Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Ada Begitu Banyak Versi Film Frankenstein?

monster Frankenstein versi Christian Bale dan Jacon Elordi
monster Frankenstein versi Christian Bale dan Jacon Elordi (dok. Warner Bros/The Bride! | dok. Netflix/Frankenstein)

Mitos mengenai Frankenstein terus hidup karena kisahnya memadukan sains, ambisi, dan horor psikologis. Adaptasinya berkembang mengikuti era sehingga tiap generasi menemukan ketakutannya sendiri dalam sosok monster ciptaan Victor Frankenstein tersebut. Terbaru, kisahnya diangkat menjadi film Frankenstein (2025) arahan sutradara Guillermo del Toro yang mencuri perhatian para sinefil di seluruh dunia.

Frankenstein berkembang pesat sejak pertama kali difilmkan pada era sinema bisu. Studio film di berbagai negara melihat potensi kuat pada tema penciptaan kehidupan yang keluar dari kendali. Interpretasi baru lahir karena sutradara membawa imajinasi dan kekhawatiran zamannya ke dalam cerita klasik ini. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas kenapa Frankenstein memiliki banyak sekali versi film!

1. Terlahir dari novel legendaris yang sudah menjadi domain publik

cuplikan film Frankenstein 1931
cuplikan film Frankenstein 1931 (dok. Universal Pictures/Frankenstein)

Frankenstein terlahir dari novel karangan Mary Shelley pada 1818. Novel ini hadir sebagai kritik terhadap ambisi manusia yang ingin melampaui batas alam. Karya itu memunculkan tokoh monster yang tidak hanya menjadi simbol kengerian, tetapi juga representasi kesepian dan penolakan. Adaptasi film memanfaatkan lapisan emosi itu sebagai dasar untuk membangun kisah baru yang tetap terasa relevan.

Sebagian versi menekankan tragedi dan rasa bersalah Victor Frankenstein sementara lainnya menyorot penderitaan makhluk ciptaannya. Ragam pendekatan tersebut membuat film Frankenstein tidak pernah terasa statis. Cerita aslinya mampu menampung berbagai tafsir tanpa kehilangan esensi utamanya. Perlu diketahui, Frankenstein merupakan IP yang sudah domain publik. Artinya, siapa pun boleh mengadaptasinya menjadi film tanpa membayar hak cipta. Namun, desain visual karakternya tidak boleh sama persis terhadap satu sama lain.

2. Jadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Hollywood

cuplikan film Bride of Frankenstein
cuplikan film Bride of Frankenstein (dok. Universal Pictures/Bride of Frankenstein)

Hollywood melihat Frankenstein sebagai ikon horor yang mudah dikenali sehingga menghadirkannya berkali-kali. Studio besar membentuk citra visual klasik melalui riasan khas yang kemudian menjadi standar pop culture. Keberhasilan komersial mendorong produksi sekuel serta spin off hingga monster itu menjadi bagian penting sejarah sinema.

Era modern membawa gaya baru Frankenstein yang lebih gelap dan penuh efek visual. Produser menyesuaikan cerita agar sesuai selera penonton yang menginginkan ketegangan psikologis. Industri terus mengeksplorasi sisi ilmiah sekaligus moral dalam cerita itu untuk menegaskan relevansi tema di zaman teknologi modern. Frankenstein versi 2025 adalah contoh di mana di mana nilai filosofisnya begitu mendalam.

3. Berhasil menjadi budaya pop global

cuplikan film Frankenstein
cuplikan film Frankenstein (dok. Netflix/Frankenstein)

Budaya populer memanfaatkan tokoh ini untuk berbagai genre seperti komedi, animasi dan drama tragis. Ide tersebut membuktikan bahwa Frankenstein bisa hadir di luar konteks horor tanpa kehilangan daya tarik. Makhluk itu berubah menjadi simbol universal tentang makna pencarian identitas.

Adaptasi global menambahkan nuansa lokal yang memperkaya mitos Frankenstein. Beberapa sineas menempatkan karakter itu pada konteks sosial berbeda sehingga pesan ceritanya lebih kuat. Penonton pun merasakan kedekatan baru terhadap kisah lama itu berkat perubahan latar budaya.

4. Adanya kebabasan kreatif dari para sineas

cuplikan film Young Frankenstein
cuplikan film Young Frankenstein (dok. 20th Century Fox/Young Frankenstein)

Sutradara dan penulis skenario memiliki ruang luas untuk mengembangkan karakter dan alur cerita. Kisah penciptaan makhluk dari eksperimen ekstrem memberi peluang eksplorasi tema etika dan kemanusiaan. Variasi visual serta naratif muncul karena setiap pembuat film ingin menghadirkan kejutan baru.

Beberapa versi memperlihatkan monster sebagai korban, sementara lainnya menekankannya sebagai ancaman. Perbedaan sudut pandang itu membuat tiap Frankenstein menawarkan pengalaman unik. Kreativitas sineas mendorong keberagaman interpretasi yang menjadikan mitos ini tidak pernah kehabisan bentuk.

5. Tetap relevan mengikuti perkembangan zaman dan teknologi

Christian Bale sebagai monster Frankenstein
Christian Bale sebagai monster Frankenstein (dok. Warner Bros/The Bride!)

Teknologi sinema membuka peluang besar untuk menciptakan tampilan monster yang lebih detail. Efek praktis klasik berubah menjadi CGI kompleks yang membuat adaptasi terbaru terasa lebih hidup. Kualitas visual itu memperluas minat penonton pada kisah abad ke 19 tersebut.

Perubahan teknologi juga mempengaruhi jalannya cerita. Sineas menyesuaikan latar dan pendekatan ilmiah agar terasa masuk akal di era modern. Pengembangan itu memberi ruang naratif baru tanpa menghapus esensi tragedi Frankenstein.

Adaptasi Frankenstein terus hadir karena ceritanya mampu mengikuti zaman. Kisah itu menegaskan bahwa ambisi manusia memiliki konsekuensi yang selalu menjadi tema universal. Pada 2026, film Frankenstein bahkan akan hadir lagi. Kali ini berjudul The Bride! yang dibintangi oleh Christian Bale. Mampukah film produksi Warner Bros tersebut menyamai kesuksesan Frankenstein versi Guillermo del Toro?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Hype

See More

Kenapa Ada Begitu Banyak Versi Film Frankenstein?

26 Nov 2025, 12:36 WIBHype