Kilas Balik Epidemi SARS Tahun 2003, Ini Bedanya SARS dengan COVID-19

Sejak bulan Maret 2020, Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19. Namun, ingatkah kamu dulu akan wabah severe acute respiratory syndrome (SARS) pada tahun 2003 silam?
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan SARS sebagai ancaman global. Berdasarkan laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), tahun 2003, epidemi SARS telah menginfeksi lebih dari 8.000 orang dan sebanyak 774 orang meninggal dunia sebelum akhirnya wabah tersebut berhasil dikendalikan. Belum ada laporan kasus SARS baru sejak tahun 2004.
SARS dan COVID-19 disebabkan oleh virus yang sama, yaitu virus corona atau coronavirus. Meski demikian, ada beberapa perbedaan antaranya keduanya. Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa wabah SARS tahun 2003 lebih cepat ditangani dibanding dengan COVID-19, atau mungkin kamu bertanya-tanya mana di antaranya keduanya yang lebih berbahaya.
Simak terus penjelasan di bawah ini untuk mengetahui perbedaan antara SARS dan COVID-19.
1. SARS dan COVID-19 sebenarnya memiliki banyak persamaan

Sebelum mengetahui tentang perbedaan antara SARS dan COVID-19, ada baiknya untuk mengetahui apa saja persamaannya.
- Keduanya ditransmisikan lewat droplet melalui batuk, bersin, atau ketika seseorang berkontak dengan permukaan benda yang terkontaminasi
- Bisa menyebabkan seseorang mengalami gejala berat sampai membutuhkan oksigen atau ventilator mekanik
- Orang yang terinfeksi bisa mengalami perburukan gejala dalam perjalanan penyakitnya
- Memiliki faktor risiko yang sama, yaitu golongan lansia dan orang dengan penyakit penyerta
- Tidak ada pengobatan khusus
Di sisi lain, kedua penyakit tersebut juga memiliki beberapa perbedaan. Perbedaannya lebih ke arah derajat keparahan gejala dan kecepatan transmisinya.
2. Berbeda dengan COVID-19, sebagian besar kasus SARS bergejala berat

Gejala COVID-19 terdiri dari beberapa tingkat keparahan, yaitu mulai dari yang ringan sampai berat. Sementara itu, sebagian besar kasus SARS pada tahun 2003 adalah gejala berat.
Tercatat sekitar 20 persen orang dengan COVID-19 membutuhkan perawatan di rumah sakit, dengan sebagian kecil di antaranya membutuhkan bantuan ventilator. Untuk SARS, diperkirakan 20-30 persen pasien membutuhkan bantuan ventilator mekanik.
Menurut sebuah tinjauan ilmiah dalam Journal of Infection and Public Health tahun 2021, dikatakan bahwa kasus COVID-19 yang tidak bergejala memiliki proporsi sebesar 4-14 persen, sedangkan kasus yang tidak bergejala hampir tidak ditemukan pada wabah SARS. Pada suatu studi, ditemukan bukti bahwa insiden acute respiratory distress syndrome (ARDS), atau awam mengenalnya sebagai gagal napas, adalah sebesar 14,8-19,5 persen. Terdapat dua studi lain yang mengatakan bahwa insiden gagal napas pada COVID-19 sebesar 32-42 persen. Data terkait insiden gagal napas pada wabah SARS tahun 2003 tidak begitu jelas, tetapi pada suatu studi dikatakan bahwa prevalensi gagal napas untuk SARS sebesar 20-49 persen.
3. COVID-19 dapat berikatan lebih kuat dengan sel tubuh manusia dibandingkan dengan SARS

Dilansir Healthline, terdapat suatu studi yang mengatakan bahwa virus SARS dan COVID-19 berikatan dengan suatu reseptor di dalam sel tubuh manusia. Protein virus SARS dan COVID-19 berikatan dengan sel tubuh manusia dengan kekuatan yang sama.
Pada suatu studi lain, dikatakan bahwa virus corona penyebab COVID-19 dapat berikatan lebih kuat dengan reseptor sel tubuh manusia dibandingkan dengan SARS. Hal ini juga dapat menjelaskan alasan kenapa COVID-19 lebih menular dibandingkan dengan SARS.
4. Transmisi COVID-19 lebih cepat daripada SARS

Transmisi COVID-19 dikatakan lebih cepat karena jumlah virus yang bertahan di hidung dan tenggorokan cukup banyak tidak lama setelah muncul gejala. Inilah yang menyebabkan seseorang yang terinfeksi COVID-19 dapat menularkan virus ke orang lain pada fase awal perjalanan penyakit. Hal ini juga berbeda pada SARS. Peningkatan jumlah virus yang cukup tinggi atau viral load pada SARS terjadi pada fase akhir perjalanan penyakit.
CDC menyebut bahwa penularan COVID-19 dapat terjadi meskipun orang yang terpapar tidak bergejala (asimtomatik). Ini juga salah satu perbedaannya dengan SARS. Pada tahun 2003, tidak ada laporan tentang penularan virus pada orang yang belum menunjukkan gejala.
5. Pengendalian COVID-19 lebih sulit dibandingkan dengan SARS

Pelaporan kasus SARS yang terakhir adalah di tahun 2004. Semenjak itu, sudah tidak ada lagi kasus SARS yang dilaporkan. SARS berhasil dikendalikan dengan beberapa pendekatan kesehatan masyarakat antara lain deteksi dini dan isolasi, pelacakan kasus, dan pembatasan sosial. Menerapkan pendekatan tersebut pada era pandemi COVID-19 dikatakan lebih sulit. Kenapa?
- Sekitar 80 persen kasus COVID-19 bergejala ringan. Hal ini membuat orang tidak mengetahui bahwa dirinya sedang terinfeksi. Oleh karena itu, susah untuk mengetahui orang yang terinfeksi dan tidak
- COVID-19 sudah bisa menular di awal perjalanan penyakit dan pada orang tanpa gejala. Hal ini membuat sulit untuk mendeteksi dan mengisolasi orang yang terinfeksi sebelum ia menularkan virus ini ke orang lain.
- COVID-19 menyebar luas di komunitas. Berbeda dengan SARS yang lebih banyak terjadi di rumah sakit
- Pada zaman sekarang, tingkat mobilisasi orang sangat tinggi karena orang lebih mudah terkoneksi secara global dengan kecanggihan teknologi. Hal ini membuat COVID-19 mudah tersebar ke daerah atau negara lain.
Buat kamu yang bertanya-tanya kenapa wabah SARS tidak "seheboh" pandemi COVID-19, sekarang sudah paham, ya? Dari statusnya pun jelas, satu epidemi dan satu lagi pandemi.
Melihat banyaknya negara yang masih berjuang melawan pandemi COVID-19 dan masih mengalami kenaikan kasus, Indonesia tanpa terkecuali, tantangannya sangat berat. Dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dari kita sebagai bagian dari masyarakat untuk senantiasa disiplin menerapkan protokol kesehatan. Jangan lupa untuk memperkuat imun tubuh dengan pola hidup sehat dan segera mendapatkan vaksinasi COVID-19.