Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Penyebab Seseorang Menjadi Workaholic, Budaya hingga Pelarian

ilustrasi bekerja (pexels.com/olly)

Beberapa dari kita mungkin merasa bekerja keras itu penting. Namun, ketika pekerjaan mulai mengambil alih seluruh waktu, sudah saatnya bertanya pada diri sendiri apakah ini murni karena dedikasi atau kecanduan kerja? Workaholic atau kecanduan kerja bukan sekadar rajin bekerja, tapi kondisi di mana kamu sulit sekali untuk berhenti, bahkan ketika sudah kelelahan.

Fenomena ini semakin sering terjadi saat ini, di mana batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin tipis. Beberapa orang bahkan merasa bersalah jika gak produktif, seolah-olah beristirahat adalah hal yang buruk. Namun, apa sebenarnya yang membuat seseorang menjadi workaholic? Berikut lima penyebab utama yang mungkin juga kamu alami!

1. Tekanan dari lingkungan dan budaya kerja

ilustrasi bekerja dalam tim (pexels.com/fauxels)

Lingkungan kerja yang kompetitif selalu menjadi pemicu seseorang menjadi workaholic. Sudah menjadi kebiasaan di kota-kota besar, bekerja lebih dari jam kerja normal dianggap sebagai standar, bahkan menjadi ukuran produktivitas. Ada anggapan bahwa semakin sibuk seseorang, semakin sukses mereka.

Selain itu, perusahaan juga memiliki ekspektasi tinggi terhadap karyawan tanpa memperhatikan keseimbangan hidupnya. Sehingga, lembur adalah hal normal dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi rekan kerja yang selalu terlihat produktif, muncul tekanan untuk terus bekerja agar gak tertinggal. Dalam situasi seperti ini, seseorang bisa merasa tertekan dan harus bekerja lebih keras lagi untuk menyesuaikan diri.

2. Rasa takut gagal atau kurang produktif

ilustrasi mengalami kegagalan (unsplash.com/jonathanrados)

Kita semua tak ingin gagal, tapi sebagian orang memiliki ketakutan berlebih terhadap kegagalan. Bahkan merasa gak cukup produktif jika tidak terus bekerja. Ini sering kali berasal dari sifat perfeksionis atau meragukan diri sendiri, di mana seseorang merasa harus terus membuktikan dirinya melalui kerja tanpa henti.

Rasa takut gagal itu bisa memicu rasa bersalah ketika mengambil cuti atau istirahat. Terus memikirkan pekerjaan meskipun sedang di luar jam kerja. Atau juga selalu merasa kurang produktif meskipun sudah bekerja lebih dari cukup. Ketakutan pada akhirnya membuat seseorang bekerja berlebihan hanya untuk mendapatkan validasi bahwa ia kompeten dalam pekerjaannya.

3. Pelarian dari masalah pribadi

ilustrasi menghadapi tekanan (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Alasan yang satu ini juga bisa menjadi pemicu workaholic. Beberapa orang menggunakan pekerjaan sebagai cara untuk menghindari masalah dalam kehidupan pribadi mereka. Alih-alih menghadapi konflik atau emosi yang sulit, mereka memilih untuk tetap sibuk agar tak perlu memikirkan hal-hal lain.

Menggunakan pekerjaan sebagai pelarian bisa menghindari masalah dalam hubungan interpersonal. Hal ini dapat menghadapi kecemasan atau ketidakpastian dalam hidup. Sehingga, seseorang merasa lebih aman dan terkontrol ketika sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun terlihat produktif, bekerja berlebihan untuk pelarian bisa memperburuk masalah jangka panjang, baik secara emosional maupun fisik, lho!

4. Mendapatkan kepuasan dan pengakuan dari pekerjaan

ilustrasi merayakan keberhasilan (pexels.com/olly)

Bagi sebagian orang, pekerjaan adalah sumber kepuasan dan identitas diri. Bisa membuatnya merasa dihargai dan diakui ketika berhasil dalam pekerjaan, sehingga semakin sulit untuk melepaskan diri darinya. Oleh karenanya, gak heran jika ia terlalu menggantungkan diri pada pengakuan dari pekerjaan tersebut. Ia akan merasa bangga ketika disebut sebagai orang paling sibuk di kantor.

Akibatnya, ia akan sulit menikmati aktivitas di luar pekerjaan karena merasa gak penting. Dirinya sibuk mencari validasi dari atasan atau klien untuk merasa berharga. Padahal ketika seluruh rasa percaya diri bergantung pada pencapaian, seseorang bisa terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir demi mendapatkan pengakuan yang terus-menerus.

5. Pengaruh dari teknologi dan kemudahan akses digital

ilustrasi perkembangan teknologi (unsplash.com/marvelous)

Teknologi yang semakin canggih membuat pekerjaan bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Hal ini bak pedang bermata dua, di satu sisi meningkatkan fleksibilitas, tapi di sisi lain membuat batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur. Nyatanya, teknologi juga berkontribusi pada kecanduan kerja.

Sesederhana, mendapatkan notifikasi terus menerus berupa surel dan pesan yang membuat seseorang merasa harus selalu responsif. Selain itu, dengan adanya laptop dan smartphone, pekerjaan bisa dibawa ke rumah, kafe, atau bahkan saat liburan. Dalam perusahaan, ada ekspektasi tak tertulis bahwa karyawan harus selalu siap kapan saja. Akibatnya, banyak orang kesulitan untuk benar-benar tenang dari gangguan pekerjaan.

Menjadi workaholic bukan sekadar soal bekerja keras, tapi kondisi di mana seseorang merasa sulit untuk berhenti bekerja. Lima hal di atas bisa menjadi penyebab workaholic yang mungkin tak kamu sadari. Selain bekerja, kamu juga tetap harus menikmati hidup, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
It's Me, Sire
EditorIt's Me, Sire
Follow Us