6 Ciri Atasan Gak Peduli pada Kesehatan Mental Karyawan, Waspada!

Di dunia kerja, kesehatan mental sering kali jadi topik yang diabaikan, terutama oleh atasan yang terlalu fokus pada target. Padahal, tekanan kerja yang berlebihan bisa menguras energi dan membuat karyawan cepat burnout. Atasan yang peduli akan memberikan ruang, dukungan, dan rasa aman bagi timnya. Tapi, kalau atasanmu justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya, ini bisa jadi red flag. Mengenali ciri-ciri ini penting supaya kamu bisa mengambil langkah melindungi diri.
Gak semua atasan paham bahwa mental karyawan sama pentingnya dengan kinerja. Beberapa justru punya mindset bahwa tekanan adalah bagian dari “mendidik” tim, tanpa sadar itu bisa merusak kesehatan mental. Kalau lingkungan kerja seperti ini dibiarkan, dampaknya bisa panjang dan merugikan produktivitas. Dengan tahu cirinya sejak awal, kamu bisa bersiap mengambil tindakan yang tepat. Berikut tanda yang perlu diwaspadai.
1. Selalu meminta lembur tanpa alasan mendesak

Atasan yang sering minta lembur tanpa pertimbangan kebutuhan sebenarnya bisa bikin karyawan kehilangan waktu istirahat. Kebiasaan ini menguras energi fisik dan mental, apalagi kalau tidak ada penghargaan atau kompensasi. Lembur yang terus-menerus juga memotong waktu untuk keluarga, hobi, atau sekadar recharge. Jika ini terjadi terus-menerus, rasa lelah bisa menumpuk dan menurunkan motivasi kerja. Lama-lama, mental pun ikut drop.
Lembur memang kadang diperlukan, tapi kalau sudah jadi rutinitas tanpa urgensi jelas, itu tanda atasan kurang peduli. Mereka cenderung menganggap waktu karyawan sepenuhnya milik perusahaan. Sikap ini menunjukkan minimnya empati dan kesadaran akan pentingnya work-life balance. Kalau sudah begitu, wajar kalau karyawan merasa terkuras secara mental.
2. Mengabaikan keluhan atau masukan

Tanda atasan gak peduli pada kesehatan mental adalah menutup telinga terhadap keluhan karyawan. Saat ada masalah di tempat kerja, respons mereka biasanya datar atau bahkan defensif. Padahal, keluhan itu sering kali jadi sinyal awal adanya masalah yang bisa memburuk kalau diabaikan. Mengabaikannya berarti membiarkan karyawan memendam beban sendiri. Akhirnya, rasa tertekan semakin kuat.
Atasan yang sehat secara kepemimpinan akan mau mendengar dan mencari solusi bersama. Tapi kalau mereka lebih sering berkata, “Sudah, jalani saja,” berarti empatinya rendah. Sikap seperti ini membuat karyawan merasa gak dihargai. Lambat laun, rasa lelah mental bisa berubah jadi keengganan untuk berkembang di perusahaan tersebut.
3. Sering menggunakan kata-kata merendahkan

Kalimat merendahkan, entah diucapkan serius atau bercanda, bisa mengikis rasa percaya diri karyawan. Atasan yang suka melontarkan sindiran atau komentar pedas biasanya tidak mempertimbangkan dampak psikologisnya. Kata-kata seperti ini bisa terasa menekan, apalagi jika diucapkan di depan orang lain. Rasa malu dan minder bisa membekas lama. Situasi kerja pun terasa gak nyaman.
Kepemimpinan yang baik membutuhkan komunikasi yang membangun, bukan menjatuhkan. Kalau atasan justru sering mengkritik tanpa memberi solusi, itu tanda kurangnya kepedulian pada mental timnya. Efeknya bisa membuat karyawan selalu merasa salah dan takut mengambil inisiatif. Dalam jangka panjang, ini menggerogoti kesehatan mental secara perlahan.
4. Menganggap cuti sakit atau cuti mental sebagai kemalasan

Beberapa atasan masih menganggap cuti sakit, apalagi cuti untuk kesehatan mental, sebagai bentuk kemalasan. Mereka menuntut karyawan tetap bekerja walau kondisi fisik atau mental sedang drop. Sikap seperti ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemulihan. Akibatnya, karyawan merasa terjebak dalam lingkaran stres tanpa kesempatan istirahat.
Atasan yang peduli akan mendorong karyawan untuk memanfaatkan cuti saat dibutuhkan. Tapi kalau sebaliknya, itu tanda lingkungan kerja toksik. Memaksa orang bekerja saat mereka sakit hanya akan memperburuk kondisi, baik fisik maupun mental. Dalam jangka panjang, produktivitas tim justru menurun.
5. Tidak memberikan penghargaan atau apresiasi

Rasa dihargai adalah kebutuhan dasar manusia di tempat kerja. Atasan yang gak peduli sering lupa memberi apresiasi pada pencapaian karyawannya. Bahkan, hasil kerja keras dianggap hal biasa yang memang “sudah seharusnya.” Kondisi ini membuat karyawan merasa usahanya sia-sia. Semangat kerja pun ikut luntur.
Memberi penghargaan tidak selalu harus berupa materi, kadang ucapan terima kasih pun cukup berarti. Tapi kalau atasan sama sekali tidak melakukannya, itu tanda rendahnya empati dan kepedulian. Lama-kelamaan, karyawan bisa kehilangan motivasi dan mulai mencari tempat kerja yang lebih suportif.
6. Menganggap stres sebagai tanda lemah

Ada atasan yang percaya bahwa “stres adalah bumbu kerja” dan karyawan harus bisa menahannya. Pola pikir seperti ini mengabaikan fakta bahwa stres berlebihan bisa merusak kesehatan mental. Saat karyawan mengeluh stres, respons mereka sering meremehkan, seperti “Kamu harusnya kuat.” Hal ini membuat karyawan merasa tidak aman untuk jujur tentang kondisinya.
Pemimpin yang peduli akan mencari cara mengurangi beban kerja atau memberi dukungan. Sebaliknya, pemimpin yang menganggap stres sebagai kelemahan justru memperparah tekanan. Situasi ini bisa membuat karyawan terus memendam masalah, hingga akhirnya burnout dan kehilangan minat bekerja.
Kesehatan mental di tempat kerja adalah hal yang sama pentingnya dengan target atau pencapaian bisnis. Atasan yang gak peduli pada kondisi mental karyawannya menciptakan lingkungan yang toksik dan tidak berkelanjutan. Mengenali ciri-ciri ini membantu kamu menjaga diri dan mempertimbangkan langkah selanjutnya. Ingat, bekerja dengan sehat mental adalah hak setiap orang, bukan bonus.