Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[MADING] Tradisi Didesak Sampah: Sekolah Nyala Harapan

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Halo sahabat Tika! Perkenalkan kami perwakilan dari SMA Negeri 1 Amlapura. Kami hadir kembali mempersembahkan karya mading bertemakan Eco-warior Mode: On dengan judul "Tradisi Didesak Sampah: Sekolah Nyala Harapan". Setiap lembar tulisan hadir untuk mengungkapkan isi hati dari kami yang ingin membangun bumi lebih harmoni melalui hal-hal kecil di sekitar kita yang tak disadari.

Sekolah bisa menjadi garda terdepan dalam membentuk generasi yang peduli lingkungan. Di sinilah kebiasaan menjaga kebersihan dan mengelola sampah ditanamkan sejak dini. Lebih dari itu, sekolah juga bisa menjadi solusi utama untuk menghidupkan kembali tradisi lama masyarakat yang selalu peduli akan lingkungan sekitar. Dengan disiplin dan kebersamaan, mari kita jadikan sekolah sebagai pusat keteladanan dalam menanggulangi sampah demi masa depan yang lebih harmoni!

Tim redaksi kami terdiri dari:

Guru Pendamping: I Gede Aries Pidrawan, S.Pd., M.Pd

Ketua tim: Ni Kadek Mita Ristiani

Penulis: Ni Nyoman Anggrita Pratiwi

Designer: I Ketut Nanda Adi Kurnia, Elsa Christie

Videografer/Fotografer: Ni Komang Anisa Triapsari, I Komang Ary Marjello Putra

Karya ini dibuat untuk keperluan kompertisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.

Esai: Latar Belakang

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Pagi di Bali tak selalu tentang harum dupa dan suara gamelan khas pulau itu. Di Denpasar dan kota-kota kebanggaannya, truk-truk sampah berderet membawa ratusan bahkan ribuan ton sisa konsumsi. Sebagian besar sampah organik yang bercampur plastik. Angka itu terus bertumbuh, seperti ingatan yang pudar akan masa ketika manusia masih menata dan menjaga alam dengan cinta. Seakan mencintai raga dan jiwanya sendiri.

Tanah Dewata, yang dulu dihormati sebagai “warisan suci”, kini terancam oleh tumpukan sampah. Plastik sekali pakai dan sisa makanan mendominasi, akibat jejak pariwisata yang masif dan melemahnya nilai-nilai tradisi.

Menurut data resmi Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2024, Bali menghasilkan 1,2 juta ton sampah per tahun, dengan Kota Denpasar sebagai penyumbang terbesar: sekitar 360.000 ton. Sebanyak 68,32% dari jumlah itu adalah sampah organik seperti sisa makanan dan ranting kayu, yang sayangnya sebagian besar tak dimanfaatkan secara optimal, malah berakhir di TPA bersama plastik yang tak pernah terurai.

Dahulu, masyarakat Bali menjaga setiap helai daun yang jatuh. Merawat sungai yang seakan mengalirkan doa. Menjadikan setiap pekarangan sebagai cerminan batin penghuninya. Namun saat ini, dalam kenyamanan gemerlap pariwisata, kesucian itu mulai terganti rasa malas dan tak acuh. Gotong royong, yang dulu hidup di setiap banjar, kini sering jadi kata kosong. Tak banyak tangan terulur membersihkan, dan sampah hanya dianggap rutinitas. Lantas, apakah kebersihan masih menjadi budaya, atau hanya rutinitas kosong yang dijalankan tanpa makna?

Di tengah keprihatinan ini, lingkungan sekolah seharusnya menjadi garda terdepan dalam menanamkan kembali nilai-nilai kebersihan sebagai bagian dari budaya sejak dini. Lingkungan sekolah sejatinya adalah panggung pengamalan untuk menumbuhkan kesadaran.

Saat ini, belum banyak data khusus tentang kondisi kebersihan atau pengelolaan sampah di sekolah-sekolah Bali. Namun, bisa diasumsikan banyak yang berakhir serupa: anorganik, organik, dan residu bercampur, tanpa sistem pengelolaan terstruktur. Padahal, di sinilah seharusnya Tri Hita Karana, harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, dibuat nyata dalam tingkah laku sehari-hari.

Salah satu praktik yang bisa menjembatani filosofi itu adalah teba modern. Di Bali, teba modern telah menjadi salah satu solusi efektif pengelolaan sampah rumah tangga hingga sekolah. Banyak masyarakat memanfaatkannya untuk mengolah sampah organik menjadi kompos, memelihara tanaman, bahkan memelihara ternak dalam lingkup yang ramah lingkungan. Prinsip yang sama dapat diadopsi dan diperluas di sekolah sebagai pusat edukasi sekaligus pengelolaan limbah.

