di kecamatan Bintang," ujar dr. Sulasmi, SpA, Anggota IDAI Aceh dalam acara "Update Situasi Kesehatan di 3 Wilayah Bencana Sumatra" di Jakarta, pada Senin (22/12/2025).
Bayi Usia 3 Hari jadi Korban Meninggal Bencana Banjir di Aceh Tengah

- Sebanyak 24 orang meninggal akibat banjir di Aceh Tengah, termasuk bayi usia 3 hari.
- Ribuan pengungsi belum bisa pulang karena rumah tak layak atau terkubur longsor.
- Sebanyak 458 bayi dan anak menjadi pengungsi, sementara 68 puskesmas tidak beroperasi.
Salah satu anggota dari Ikatan Dokter Anak Indonesia yang tengah melakukan pelayanan di Aceh Tengah menyebut bahwa terdapat 24 orang yang meninggal di sana, yang mana satu di antaranya adalah bayi usia 3 hari.
Ribuan pengungsi belum kembali ke rumah
Aceh Tengah diketahui memiliki 14 kecamatan dengan 295 desa. Saat ini terdapat 66 titik pengungsian dengan ribuan warga yang masih belum bisa kembali ke rumahnya, entah karena sudah tidak layak atau terkubur akibat tanah longsor.
"Sebanyak 16.440 warga di pengungsian masih belum bisa kembali ke rumahnya dengan alasan rumah yang sudah tidak layak lagi, rumah yang sudah dibawa oleh arus air dan juga tertimbun longsor," imbuh dr. Sulasmi.
Adapun bayi usia 3 hari yang meninggal dunia tersebut berasal dari Kecamatan Bintang, yang letaknya terisolir di ujung danau, di mana sampai saat ini akses darat belum bisa dilalui, hanya bisa melalui danau.
Ada 458 pengungsi bayi dan anak

Dokter Sulasmi juga bercerita bahwa pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bekerja sama dengan beberapa stakeholders mengevakuasi warga yang selamat pada hari kedua bencana.
Di antara ribuan pengungsi, terdapat 458 bayi dan anak. Ada juga satu kecamatan di Aceh Tengah yang masih terisolir penuh, yang mana belum ada akses yang aman untuk bisa sampai ke sana, kecuali melalui udara.
Medan sulit dijangkau
Dari 84 unit puskesmas yang ada di sana, sebanyak 68 tidak dapat beroperasi karena daerah ini memang sangat sulit dilalui. Kondisi geografinya yang dipisahkan sungai yang lebar, membuat nakes dan relawan di sana harus melewati sling.
"Kami memiliki rumah sakit yang alhamdulillah masih beroperasi sampai dengan saat ini, malah sebelumnya tidak ada kendala banjir yang menimpa. Namun, saat ini kami memiliki kesulitan dalam obat-obatan dan oksigen," lanjut dr. Sulasmi.
Sling penyberangan merupakan alat penyebrangan darurat berupa tali yang dibentangkan di atas sungai, digunakan warga di daerah terpencil saat jembatan belum tersedia atau rusak.
"Jadi sampai saat ini kami sudah turun ke 10 daerah terisolir dengan medan yang cukup sulit, bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan beberapa profesi lain termasuk psikolog, klinis, dan apoteker," ujarnya.
IDA Aceh sudah melayani kurang lebih 580 anak di pengungsian. Mereka juga memberikan trauma healing, makanan tambahan sampai sembako. Namun, untuk beras, mereka mengaku masih kesulitan sehingga diganti dengan sumber karbohidrat lainnya.


















