Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

11 Penyakit Neurologis Langka, Serang Sistem Saraf

anak dari suku Fore yang menderita penyakit kuru (commons.wikimedia.org/Liberski PP)

Menurut National Library of Medicine, ada lebih dari 600 kelainan neurologis (sistem saraf) yang berhasil diidentifikasi, salah satunya penyakit Alzheimer. Penyakit yang menyerang sistem saraf ini sebenarnya bisa memengaruhi siapa pun dan baru terdeteksi pada kemudian hari dalam hidup seseorang. Selain itu, penyakit neurologis langka lainnya ada myotonia congenita (penyakit Thomsen) atau penyakit Wilson, yang merupakan kelainan genetik yang diturunkan dari DNA orangtua.

Nah, beberapa kelainan neurologis ini sangatlah langka hingga luput dari perhatian masyarakat. Beberapa di antaranya hanya dialami oleh 1 dari setiap 100 ribu orang atau bahkan 1 dari 1 juta orang. Di sisi lain, penyebab dari setiap kelainan neurologis ini sangat bervariasi. Beberapa di antaranya memang bersifat genetik, tapi ada pula yang disebabkan oleh trauma kepala, paparan zat kimia, atau alkoholisme parah.

Apa pun penyebabnya, tidak ada seorang pun yang ingin menjadi 1 di antara 100 ribu atau 1 juta orang yang mengidap penyakit langka tersebut. Namun, mudah-mudahan dengan memahami sedikit tentang beberapa penyakit neurologis langka ini, kita bisa lebih welas asih terhadap mereka yang harus menjalani hidup dengan penyakit-penyakit yang menyakitkan dan langka ini. Mari, kita bahas!

 

1. Penyakit Krabbe

ilustrasi lapisan mielin dalam kasus leukodistrofi Krabbe (commons.wikimedia.org/Jensflorian)

Sel-sel saraf dalam tubuh manusia memiliki semacam selaput atau lapisan pelindung yang disebut selubung mielin. Selubung mielin ini terdiri dari lemak dan protein yang membungkus sel saraf. Sel saraf ini mengirimkan pesan ke otak kita agar sistem saraf pusat dapat berfungsi dengan sempurna. 

Nah, penyakit Krabbe adalah kelainan langka yang merusak selubung mielin. Jadi, jika bagian sel saraf ini rusak atau hilang, sel-sel saraf tidak mampu mengirimkan informasi ke otak dengan cepat dan efektif. Penyakit Krabbe umumnya didiagnosis pada masa kanak-kanak, biasanya sekitar usia 5 tahun. 

Penyakit Krabbe sendiri diwarisi melalui gen yang menyebabkan mutasi pada enzim galactocerebrosidase. Di sisi lain, satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya kelainan ini ialah dengan tidak memiliki anak bagi seseorang yang memiliki gen tersebut. Untuk mengetahui hal ini, seseorang harus melakukan uji pemetaan genetik. 

Dampak dari penyakit Krabbe sendiri bisa dibilang sangat parah dan jarang terjadi. Gejalanya seperti mengalami kehilangan penglihatan, tuli, menurunnya fungsi kognitif, dan gagal pernapasan. Sayangnya, belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit Krabbe. Tak cukup di situ, penyakit ini juga bisa berakibat fatal. Meski ada beberapa pengobatan yang efektif untuk menangani beberapa gejalanya, masih ada risiko komplikasi serius bagi mereka yang gagal dalam pengobatan tersebut.

2. Locked-in syndrome

ilustrasi seseorang mengalami kelumpuhan (pixabay.com/Steve Buissinne)

Ada penyakit bernama locked-in syndrome. Kondisi ini membuat penderitanya tidak bisa bergerak sama sekali, kecuali mengedipkan mata. Locked-in syndrome sendiri terjadi akibat cedera otak traumatis, kerusakan saraf, dan overdosis obat tertentu.

Sejauh ilmu kedokteran saat ini, kelainan sistem saraf tersebut tidak dapat disembuhkan dan belum diketahui pengobatan yang efektif. Namun, ada beberapa pengobatan otot untuk meringankan gejalanya. Berkat perkembangan teknologi, penderita locked-in syndrome bisa berkomunikasi menggunakan semacam perangkat canggih.

Locked-in syndrome ini sempat viral pada 2022. Ini karena seorang penderita locked-in syndrome bernama Lacey Fletcher ditemukan meninggal dunia dengan tubuh yang telah membusuk dan dipenuhi kotorannya sendiri di sofa ruang tamu rumahnya. Selain itu, tubuhnya dipenuhi gigitan serangga, sebagaimana yang dilaporkan The New York Post.