Dengan teba modern di sekolah, sampah organik dari kantin dan kebersihan halaman bisa langsung diolah di lokasi. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk taman sekolah atau kebun edukasi siswa.

Selain pengelolaan sampah organik melalui teba modern, tantangan terbesar justru datang dari plastik sekali pakai. Warisan industri pariwisata dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, komposisi sampah di Bali didominasi oleh sampah organik yang mencapai 65%. Sedangkan sampah plastik menyumbang 17,3%, dan 17,8% sisanya berasal dari kategori sampah lain.

Meskipun plastik tidak mendominasi secara keseluruhan, dampaknya sangat mencolok karena sebagian besar berakhir di TPA atau tercecer di lingkungan. Bahkan dampak terbesarnya dapat mencemari sungai hingga laut. Bila tidak ditangani serius, upaya menjaga harmoni antara manusia dan alam akan goyah.

Sekolah dapat berperan aktif dengan pendekatan reduksi dan sirkularisasi. Bisa dengan menerapkan kebijakan zero single-use plastic di kantin sekolah, misalnya mendorong siswa membawa tempat makan/minum sendiri, menggunakan kemasan ramah lingkungan, serta menyediakan galon isi ulang air minum.

Plastik yang tetap muncul, dapat dipilah sejak awal lalu disalurkan ke bank sampah mitra, UMKM daur ulang, atau program kreatif siswa seperti pembuatan ecobrick dan kerajinan daur ulang lainnya. Dengan begitu, plastik tidak berhenti sebagai limbah, tetapi diputar kembali ke dalam siklus ekonomi.

Lebih dari sekadar solusi teknis, penerapan teba modern maupun program pengelolaan sampah lainnya di sekolah adalah upaya menghidupkan kembali pandangan ekosentrisme yang telah lama hidup dalam tradisi Hindu Bali. Pandangan ini menolak menjadikan manusia sebagai pusat segalanya, melainkan mengakui bahwa seluruh ciptaan Tuhan (manusia, hewan, tumbuhan, tanah dan air) memiliki nilai yang setara dalam jejaring kehidupan.

Maka dari itu, baik saat mengolah sampah organik melalui teba, mengurangi plastik sekali pakai dengan kebijakan zero waste, maupun menyalurkan anorganik ke bank sampah, semua langkah tersebut pada dasarnya adalah praktik nyata menjaga harmoni semesta.

Seperti tersurat dalam Yayur Veda (Sloka LX.I dan VIII): “Isa vasyam idam sarvam yat kim ca jagatam jagat tena tyakva. Bhunjitha magrdah kasya svid dhanam.” yang artinya “Segala sesuatu yang sungguh-sungguh ada, yang bergerak, yang memiliki kehidupan di alam semesta ini, diliputi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pandanglah dunia yang serba benda itu dengan perasaan tanpa keterikatan, dan janganlah menginginkan kekayaan siapapun.” Kutipan ini mengingatkan bahwa menjaga alam bukan hanya soal kebersihan lingkungan, tetapi juga bentuk penghormatan spiritual kepada Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya.

Pesan serupa juga ditekankan dalam sloka berikutnya: “Mà-apo himsìr, mà-osadhìr himsìh...” yang berarti “Janganlah mencemari air dan janganlah menyakiti atau menebang pohon-pohon itu.” Ajakan ini menegaskan bahwa penghormatan kepada alam harus diwujudkan dalam tindakan konkret, seperti menjaga air tetap bersih dan melindungi keberlangsungan tumbuhan.

Dengan demikian, sloka-sloka tersebut tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memberi pedoman praktis bagi umat manusia untuk hidup selaras dengan alam. Spirit inilah yang seharusnya dihidupkan kembali dalam praktik keseharian, termasuk melalui pengelolaan sampah di sekolah. Dengan menerapkan sistem pemilahan sampah di sekolah, pengolahan sampah organik menjadi kompos, dan mendaur ulang plastik melalui bank sampah, sekolah tidak hanya mengajarkan kebersihan teknis, tetapi juga menanamkan nilai ekosentrisme yang telah lama tertanam dalam tradisi Hindu Bali. Dalam konteks ini, menjaga lingkungan berarti melestarikan keharmonisan antara manusia, alam dan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam Tri Hita Karana.

