#MahakaryaAyahIbu: Demi Menyekolahkanku, Ayah Ibuku Rela Dibilang Gila

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik.
Taksi ini melesat cepat menuju hotel tempatku menginap. Semarak kota seakan menjadi tontonan rutin bagiku. Kulirik jam tanganku, tak terasa hampir tengah malam namun kota ini seakan tak pernah sepi. Laju taksi ini melambat karena kemacetan yang biasa di kota ini. Di persimpangan, pandanganku terpaku pada seorang ibu paruh baya yang menggendong anaknya, mengemis memanfaatkan kemacetan. Wajah damai anak itu mengingatkan aku pada masa kecilku dalam balutan kain dan dekap hangat ibuku.
“Adi! Sampai kapan kamu mau tidur terus ?”, suara yang tidak asing bagiku jika aku bangun lebih dari pukul 5 pagi.
Matahari belum muncul, namun kulihat samar-samar ibu sudah selesai menyiapkan sarapan di rumah reyot kami, ayahku sedang sibuk menyemir sepatu dinasnya. Masih pagi memang, namun mungkin bagi ibuku ini rasanya sudah seperti siang bolong. Dia paling tidak suka jika anaknya bangun siang, rezekinya di patuk ayam katanya. Namun belakangan aku paham, ibuku hanya tidak rela anaknya di panggil guru karena terlambat dan tersiksa menahan lapar karena tidak sempat sarapan.
Sambil bersiap-siap berangkat kerja, ibuku mengingatkanku akan tugasku nanti siang. Ayahku bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan kertas. Kondisi ekonomi yang tidak menentu mengharuskan ibuku bekerja sebagai buruh pabrik, sehingga jika siang hari aku dan kakak-kakak ku harus mandiri dalam urusan rumah. Mulai dari memasak, bersih-bersih hingga menimba air untuk mandi.
Ayah dan Ibuku adalah pasangan yang gila. Paling tidak itu menurut banyak tetangga. Seorang satpam dan buruh pabrik yang bercita-cita menguliahkan anak-anaknya, apapun resikonya. Bagi mereka pendidikanlah yang utama. Dengan pendidikan mahakarya apa pun bisa tercipta. Itu juga alasan yang membuat aku dan kakak-kakakku bersekolah di sekolah terbaik di kecamatan yang jaraknya sangatlah jauh.
Kami harus menempuh perjalanan 2 jam dengan berjalan kaki sedangkan tetangga kami sekolah pun tidak. Aku dan kakakku memiliki almamater yang sama saat SD, ada 1 hal yang paling diingat dari guru-guru sekolah itu tentang kami yaitu, jika hari pembayaran uang sekolah tiba, nama kami selalu ada di jejeran teratas siswa yang menunggak. Kegilaan ayah dan ibuku terus berlanjut hingga satu persatu kakakku wisuda perguruan tinggi.
Kebanyakan kakakku kuliah bermodalkan beasiswa. Hingga ayah dan ibuku pensiun dari pekerjaan mereka, saat itu juga aku lulus SMA. Biaya masuk universitas yang mahal tidak menyurutkan tekad ayah dan ibuku mengkuliahkan aku apapun yang terjadi. Ia tidak rela jika aku tidak merasakan bangku universitas meskipun mereka tidak punya apa-apa lagi. Hasil lolos test universitas sudah kudapat, namun berat rasanya bila melihat biaya yang harus dikeluarkan.
Aku memilih mencari pekerjaan karena kondisi tidak memungkinkan untuk bisa kuliah. Di saat teman-temanku yang lain sibuk mengurus keperluan ospek, aku hanya bisa tersenyum sambil menangis dalam hati. Entah apa yang berbeda. Hari itu rumah reyot kami terasa longgar. Perasaan aneh sekaligus takut akan banyaknya barang dan perabot rumah kami yang di angkut orang lain menyadarkan aku bahwa rumah reyot kami dijual.
Kegaduhan terus terjadi hingga sore hari dan malamnya ibuku berkata.
“Adi kamu harus kuliah, meskipun kita miskin kamu harus tetap kuliah.” Sambil kusadari perhiasan yang biasa dipakai ibuku ikut raib dalam kegaduhan tadi siang.
Dengan rumah reyot dan perhiasan ibuku aku bisa masuk universitas. Aku menangis sejadinya merasakan puncak kegilaan kedua orang tuaku. Hatiku pilu. Ibu itu hanya menatapku datar sambil menyodorkan wadah recehnya memecah lamunanku. Sambil mengeluarkan selembar uang aku tersenyum kepadanya dan dibalas dengan sebuah doa.
Aku merasa beruntung memiliki orang tua yang gila. Jika tidak, mungkin saat ini aku sedang mengemis atau entah apa. Cita-citaku membeli kembali rumah reyot kami belum bisa tercapai, namun kupastikan suatu saat aku akan membelinya dan membangung rumah reyot kami kembali menjadi bangunan nan kokoh tak tertandingi hanya untukmu, Ayah dan Ibu.



















