Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan Lazy Parenting yang Sering Dianggap Benar

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Andrea Piacquadio)
Intinya sih...
  • Pola asuh lazy parenting berdampak negatif pada anak, seperti ketergantungan gadget tanpa kontrol waktu atau konten.
  • Kebiasaan memberi gadget untuk "diam" kurangi stimulasi sosial dan emosional anak, gantikan dengan aktivitas sederhana yang melibatkan interaksi.
  • Menetapkan aturan, mengajarkan anak tentang realitas hidup yang penuh tantangan, mandiri itu butuh pelatihan dan dukungan.

Pernah gak kamu melihat orang tua yang tampak santai banget dalam mengasuh anak mereka? Mungkin terlihat gampang dan gak ribet, tapi sebenarnya gaya pengasuhan seperti ini sering kali punya dampak negatif yang gak main-main. Fenomena ini biasa disebut lazy parenting, yaitu pola asuh yang cenderung menghindari tantangan atau tanggung jawab sebagai orang tua dengan alasan “biar anak mandiri”. Padahal, niat baik ini sering salah langkah, lho.

Yuk, kita bahas lima kesalahan lazy parenting yang sering dianggap benar tapi bisa berbahaya.

1. "Biar anak belajar dari pengalaman" tanpa pengawasan

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Marta Wave)

Mungkin kamu sering dengar kalimat, “Ah, biarin aja, nanti dia belajar sendiri kok.” Memang penting untuk membiarkan anak mengeksplorasi dunia, tapi membiarkannya tanpa pengawasan adalah cerita lain. Misalnya, ketika anak dibiarkan bermain gadget tanpa kontrol waktu atau konten. Alih-alih mandiri, anak malah berisiko kecanduan atau mendapatkan pengaruh buruk dari internet.

Kita perlu paham kalau belajar dari pengalaman bukan berarti melepas tanggung jawab sepenuhnya. Sebagai orang tua, tugas kita adalah mendampingi, memberikan arahan, dan menetapkan batasan yang sehat. Dengan begitu, anak bisa belajar dalam lingkungan yang aman dan terkendali.

2. Menggunakan TV atau gadget sebagai "pengasuh"

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Ksenia Chernaya)

Gadget emang sering jadi penyelamat di saat kita lagi sibuk atau capek. Tapi hati-hati, kebiasaan ini bisa jadi bumerang. Anak yang terlalu sering diberi gadget untuk “diam” cenderung kurang mendapat stimulasi sosial, emosional, atau bahkan fisik yang mereka butuhkan. Dampaknya? Anak jadi kurang kreatif dan sulit membangun hubungan emosional yang sehat dengan orang lain.

Coba deh, gantikan waktu layar dengan aktivitas sederhana yang melibatkan interaksi, seperti bercerita, menggambar bersama, atau bermain permainan edukatif. Gak harus selalu lama kok, yang penting ada koneksi dan perhatian dari kita.

3. "Yang penting anak gak rewel"

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Helena Lopes)

Banyak dari kita mungkin sering merasa malas berurusan dengan drama anak, apalagi kalau sudah nangis atau tantrum. Solusinya? Mengalah atau memenuhi semua keinginannya biar suasana cepat tenang. Tapi tahukah kamu, kebiasaan ini malah bisa bikin anak tumbuh jadi pribadi yang gak tahan frustrasi dan kurang menghargai proses?

Anak perlu belajar bahwa gak semua hal bisa didapatkan dengan instan. Menetapkan aturan atau mengatakan “tidak” itu gak apa-apa, kok. Justru itu mengajarkan anak tentang realitas hidup yang penuh tantangan.

4. Berpikir kalau mandiri berarti anak harus lakukan semua sendiri

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Vika Glitter)

Ada juga orang tua yang percaya kalau membiarkan anak mengurus segalanya sendiri adalah cara terbaik agar mereka mandiri. Padahal, mandiri bukan berarti anak harus selalu sendirian menghadapi semuanya. Misalnya, meminta anak beres-beres rumah tanpa panduan atau dukungan.

Mandiri itu proses yang butuh pelatihan dan dukungan. Anak perlu tahu kalau mereka bisa meminta bantuan saat kesulitan, bukan merasa ditinggalkan. Ajak mereka bekerja sama, beri contoh, dan jadikan pengalaman belajar itu menyenangkan.

5. Menganggap pendidikan hanya tanggung jawab sekolah

Ilustrasi kesalahan lazy parenting (Pexel.com/Julia M Cameron)

“Udah, yang penting sekolahnya bagus. Guru-guru kan lebih tahu.” Pernyataan seperti ini sering jadi alasan untuk melepaskan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ke pihak sekolah. Padahal, pendidikan utama anak itu justru dimulai dari rumah.

Kita sebagai orang tua punya peran besar untuk membentuk nilai, karakter, dan kebiasaan anak sehari-hari. Jangan hanya menyerahkan segalanya ke sekolah, tapi jadilah partner aktif dalam proses pendidikan mereka. Luangkan waktu untuk membantu anak belajar, diskusi tentang kehidupan, atau sekadar mendengarkan cerita mereka.

Mengasuh anak memang gak pernah mudah. Ada banyak momen yang bikin capek dan pengen cepat selesai, tapi pola asuh lazy parenting justru bisa menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan. Yuk, kita mulai refleksi dan perbaiki pola asuh kita sedikit demi sedikit. Anak bukan hanya butuh kasih sayang, tapi juga arahan, perhatian, dan batasan yang sehat. Ingat, menjadi orang tua itu perjalanan yang penuh tantangan, tapi juga penuh makna. Pada akhirnya, apa yang kita tanam hari ini akan kita tuai di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us