Di samping itu, Fletcher memang sudah lama mengalami kelainan neurologis ini. Ia tidak bisa berbicara atau bergerak. Keluarganya, terutama orangtuanya, tidak mau mengurusnya dan sering meninggalkannya sendiri. Alhasil, kedua orangtua Fletcher didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua.

3. Agnosia

ilustrasi seseorang mengalami kebingungan (unsplash.com/Sander Sammy)

Bayangkan jika kamu pernah melihat wajah seseorang, tetapi kamu tidak bisa mengingat namanya. Bayangkan juga kamu mendengar suara dari orang sekitarmu, tapi kamu tidak mengenali suara siapa itu. Nah, kondisi ini disebut agnosia atau ketidakmampuan mengenali sesuatu lewat pancaindra.

Agnosia ada dalam tiga bentuk: visual, auditori, dan taktil. Agnosia visual terjadi ketika penderita dapat melihat suatu objek, tetapi tidak dapat mengidentifikasinya. Lebih jelasnya, penderita bisa melihat wajah orang yang dicintainya, tapi dia tidak tahu siapa orang tersebut. Agnosia auditori adalah ketidakmampuan penderita memproses suara. Penderita dapat mendengarnya, tapi tidak tahu apa jenis suara itu atau siapa yang mengeluarkan suara tersebut. Terakhir, ada agnosia taktil, penderita kesulitan mengidentifikasi suatu objek lewat sentuhan. Dengan kata lain, penderita mampu merasakannya, tapi tidak tahu apa itu sebenarnya. 

Lalu, apa yang menyebabkan seseorang menderita agnosia? Nah, kemungkinan besar ada kerusakan pada lobus parietal, yang merupakan bagian penting dari otak untuk memahami dunia di sekitar kita. Bisa juga adanya kerusakan pada lobus oksipital, bagian otak yang bertanggung jawab untuk menafsirkan informasi yang dilihat mata. Kerusakan ini bisa terjadi akibat trauma kepala, stroke, kekurangan oksigen, atau keracunan karbon monoksida.

Sayangnya, tidak ada pengobatan untuk kondisi ini. Pada sebagian besar kasus, penderita agnosia bisa sembuh. Namun, penyembuhannya tergantung pada beberapa faktor, seperti apa yang menjadi penyebabnya.

4. Sindrom paraneoplastik neurologi

ilustrasi sel kanker (unsplash.com/National Cancer Institute)

Mengidap kanker sudah menjadi mimpi buruk bagi seseorang. Namun, bagaimana jika hal ini diperburuk dengan beberapa kelainan neurologis yang disebabkan oleh sel kanker itu sendiri? Penyakit ini secara kolektif dikenal sebagai sindrom paraneoplastik neurologi. Penyakit langka ini memengaruhi otak, saraf, atau sumsum tulang belakang pada tubuh. 

Kondisi ini bukan disebabkan oleh tumor atau sel kanker itu sendiri, melainkan respons tubuh terhadap tumor. Pasalnya, sistem kekebalan tubuh akan bekerja lebih keras untuk melawan tumor. Hal inilah yang merusak berbagai bagian sistem saraf pusat.

Meski kerusakannya kecil atau tidak terdeteksi, dalam kasus yang jarang terjadi kerusakan ini dapat berdampak sangat parah. Dalam kasus ini, sistem kekebalan tubuh, yang bekerja untuk melindungi tubuh, justru menyebabkan kerusakan pada tubuh ketimbang gejala yang ditimbulkan oleh tumor itu sendiri.

Gejala yang ditimbulkan sangatlah bervariasi, salah satunya polymyositis atau polimiositis, yang merupakan peradangan otot. Selain itu, penyakit ini juga melemahkan otot bahu dan pinggul. Lalu, penderitanya mengalami masalah penglihatan, kesulitan menyeimbangkan tubuh, dan sejumlah gejala lain. Perawatan untuk kondisi ini juga bervariasi tergantung pada penyakit mana yang didiagnosis. Para ahli medis sepakat bahwa karena tumor adalah katalisnya, tumor tersebut harus segera diangkat.

5. Penyakit Batten

ilustrasi anak kecil bermain balok kayu (unsplash.com/Marisa Howenstine)

Penyakit Batten sering kali terdeteksi pada bayi atau anak usia dini. The Boston Children's Hospital menyatakan bahwa kondisi yang sangat langka ini diperkirakan hanya terjadi pada 14 ribu anak di seluruh dunia. Sayangnya, penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan banyak anak yang didiagnosis akan meninggal pada usia muda. Ada yang bertahan hingga remaja dan hanya sedikit yang bisa hidup hingga usia awal dua puluhan. 

Penyakit Batten dapat menyebabkan penurunan kinerja pada sistem saraf pusat. Penderita juga akan mengalami berbagai masalah neurologis, mulai dari kehilangan penglihatan hingga kejang-kejang. Selain itu, anak juga kehilangan kemampuan bahasa atau motoriknya. Penyakit Batten terjadi karena faktor mutasi pada sekelompok gen yang dikenal sebagai gen neuronal ceroid lipofuscinosis (NCLs).

