Lebih dari Stereotip, Ini Dia Tantangan Perempuan di Dunia Sains

- Stereotip gender dan sains membatasi perempuan dalam bidang ilmiah dan teknis.
- Budaya patriarki menciptakan kesenjangan gender, menghalangi partisipasi penuh perempuan di sains.
- Kurangnya inovasi dalam pendidikan dan minimnya role model menghambat generasi muda terutama perempuan untuk mengejar karier di bidang sains.
Jakarta, IDN Times - Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi perhatian utama di berbagai bidang, termasuk di dunia sains. Walaupun kemajuan signifikan telah dicapai dalam membuka lebih banyak kesempatan bagi perempuan, kenyataannya mereka masih menghadapi berbagai tantangan besar.
Pasalnya, bukan hanya dihadapi dengan stereotip gender, terdapat stereotip tersendiri yang membuat perempuan masih memiliki hambatan untuk menggeluti bidang sains. Fereshteh Rafieian, Science Programme Specialist at UNESCO Indonesia, melihat bahwa terdapat masalah yang lebih dalam di baliknya.
"Saya pikir setiap masyarakat memiliki stereotip sendiri, jadi tidak mudah untuk menentukan beberapa stereotip. Tetapi, banyak stereotip tersebut berasal
dari kekurangan pemerhatian dan memiliki contoh-contoh role model, atau kata-kata yang berulang-ulang bahwa ini adalah bidang yang sulit untuk perempuan, lingkungan pekerjaan akan sulit dihadapi, dan sebagainya," ungkap Rafieian, saat Penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2024 di The Sultan, Senin (11/11/2024).
1. Adanya stereotip mengenai bidang sains yang mengotak-ngotakkan siapa yang bisa dan siapa yang tidak

Adanya stereotip mengenai bidang sains yang mengotak-ngotakkan siapa yang bisa dan siapa yang tidak, masih menjadi tantangan besar bagi perempuan. Stereotip ini sering kali memisahkan sains dari masyarakat luas.
"Jadi, ini bukan hanya stereotip gender. Ada banyak stereotip umum tentang sains dan itulah mengapa kita perlu menerjemahkan bahasa sains ke bahasa yang bisa dipahami masyarakat luas, termasuk mereka yang bukan ilmuwan. Hari ini, kita bisa melihat contoh bagus bagaimana sains bisa terhubung dengan kehidupan sehari-hari," ujar Rafieian.
Sebagai contoh, salah satu pemenang L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2024, Della Rahmawati, Ph.D., Dosen dari Universitas Swiss German. Ia meneliti ketahanan pangan untuk mengatasi stunting, khususnya pada gizi ibu hamil dan anak melalui inovasi taburan nori berbasis kelakai dan tempe non-kedelai yang kaya zat besi.
Melalui penelitian ini, sains ternyata sangat erat kaitannya dengan kebutuhan masyarakat dan merupakan bagian penting dalam mengatasi tantangan yang ada di masyarakat. Penelitian ini menunjukkan betapa sains bisa langsung memberikan solusi untuk masalah yang ada di masyarakat, seperti mengatasi kekurangan gizi.
2. Akar masalah stereotip gender dan stereotip sains pun berasal dari masyarakat, sehingga diperlukan pengentasan masalah terkait dengan budaya

Budaya yang menganggap perempuan tidak cocok untuk berkarier di bidang ilmiah atau teknis, menjadi penghalang besar bagi partisipasi perempuan dalam sains. Stereotip ini tak hanya membatasi kesempatan perempuan, tetapi juga menciptakan kesenjangan dalam peran gender, di mana perempuan dianggap harus mengutamakan tanggung jawab domestik ketimbang karier di bidang sains.
Menurut Rafieian, "Selama kita memiliki gap dalam membayar pekerja sesuai gender, selama wanita dibayar lebih rendah, selama bapak-bapak dan ayah tidak mendapatkan maternal leave, mereka tidak dapat berpartisipasi dalam peran keluarga. Semuanya kemudian akan bergantung pada wanita dalam keluarga. Jadi, saya selalu mengatakan keseimbangan gender dalam sains membutuhkan keseimbangan gender dalam masyarakat."
Pernyataan ini menegaskan bahwa ketimpangan gender dalam sains tak bisa dipisahkan dari ketidaksetaraan sosial yang lebih luas. Jika perempuan terus menghadapi hambatan di tempat kerja dan rumah, seperti ketidakadilan dalam pembagian tugas keluarga dan gaji yang lebih rendah, maka perempuan akan kesulitan untuk berpartisipasi penuh dalam bidang sains. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan yang bukan hanya soal memberi kesempatan yang setara di tempat kerja, tetapi juga menciptakan sistem sosial yang mendukung peran perempuan, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
3. Fenomena "the leaky pipe" yang kerap dihadapi oleh perempuan

