Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cara Etis Menceritakan Ulang Tragedi Nyata dalam Karya Sinematik

miniseri Baby Reindeer (dok. Netflix/Baby Reindeer)

Kritik pedas mengiringi perilisan film horor Indonesia berbasis tragedi nyata,Vina: Sebelum 7 Hari (2024). Ini karena banyak yang menyayangkan cara bercerita sutradara dan rumah produksi yang dianggap tak etis. Walau sudah dapat persetujuan keluarga, ada banyak hal yang dianggap mengganggu dari film tersebut.

Salah satunya penyertaan adegan eksplisit serta dominasi elemen horornya yang menimbulkan kesan upaya komodifikasi dan komersialisasi belaka atas tragedi tersebut. Padahal, banyak isu sosial seperti misogini yang bisa dieksplor lebih jauh dan bakal memperdalam naskah dan menambahkan unsur edukasi. 

Komodifikasi tragedi memang hal lumrah dalam bisnis hiburan. Namun, ada beberapa cara etis yang bisa dipakai untuk menghindari kesan eksploitatif tersebut, seperti berikut ini. 

1. Dokumenter yang sesuai realitas, tanpa dramatisasi, simplifikasi, dan distorsi

To Kill A Tiger (dok. Notion Pictures/To Kill A Tiger)

Cara paling aman untuk menceritakan ulang sebuah tragedi adalah mengemasnya dalam bentuk dokumenter. Itu karena dokumenter secara umum merupakan kumpulan laporan dan rekaman faktual dari sebuah kejadian. Tentunya untuk membuat dokumenter yang baik, dramatisasi, simplifikasi (penyederhaan), dan distorsi (perubahan yang membuat sesuatu jadi berbeda makna) harus dihindari sebisa mungkin. 

Beberapa contoh film dokumenter berbasis tragedi nyata terbaik yang pernah dirilis antara lain To Kill A Tiger (2020) dan Collective (2019). Keduanya berhasil raih nominasi Oscar karena benar-benar setia pada alur kasus yang sesungguhnya. Paling penting pula, keduanya dibuat setelah kasus benar-benar selesai sehingga tidak dibuat dengan harapan muluk untuk membantu proses penyelidikan. 

2. Menceritakannya dari sudut pandang korban

Unbelievable (dok. Netflix/Unbelievable)

Cara etik lainnya untuk menceritakan ulang tragedi dalam film adalah menulisnya dari sudut pandang korban. Terutama dalam kasus kekerasan seksual, prinsip korban tidak pernah salah harus dipegang teguh. Beberapa karya sinematik yang berhasil menggunakan prinsip tersebut adalah miniseri Baby Reindeer (2024) dan Unbelievable (2019), serta film The Tale (2018).

Baby Reindeer dan The Tale yang ditulis langsung oleh korban membuatnya terasa lebih autentik serta kontemplatif. Dengan akurat, mereka menceritakan bagaimana proses seseorang bisa jadi korban pelecehan seksual. Secara tak langsung, elemen itu bikin keduanya jadi kaya empati dan awareness. 

3. Tidak perlu menyertakan adegan kekerasan eksplisit

By the Grace of God (dok. Unifrance/By the Grace of God)

Adegan kekerasan eksplisit memang sering dipakai dalam pembuatan film. Namun, untuk kasus tragedi nyata yang difilmkan, kebanyakan sineas akan menghindari reka ulangnya karena akan mengganggu dan terasa tak etis buat penyintas serta orang terdekat mereka. Sebagai gantinya, adegan kekerasan biasanya akan ditukar dengan dialog atau adegan implisit. Ini saja sudah cukup untuk membantu penonton awam membayangkan dan merasakan kengerian yang terjadi. 

Film-film bertema #MeToo apalagi yang berbasis kisah nyata sudah menggunakan prinsip ini. Coba tonton By the Grace of God (2018) dan Holy Spider (2022) yang memilih menggunakan dialog dan adegan implisit saat harus mendeskripsikan kekerasan. Film-film fiktif seperti Promising Young Woman (2020) dan The Assistant (2019) pun menghindari adegan eksplisit tersebut dan tetap terasa ngerinya.

4. Menambahkan nilai ke dalam film, berupa edukasi dan peningkatan kesadaran

Baby Reindeer (dok. Netflix/Baby Reindeer)

Meski jelas dijadikan komoditas komersial, film-film berbasis tragedi nyata bisa dapat respek dari penonton ketika punya nilai. Nilai yang dimaksud bisa berupa unsur edukasi dan peningkatan kesadaran. Misalnya saja Baby Reindeer yang menyadarkan penonton kalau kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja tanpa pandang gender. Begitu juga dengan Unbelievable, To Kill A Tiger dan Women Talking yang menyoal kecenderungan masyarakat melakukan victim blaming ketimbang fokus mengadili pelaku. 

Film lain seperti By the Grace of God dan Athlete A, turut menyindir adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku dan korban serta ketidakadilan sistemik. I May Destroy You (2020) menelusuri trauma yang menghantui korban kekerasan seksual. Sementara, Holy Spider yang terinspirasi pembunuhan berantai di Iran pun fokus ke kritik terhadap misogini dan berupaya betul untuk tidak meromantisasi si pelaku. Dengan agenda penyertaan nilai dan peningkatan kesadaran tentang satu isu, sebuah upaya menceritakan ulang tragedi akan jauh dari kesan eksploitasi belaka. 

Mengadaptasi sebuah tragedi nyata ke dalam karya sinematik memang butuh pertimbangan matang. Izin dari pihak yang bersangkutan sudah pasti harus dipenuhi, tetapi unsur lain seperti kematangan naskah dan cara pengemasannya pun tidak bisa disimplifikasi begitu saja.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us