6. Ataksia

ilustrasi alkoholisme (pixabay.com/Michal Jarmoluk)

Jika kamu melihat seseorang bicaranya tidak jelas dan terbata-bata, kamu mungkin mengira kalau orang itu sedang mabuk. Benarkah selalu begitu? Namun, bagaimana jika ada penyakit yang menyebabkan seseorang mengalami hal serupa?

Ataksia adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan pada otak kecil. Bagian otak ini mengontrol pergerakan tubuh. Adapun, jika terganggu, hal ini bisa memengaruhi cara kerja tubuh. Penyakit degeneratif ini dapat membatasi pergerakan anggota tubuh dan jari tangan penderitanya. Ataksia juga membuat penderitanya kesulitan bicara atau suaranya terdengar tidak jelas. 

Ataksia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya keturunan meski hal ini sangat jarang terjadi. Ada juga karena reaksi dari suatu pengobatan tertentu. Mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kondisi ini, begitu pula karena terpapar zat kimia tertentu. 

Ataksia adalah suatu kondisi degeneratif yang sering kali dapat menyebabkan kematian dini. Perawatan untuk ataksia dilakukan berdasarkan gejalanya. Ini berarti ada obat-obatan tertentu untuk meringankan gangguan yang disebabkan oleh ataksia, contohnya obat untuk mengatasi masalah gejala kram otot dan pusing.

7. Penyakit Pick

ilustrasi hilang ingatan (pixabay.com/Gerd Altmann)

Lebih dikenal dengan frontotemporal dementia (FTD) atau frontotemporal lobar degeneration (FTLD), penyakit Pick adalah gangguan neurologis langka yang memengaruhi bagian otak tertentu. Meski beberapa gejalanya mirip dengan penyakit Alzheimer, penyakit Pick justru memiliki banyak karakteristik yang berbeda. Nah, Alzheimer dan Pick memang gejala utama demensia, tapi ada perbedaan utama dari kedua penyakit tersebut yang dapat diketahui sejak dini. 

Pada pasien dengan penyakit Pick, akan terlihat masalah perilaku sebelum adanya tanda-tanda kehilangan ingatan. Di samping itu, penyakit Pick terjadi sangat lambat. Jadi, perubahan perilaku tidak langsung terlihat. Nah, biasanya, perubahan perilaku ini meliputi: ketidakmampuan untuk mengerjakan sesuatu, perilaku impulsif (melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang), tidak bisa menjaga kebersihan, dan perubahan karakter lainnya. Ditambah lagi, penyakit Pick ternyata bisa mengecilkan otak. Hal ini akan menurunkan efektivitas kerja otak.

Tak berhenti sampai di situ, penyakit ini dapat menimbulkan masalah perilaku yang parah, seperti tidak bisa mengendalikan diri, dan masalah disosiatif dengan orang lain. Beberapa penderita penyakit Pick juga akan kesulitan berbicara atau tidak memahami omongan orang lain. Mereka biasanya akan mengulangi perkataan orang lain, atau hanya diam saja jika diajak ngobrol.

Tidak ada obat untuk penyakit Pick. Namun, dokter hanya akan membantu mengendalikan masalah perilaku yang dialami pasien. Ini menjadi pengobatan yang paling umum dilakukan.

8. Mikrosefali

ilustrasi bayi penderita mikrosefali (kiri) dan bayi dengan ukuran kepala normal (commons.wikimedia.org/Centers for Disease Control and Prevention)

Dari setiap beberapa ribu kelahiran, seorang bayi akan terlahir dengan kondisi mikrosefali. Kelainan ini membuat ukuran kepala bayi lebih kecil dari bayi normal. Ada beberapa penyebab seorang bayi terlahir dengan mikrosefali, yaitu virus Zika, malnutrisi pada janin, dan trauma janin.

Beberapa bayi yang terlahir dengan kondisi mikrosefalus biasanya akan tumbuh secara normal dan tidak mengalami gejala atau masalah lain saat tumbuh dewasa. Namun, ada pula yang mengalami kelumpuhan otak atau menderita kejang-kejang. Selain itu, kemampuan belajar pada anak penderita mikrosefali juga akan terganggu. 

Selain itu, tidak ada cara untuk mendiagnosis mikrosefali di dalam rahim. Setelah lahir, kepala bayi diukur dan diperiksa berdasarkan standar yang telah ditetapkan WHO. Itu sebabnya, dokter anak akan mengukur kepala bayi secara rutin untuk memastikan apakah ukuran kepala bayi berkembang normal atau tidak.