"Ternyata, beberapa lingkungan kerja masih secara tidak langsung menjauhkan perempuan, meskipun mereka sudah mulai mendaki tangga karier. Perempuan sering kali kekurangan eksposur di lingkungan akademis. Fenomena ini dikenal dengan istilah the leaky pipe di mana lingkungan kerja itu sendiri tidak mampu mempertahankan talenta perempuan, " ungkap Rafieian.
Leaky pipe sendiri merupakan sebuah metafora untuk kurangnya keterwakilan perempuan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Hal ini menggambarkan bagaimana perempuan cenderung tidak bertahan dalam karier STEM atau maju ke peran kepemimpinan di berbagai tahap karier mereka.
Dilansir dari Microwaves&RF, alasan di balik fenomena ini adalah kesulitan perempuan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Karena banyak bidang teknik yang sulit dilakukan secara paruh waktu, ditambah dengan peran ganda yang sering dijalani perempuan, mereka seakan-akan dihadapkan pada pilihan sulit antara karier dan keluarga.
4. Kurangnya role model dan inovasi pendidikan juga memegang peranan

Masalah perempuan di bidang sains gak cuma datang dari budaya dan masyarakat, tapi juga dari kurangnya inovasi dalam pendidikan dan minimnya role model untuk generasi muda. Rafieian menjelaskan bahwa selama ini, sains sering dianggap sebagai bidang yang identik dengan laki-laki sehingga peran perempuan jadi terbatas.
"Jelas, sistem pendidikan harus lebih inovatif dalam mengajarkan sains dan matematika. Banyak stereotip itu berasal dari materi yang diajarkan. Misalnya, kita sering kali terbayang sains itu cuma soal saintis laki-laki yang berkutat di lab-lab kuno. Padahal kenyataannya, banyak bidang sains yang gak seperti itu. Kamu gak harus bekerja di lab atau jadi ilmuwan untuk terlibat dalam sains. Kamu bisa bekerja dengan masyarakat, melakukan penelitian yang relevan untuk mereka," kata Rafieian.
Kurangnya inovasi ini pun berimbas pada generasi muda, terutama perempuan, yang kesulitan menemukan role model yang bisa menginspirasi mereka untuk terjun ke dunia sains. Tanpa figur yang dapat dijadikan contoh, banyak anak muda merasa kurang percaya diri atau ragu untuk mengejar karier di bidang yang mereka minati.
"Kita perlu mengubah konten buku sains di sekolah, mengubah stereotip yang ada. Selain itu, kita juga harus menggunakan metode yang lebih praktis dan inovatif. Terkadang, untuk sains, kita perlu menilai, kita perlu melakukan eksperimen yang bisa langsung dirasakan manfaatnya," tambah Rafieian.
5. Untuk itu, sebagai sesama ilmuwan, ia menekankan pentingnya peran peneliti untuk mengomunikasikan hasil penelitian kepada masyarakat

Menurutnya, sains sering kali masih dianggap sebagai black box oleh masyarakat atau sesuatu yang sulit dimengerti dan terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Dengan segala kerumitannya, sains sering kali dipandang sebagai sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh segelintir orang.
Oleh karena itu, peneliti dan ilmuwan memiliki tanggung jawab besar untuk membuka kotak tersebut, menjelaskan hasil penelitiannya dengan cara yang lebih mudah dimengerti, dan menunjukkan bagaimana hal itu bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.
"Peran ilmuwan dan peneliti sebagai jembatan antara sains dan masyarakat sangatlah penting. Sebagai sesama ilmuwan, saya tahu ini membutuhkan banyak pekerjaan, tetapi bagian besar dari ilmuwan adalah untuk berkomunikasi dengan hasil dan proses ilmuwan terhadap masyarakat," pungkas Rafieian.
Dengan cara ini, masyarakat gak cuma jadi penerima informasi, tapi juga bisa ikut berkontribusi, baik dengan memberikan ide, data, atau feedback yang bisa memperkaya penelitian. Semakin masyarakat merasa dekat dan paham dengan sains, semakin besar kemungkinan mereka untuk mendukung dan menerapkan hasil penelitian dalam kehidupan sehari-hari.