5 Tuntutan Masyarakat pada Perempuan di The Apothecary Diaries

The Apothecary Diaries adalah anime berlatar kerajaan fiksi dengan unsur budaya Tiongkok (China versi masa lalu). Meskipun ceritanya berupa rekaan, latar budaya ceritanya menggunakan referensi nyata, salah satunya adalah ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan. Oleh sebab itu menjadi menarik membahas beberapa tuntutan masyarakat pada perempuan di The Apothecary Diaries.
Selain sebagai refleksi sejarah, isu ketidakadilan gender menjadi semacam kritik yang beberapa kali dilontarkan langsung oleh Maomao, sang protagonis cerita. Penasaran apa saja tuntutan masyarakat pada perempuan di The Apothecary Diaries? Silakan baca uraian lengkapnya!
1. Wajah berkulit putih

Selain pada zaman pra dan era Mao Zedong, bisa dibilang standar kecantikan perempuan China adalah berkulit putih. Tidak hanya harus seputih mungkin, kulit putih yang dimaksud juga harus mulus, bersih, dan tanpa jerawat. Itu sebabnya Maomao justru menempelkan bintik-bintik palsu pada wajahnya agar dinilai jelek dan lebih aman dari serangan pria (pemerkosaan).
Pada anime The Apothecary Diaries episode 1 inilah standar kecantikan berupa kulit putih berujung pada bencana. Produsen make up (bedak pemutih) yang abai akan keamanan bahan-bahannya menyebabkan banyak orang kehilangan nyawa. Salah satu nyawa yang hilang dalam insiden itu adalah putra kaisar yang masih bayi.
Pada kasus yang terjadi di istana dalam, hal tersebut didasarkan ketidaktahuan. Sementara itu kasus-kasus yang terjadi di distrik hiburan (daerah prostitusi tempat Maomao awalnya tinggal) merupakan pengabaian. Para perempuan di sana menukar nyawa dengan kecantikan. Maomao pun menyayangkan pilihan mereka karena pada akhirnya perempuan tadi kehilangan dua-duanya, baik nyawa maupun kecantikan.
2. Kaki kecil

Isu standar kecantikan berupa kaki kecil muncul di episode ke-9. Berbeda dengan sebelumnya, standar tersebut tidak berkaitan langsung dengan kasus kematian pelayan kompleks keraton yang muncul. Hanya saja selama analisis penyebab kematian, diungkit pula budaya menyempitkan ukuran kaki agar terlihat mungil membuat si perempuan tidak bisa berjalan normal.
Usaha mengecilkan kaki tersebut biasa dilakukan orang tua dengan mengikat kuat kaki anak perempuan mereka kemudian menjaga bentuknya dengan memakai sepatu keramik. Karena efek samping tersebut untungnya standar kecantikan yang menilai kecilnya ukuran kaki sebagai patokan sudah tidak dianut lagi. Bahkan dalam anime pun secara tersirat diinformasikan bahwa tidak semua perempuan rela mengambil risiko tersebut.
3. Menjaga kesucian

Aliran feminisme radikal jelas menentang menjadikan kesucian perempuan sebagai standar nilai perempuan. Namun aliran feminis lainnya, masih menjaga nilai-nilai tersebut dalam batas-batas tertentu. Yang akan kita soroti di sini adalah kasus perempuan raja dan perempuan di rumah prostitusi.
Perempuan di rumah prostitusi yang belum tersentuh harganya akan tinggi. Setelahnya akan menyesuaikan performa pelayanan mereka. Sementara itu perempuan raja (selir termasuk dayang) demi menjaga kesucian, mereka harus dikurung (dipisahkan dari mata publik) di istana dalam. Lelaki yang bisa masuk ke sana hanya raja, keluarga kerajaan, dan kasim (lelaki yang dihilangkan kejantanannya).
Hal tersebut diperparah dengan banyaknya jumlah selir yang bisa dimiliki raja serta aturan menjadi dayang. Seorang perempuan bisa saja harus menjaga kesuciannya puluhan tahun bahkan mungkin hingga akhir khayat. Padahal secara biologis kita tahu bahwa tidak hanya lelaki yang memiliki hormon seksual. Itu sebabnya menjaga kesucian yang dijadikan standar nilai perempuan menjadi berat sebelah. Karena praktik eksploitasi lelaki berpangkat tinggi di masa dan budaya itu tidak dibatasi secara ketat.
4. Memberi keturunan

Perempuan dituntut harus memberi keturunan. Mungkin ini tuntutan berat masyarakat pada perempuan yang masih sering kita dengar di masyarakat. Tak hanya harus memberikan keturunan, bahkan dalam latar cerita anime yang masih kental budaya patriarki ini, perempuan juga harus melahirkan seorang putra. Jika tidak, maka nilai perempuan yang bersangkutan jadi menurun.
Hal tersebut terutama disoroti pada kasus lengsernya Selir Ah Duo. Disebabkan rahimnya yang cacat setelah proses melahirkan yang pertama, ia pun tak bisa mempertahankan posisi sebagai selit tingkat atas. Meski Selir Ah Duo cukup beruntung tidak langsung dicampakkan karena hubungan persahabatannya dengan raja, tetap saja sistem pemilihan permaisuri dan ibu suri sangat didasarkan pada kemampuan perempuan bereproduksi.
5. Bersedia jadi alat politik di belakang layar

Tuntutan yang tak kalah memberatkan yaitu perempuan harus bersedia jadi alat politik di belakang layar. Kasus paling marak yaitu praktik pernikahan politik. Memang jika berkaitan dengan politik, semua orang bisa dijadikan bidak atau alat. Hanya saja peran perempuan benar-benar dibatasi.
Mereka tidak diperkenankan berperan langsung dalam dunia politik dan pemerintahan. Termasuk dalam sektor-sektor penting lainnya. Ambil contoh saja Maomao. Ia memiliki kemampuan medis lebih andal dari dokter yang bertugas di istana dalam, tetapi tetap saja tak bisa menjangkau posisi tersebut secara legal.
Latar belakang cerita anime The Apothecary Diaries adalah masyarakat yang masih kental budaya patriarki. Itu sebabnya tak heran konsep kesetaraan gender belum umum dan cerita dipenuhi dengan tuntutan masyarakat pada perempuan di The Apothecary Diaries. Meski begitu, secara keseluruhan vibes yang ditawarkan anime ini justru berupa kritik secara halus materi-materi patriarki serta kebudayaan tak masuk akal yang memberatkan perempuan.