Esai: Kesimpulan

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Masalah sampah di Bali bukan sekadar isu teknis pengelolaan, melainkan juga cermin dari melemahnya kesadaran spiritual dan nilai tradisi. Data yang terus meningkat menunjukkan bahwa tanpa perubahan nyata, “warisan suci” Tanah Dewata akan terus terancam oleh timbunan limbah. Sekolah sebagai ruang pendidikan seharusnya hadir bukan hanya untuk menanamkan keterampilan mengolah sampah, tetapi juga menumbuhkan kembali filosofi ekosentrisme Hindu Bali yang memandang seluruh ciptaan Tuhan sebagai kesatuan yang setara.

Melalui penerapan teba modern, kebijakan pengurangan plastik sekali pakai, serta pemanfaatan kembali sampah anorganik, sekolah dapat menjadi pionir dalam membangun budaya baru yang berakar pada kearifan lokal. Sejalan dengan pesan suci Yajur Veda maupun nilai Tri Hita Karana, menjaga lingkungan berarti menjaga keharmonisan antara manusia, alam dan Tuhan. Dengan demikian, setiap tindakan kecil dalam mengelola sampah sejatinya adalah wujud bhakti menjaga kehamonisan semesta.

Infografik

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Di balik panorama indah Bali yang dikenal dunia, tersimpan satu persoalan besar yang mengancam yaitu sampah. Dari semua sampah yang menumpuk, plastik menjadi hal paling berbahaya. Ia tidak mudah terurai, mencemari laut, hingga mengancam kesehatan masyarakat. Jika dibiarkan, bukan hanya kualitas hidup yang menurun, tapi juga citra Bali sebagai destinasi wisata dunia bisa ikut tercoreng.

Melalui langkah bersama, Bali bisa tetap bersih, sehat, dan lestari, tanpa kehilangan pesona yang membuat dunia jatuh cinta. Infografik ini ingin menegaskan, menjaga Bali bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, melainkan tanggung jawab kita semua.

Rubrik Diskusi: Infografik Pertamina

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

"Wasteco untuk Desa Energi Berdikari" merupakan subprogram dari Desa Energi Berdikari (DEB) inisiatif Pertamina yang menghadirkan solusi energi terbarukan berbasis masyarakat. DEB sendiri bertujuan mendorong kemandirian energi desa, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, serta memperkuat ekonomi kerakyatan dengan pendekatan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui Wasteco (Waste to Energy for Community), sampah organik diolah dengan teknologi berbasis kompetensi migas Pertamina menjadi gas metana yang dapat dimanfaatkan sebagai energi bersih untuk kebutuhan rumah tangga maupun UMKM. Konsep ini tidak hanya memberikan alternatif energi terjangkau, tetapi juga berperan dalam menekan emisi karbon sekaligus mendukung terciptanya lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Rubrik Diskusi: Infografik Pertamina

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

"Wasteco untuk Desa Energi Berdikari" merupakan subprogram dari Desa Energi Berdikari (DEB) inisiatif Pertamina yang menghadirkan solusi energi terbarukan berbasis masyarakat. DEB sendiri bertujuan mendorong kemandirian energi desa, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, serta memperkuat ekonomi kerakyatan dengan pendekatan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui Wasteco (Waste to Energy for Community), sampah organik diolah dengan teknologi berbasis kompetensi migas Pertamina menjadi gas metana yang dapat dimanfaatkan sebagai energi bersih untuk kebutuhan rumah tangga maupun UMKM. Konsep ini tidak hanya memberikan alternatif energi terjangkau, tetapi juga berperan dalam menekan emisi karbon sekaligus mendukung terciptanya lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Foto Bercerita

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Dari pantai hingga pelataran pura, dari aksi sosial hingga mejejaitan, siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan dan tradisi Bali berjalan dalam satu napas. Langkah sederhana mereka adalah tanda bahwa masa depan Bali akan tetap bersih, indah, dan penuh makna di tangan generasi muda.

Foto Bercerita

IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura
IDN Times Xplore/TIKASMANSAPURA_SMA Negeri 1 Amlapura

Hari-hari di foto itu menggambarkan suasana di balik layar setiap karya indah yang hari ini kita nikmati, karya yang dibuat berdasarkan isi hati, isu, hingga solusi menjadi satu dalam karya mading ini. Setiap momen diskusi, kita lalui bersama dengan kolaborasi, kebersamaan, serta kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Semoga melalui karya mading ini, kita sadar bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga titik awal lahirnya generasi yang peduli lingkungan. Dengan langkah kecil serta kebersamaan, mari kita hidupkan kembali tradisi menjaga alam demi masa depan Bali yang lebih asri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Life

See More

[MADING] Si Kecil untuk Solusi Besar

17 Sep 2025, 14:24 WIBLife