9. Sindrom Rett

seorang balita perempuan yang mengidap sindrom Rett (commons.wikimedia.org/Ingridplg)

Sindrom Rett menyerang balita pada usia 12 hingga 18 bulan. Gejala dari kondisi ini antara lain hilangnya kemampuan berjalan, merangkak, dan berkomunikasi pada seorang balita. Tidak hanya itu, sindrom Rett juga dapat menyebabkan masalah jantung, kejang-kejang, dan gejala menyedihkan lainnya yang membuat orangtua patah hati.

Penyakit langka ini kebanyakan menyerang perempuan. Akan tetapi, sindrom Rett sering kali salah didiagnosis dan dianggap sebagai autisme. Ini karena gejala pertama yang muncul memang mirip seperti autisme.

Penderita yang hidup hingga dewasa sebenarnya bisa melakukan beberapa aktivitasnya sendiri, seperti makan sendiri dan ke toilet tanpa bantuan. Selain itu, pengidap sindrom Rett juga mampu mengekspresikan spektrum emosinya dan memahami banyak hal. Sayangnya, kemampuan bicara mereka terganggu.

10. Bobble-head doll syndrome

ilustrasi boneka bobble-head (commons.wikimedia.org/SS2027)

Bobble-head doll syndrome adalah kondisi saat pengidapnya tidak bisa mengendalikan kepalanya. Biasanya, pengidap kelainan ini akan menganggukkan kepalanya ke atas dan ke bawah atau ke kanan dan ke kiri secara tak terkendali setiap beberapa detik sekali. Nah, seperti nama sindrom ini, gejalanya memang mirip seperti boneka bobble-head

Penyakit ini sangat langka dan hanya terdapat 57 kasus yang didokumentasikan sejak 1966, seperti laporan yang dikonfirmasi The National Library of Medicine. Penyakit ini pertama kali diketahui pada pasien berusia 26 tahun. Akan tetapi, rata-rata terjadinya penyakit ini pada usia 3 tahun. 

Penyakit ini terjadi karena adanya tekanan berupa benjolan berisi cairan di dalam otak. Saat benjolan ini terus membesar, tekanan ini dirasakan di berbagai bagian tubuh lainnya sehingga membuat kepala tidak stabil. National Organization for Rare Disorders melaporkan bahwa benjolan tersebut juga dapat menyebabkan hidrosefalus, yang lebih dikenal sebagai cairan di otak. Oleh sebab itu, salah satu pengobatannya ialah operasi pengangkatan benjolan atau membuang cairan tersebut. 

11. Kuru

anak dari suku Fore yang menderita penyakit kuru (commons.wikimedia.org/Liberski PP)

Kuru termasuk dalam kategori penyakit menular yang disebut transmissible spongiform encephalopathies (TSE). Juga dikenal sebagai penyakit prion, TSE menyerang area otak kecil. Kuru atau TSE terjadi ketika otak terpapar prion, yaitu protein abnormal yang berkembang biak dengan cepat di dalam tengkorak manusia. Prion ini menempel pada bagian otak dan menghambat fungsi kerja otak.

Mereka yang mengidap kuru akan menderita masalah mobilitas (seperti kelumpuhan), bicaranya tidak jelas, demensia, dan ototnya mengalami kedutan. Penderitanya pun bisa meninggal bila kehilangan kemampuan untuk menelan. Sementara itu, penderita yang mampu bertahan akan terkena pneumonia. 

Penyakit ini sangat mengerikan dan hanya terjadi jika seseorang melakukan kanibalisme. Masalahnya, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, prion akan masuk ke sistem otak manusia ketika seseorang memakan otak manusia lain yang terinfeksi. Penyakit ini mirip penyakit sapi gila versi manusia.

Penyakit kuru paling banyak ditemukan di New Guinea atau Papua Nugini di antara suku Fore pada pertengahan abad ke-20. Sebagai bagian dari ritual keagamaan, suku ini memang memakan bagian tubuh kerabat mereka yang telah meninggal, termasuk otaknya. Penyakit ini terdeteksi ketika banyak orang dari suku Fore yang menderita kejang-kejang dan tertawa tidak henti. Sementara itu, pemerintah di New Guinea sudah melarang praktik tersebut. Saat ini, kasusnya sudah cukup jarang terjadi mengingat penyakit ini baru memiliki masa inkubasi hingga 30 tahun.

Tidak ada kenikmatan lain di dunia ini, selain kesehatan. Ya, kekayaan saja tidak cukup jika kesehatan jasmani dan rohani tidak bisa kita nikmati dengan baik. Oleh sebab itu, menjaga kesehatan menjadi kunci utamanya. Semoga informasi di atas bisa membantu kita memahami penyakit langka terkait sistem saraf ini. Selain itu, semoga kita semua terhindar dari penyakit-penyakit langka di atas, ya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us